Showing posts with label Labor. Show all posts
Showing posts with label Labor. Show all posts

Thursday, September 22, 2016

TREND INVESTASI DI DUNIA SEJAK TAHUN 1966 - 2014

No comments:

Grafik-grafik di bawah ini menggambarkan trend investasi (Gross Capital Formation) di beberapa negara, area dan dunia sejak tahun 1966 sampai dengan tahun 2014. 

Nilai Investasi ditampilkan dalam bentuk persentasenya terhadap Produk Domestik Bruto (% to GDP). Sumber Data dan Grafik diperoleh dari Bank Dunia

Garis warna biru adalah fluktuasi Investasi dari tahun ke tahun. Fluktuasi ini merupakan siklus bisnis (Economical Cycle). Sedangkan Garis warna merah menunjukkan Trend secara keseluruhan (stagnan, menaik atau menurun). 












 






Wednesday, September 23, 2015

APA PENYEBAB DEPRESIASI RUPIAH?

4 comments:

Dalam tulisan saudara margiyono[1] berjudul “Rupiah kian melemah, bagaimana kaltara?” di kolom Opini Radar Tarakan pada tanggal 14 September 2015, saudara margiyono menekankan bahwa penyebab depresiasi yang sedang terjadi di indonesia saat ini adalah rendahnya ekspor dibandingkan impor. 

“Depresiasi rupiah terhadap dolar karena rendahnya ekspor dan tingginya impor indonesia, dibuktikan oleh defisit neraca perdagangan”. Demikian argumennya. Lalu berdasarkan anggapan itu, saudara margiyono memperkirakan dampak depresiasi rupiah ini terhadap perekonomian masyarakat di provinsi kalimantan utara beserta solusi-solusinya. 

Mungkin beliau berharap, pemerintah provinsi kalimantan utara membaca tulisannya dan lalu mencoba solusi-solusi yang ia tawarkan. Maklumlah, solusi dari seorang akademisi!

Tapi tunggu dulu. Ini era keterbukaan. Segala pendapat kita tidak hanya dibaca, tapi juga akan diuji. Tidak pandang bulu, apakah seorang akademisi atau pun pemerintah yang menulis, maka tulisannya harus siap dikritik. Berikut ini kritik kami[2] terhadap tulisan saudara margiyono. Siapa tahu berguna.

Menurut Badan Pusat Statistik, hanya dalam semester pertama 2015, dolar (dolar amerika) naik sekitar 592 rupiah, dari Rp.12,644.6[3] menjadi Rp.13,237[4]. Sementara hampir 10 tahun dari tahun 2004 sampai 2013, dolar hanya naik sekitar 3000 rupiah yakni dari Rp. 9.290 menjadi Rp. 12,189[5]

Dengan kata lain, 10 tahun dolar hanya naik rata-rata 24 rupiah per bulan, tapi sekarang hanya dalam beberapa bulan kecepatannya naik empat kali lipat, yakni rata-rata 98 rupiah per bulan. Oleh karena itu, depresiasi sekarang ini bukanlah depresiasi biasa, tapi depresi besar-besaran. 

Apabila penyebab depresiasi adalah kelebihan impor sebagaimana yang disampaikan saudara margiyono, maka depresiasi besar-besaran tentunya terjadi karena kelebihan impor yang besar-besaran. Tapi data-data yang ada justru menampilkan sebaliknya.

Adalah benar bahwa pada tahun 2012 dan 2013, terjadi defisit neraca perdagangan, yakni masing-masing sebesar 1,6 milyar dolar dan 4 milyar dolar. Tapi pada 2014, defisit ini turun lagi menjadi 1.8 milyar dolar[6] dan pada semester pertama tahun 2015, justru tidak ada defisit, dimana total ekspor adalah 13 milyar dolar[7] sedangkan total impor 12.3 milyar dolar[8] alias surplus sekitar 1 milyar dolar. Jadi, tidak ada defisit besar-besaran beberapa bulan ini, sehingga bukan itu penyebab depresiasi saat ini.

Selanjutnya, jika kita memeriksa neraca perdagangan dari tahun 1965 sampai 2014, ekspor kita hampir selalu besar daripada impor[9], namun sepanjang tahun itu rupiah terus-menerus mengalami depresiasi[10], yakni dari sekitar Rp.250 rupiah per dolar pada 1965 menjadi belasan kali lipat seperti saat ini.

Bahkan, apabila kita meninjau depresiasi besar-besaran yang terjadi pada tahun-tahun 1996 sampai 2001, dimana dolar naik dari Rp.2,383 menjadi Rp.10,400[11] atau rata-rata naik dengan kecepatan 133 rupiah per bulan (kecepatan yang lebih tinggi daripada saat ini), maka kita tidak akan berani mengatakan itu disebabkan oleh lebihnya impor. Sebab saat-saat itu, neraca perdagangan justru surplus yakni 6.94 miliar dolar pada tahun 1996, 5.85 miliar dolar pada 1997, 15.09 miliar dolar pada 1998, 17.92 miliar dolar pada 1999 dan 22.33 miliar dolar pada 2000[12].

Kesimpulannya, penyebab depresiasi mata uang di indonesia saat ini bukanlah defisit neraca perdagangan (kelebihan impor daripada ekspor). Bahkan, seluruh kasus depresiasi rupiah di indonesia, tidak ada sangkut pautnya dengan ekspor-impor!. 

Argumen saudara margiyono terbukti salah. Oleh karena itu, agar tidak terjadi “salah diagnosa dan salah obat”, maka dampak yang ia perkirakan dari depresiasi ini dan solusi yang ia tawarkan kepada pemerintah provinsi kalimantan utara, perlu diperiksa ulang.

Demikian kritik kami, apabila ingin mengkritik balik, kami persilahkan.






[1] Dosen Ekonomi di Universitas Borneo Tarakan.
[2] CPNS di dinas kesehatan, Kabupaten tana tidung.

Wednesday, July 08, 2015

HUBUNGAN ANTARA WAKTU PERLU DENGAN WAKTU STANDAR

No comments:



Tulisan ini dibuat untuk mencari hubungan antara Waktu Perlu dengan Waktu Standar. Waktu Standar adalah waktu yang biasa digunakan dalam perhitungan Rencana Anggaran Biaya (RAB) suatu pekerjaan konstruksi. 

Sementara di dalam bukunya yang terkenal, Das Kapital Buku pertama: Proses Produksi Kapital, Karl Marx membahas nilai tambah (N) dan komponennya, nilai lebih (N1) dan nilai perlu (N2). Nilai tambah[1], merupakan jumlah dari nilai perlu dan nilai lebih.

N = N1 + N2 = Output - Input

Nilai tambah juga dapat dinyatakan sebagai nilai yang dihasilkan oleh sejumlah tenaga kerja (J) selama waktu kerjanya (W) menurut upah per waktu.

N=W x Hs x J

Nilai perlu (N1) adalah nilai yang ditambahkan ke dalam produk oleh sejumlah tenaga kerja selama waktu perlu (W1) menurut upah per waktu (Hs). Besar (Magnitude) nilai ini sama dengan upah (U) yang diterima oleh tenaga kerja selama waktu kerja secara keseluruhan (W).

N1 = J x W1 x Hs = U

Sedangkan nilai lebih (N2) adalah nilai yang ditambahkan ke dalam produk oleh sejumlah tenaga kerja selama waktu lebih (W2). Besar (magnitude) nilai lebih adalah selisih nilai tambah dengan nilai perlu.

N2 = J x W2 x Hs = N - N1

Kemudian, jika persamaan upah disubsitusikan ke dalam persamaan nilai perlu, maka waktu perlu dapat ditentukan.

W1 = U/(J x Hs)

Upah (U) juga dapat ditentukan berdasarkan waktu perlu.

U = J x Hs x W1

Di sisi lain, jumlah waktu perlu (W1) dan waktu lebih (W2) adalah waktu keseluruhan (W).

W = W1 + W2

sehingga waktu lebih (W2) adalah:

W2 = W-W1

Tingkat eksploitasi[2] (T), dirumuskan Karl Marx sebagai perbandingan antara waktu lebih (W1) dengan waktu perlu (W2). Perbandingan yang sama juga dapat dari nilai lebih dan nilai perlu.

T = W2/W1 = Nilai lebih/Nilai Perlu

Dua permisalan dapat dibuat untuk memberi contoh perhitungan tingkat eksploitasi ini. Permisalan yang pertama adalah kasus yang terjadi di dalam Industri Pengolahan (manufaktur biasa). Sedangkan Permisalan yang kedua, adalah kasus yang terjadi di dalam Industri Jasa Konstruksi (manufaktur organik[3]). Tapi di dalam tulisan ini, hanya permisalan yang kedua yang akan dibahas.

Menurut Analisa Harga Satuan Pekerjaan yang ditetapkan oleh Pemerintah, Harga Satuan Pekerjaan (HSP) ditentukan oleh Biaya langsung (BL) dan biaya tidak langsung (BT) yang dibutuhkan untuk membuat satu satuan pekerjaan tertentu.

HSP = BL + BT

Biaya langsung terdiri dari biaya bahan (Bb) dan biaya tenaga kerja (Bp), sedangkan biaya tidak langsung terdiri dari biaya umum (Over head) dan keuntungan (profit) yang wajar. Total Biaya tidak langsung ditetapkan maksimal sebesar 15% dari total biaya langsung.

HSP = BL + BT

HSP = Bb + Bp + 15% x (Bb+ Bp) =1.15 (Bb+Bp)

Untuk menentukan tingkat eksploitasi, hanya komponen biaya tenaga kerja (Bp) yang akan dibahas di sini. Biaya tenaga kerja dihitung berdasarkan jumlah pekerjaan (V) dan harga per potong (Hu).

Bp = Hu x V

Harga per potong (Hu) ditentukan berdasarkan koefisien tenaga kerja (K) dan Hs.

Hu = K x Hs

Bp = K x Hs x V

Apabila Upah yang diterima (U) di dalam AHSP sama dengan Biaya tenaga kerja (Bp), maka hubungan antara Waktu perlu (W1) dengan Koefisien tenaga kerja dapat dirumuskan.

Bp = U

(K x Hs x V) = (Hs x J x W1)

K = J x W1/V

W1 = V/J x K

Selanjutnya menurut AHSP, koefisien tenaga kerja (K) ditetapkan melalui suatu penelitian empiris berdasarkan metode time and motion study.

Di dalam metode ini, koefisien tenaga kerja merupakan nilai yang didapatkan dari penelitian terhadap produktivitas tenaga kerja (P) dalam suatu waktu tertentu (W) dan jumlah pekerjaan tertentu pula (V).

P = V/W

Selain produktivitas tenaga kerja, pemerintah juga meneliti waktu standar (Ws). Waktu standar adalah waktu yang benar-benar dibutuhkan untuk menghasilkan sejumlah pekerjaan[4]. Dengan demikian, waktu standar berbeda dengan waktu kerja (W). Perbandingan antara waktu standar dengan waktu kerja, disebut dengan Time Factor (TF).

Waktu standar (Ws) adalah waktu sebenarnya yang diperlukan untuk menghasilkan volume pekerjaan yang dibayar (V). Di sini lah indikasi eksploitasi terjadi. Sebab, waktu kerja (W) dapat bernilai lebih besar dari waktu standar tersebut. Oleh karena itu, time Factor tampil sebagai tingkat eksploitasi yang dimaksudkan Karl Marx. Hubungannya dengan waktu perlu (W1) perlu kemudian dapat ditentukan.

TF = Ws/W

Sementara itu, koefisien tenaga kerja (K) dirumuskan menurut produktivitas dan Time Factor itu.

K = J/(P x TF)

K = (J x W) / (V x TF)

Substitusi persamaan ini ke persamaan sebelumnya untuk mendapatkan persamaan yang menunjukkan hubungan antara waktu perlu dengan time factor.

W1 = V/J x K

W1 = V/J x (J x W) / (V x TF)

W1 = W /TF

W1/W = TF

W1/W = Ws/W

W1=Ws

W2 = W-Ws

Persamaan yang terakhir ini menunjukkan bahwa Waktu Standar, yang dimaksudkan oleh Pemerintah di dalam AHSP adalah waktu perlu yang dimaksudkan oleh Karl Marx. Semakin kecil nilai Ws, maka semakin kecil pula Waktu perlu sehingga semakin besarlah Nilai lebih yang diperoleh Pengusaha.

Sebagai penutup. Tingkat eksploitasi, oleh karena itu, dapat diperoleh dari rumus berikut ini.

Tingkat Eksploitasi = W2/Ws = W-Ws/Ws = W/Ws -1 = 1/TF - 1






[1] Sebagai perbandingan, Pemerintah (Badan Pusat Statistik Indonesia) mendefinisikan nilai tambah sebagai output dikurangi input. Input atau biaya antara adalah biaya yang dikeluarkan dalam proses produksi yang terdiri dari biaya Bahan Baku, Bahan bakar, tenaga listrik dan gas, Sewa gedung, mesin dan alat-alat dan Jasa non industri (Jasa yang tidak berkaitan dengan proses produksi). Output adalah nilai keluaran yang dihasilkan dari proses kegiatan industri yang terdiri dari Barang –barang yang dihasilkan dari proses produksi, Tenaga listrik yang dijual, Jasa industri yang diterima dari pihak lain, Selisih nilai stok barang setengah jadi akhir tahun dikurangi dengan stok awal tahun. Penerimaan lain dari jasa non industri. Definisi ini lebih umum (dan lebih bingung) daripada definisi yang digunakan oleh Karl Marx, yang membatasi dirinya pada output berupa barang –barang yang dihasilkan dari proses produksi. Apa perlunya membahas nilai tambah dari jasa penjualan tenaga listrik yang merupakan sampingan pengusaha, jika kita ingin mengetahui nilai tambah dalam sebuah barang yang diproduksi oleh pengusaha yang sama? coba lihat: http://www.bps.go.id/Subjek/view/id/9.

[2] Di samping menjelaskan perihal komponen dasar nilai tambah (nilai perlu, nilai lebih, waktu perlu, waktu lebih) dari sisi ekonomi, Karl Marx juga menjelaskan sisi sosialnya. Berdasarkan persamaan-persamaan di atas (dan praktik real-nya), pengusaha hanya membayar si pekerja berdasarkan nilai perlunya. Sementara nilai selebihnya (nilai lebih), dikantongi sendiri oleh pengusaha. Dengan kata lain, pengusaha "memakan keringat" tenaga kerjanya. Apabila sistem "makan keringat" ini dipraktekkan secara luas di masyarakat, maka terdapat banyak sekali tenaga kerja yang dirugikan alias dieksploitasi.

[3] Karl Marx mendefinisikan manufaktur organik, sebagai pekerjaan-pekerjaan yang berbeda dan dikerjakan oleh pekerja-pekerja yang berbeda pula, untuk menghasilkan sejumlah produk yang sama dalam waktu yang sama. Lih. Das Kapital, Buku I :Proses Produksi. 

[4] Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 11/PRT/M/2013 tentang Pedoman Analisis Harga Satuan Pekerjaan Bidang Pekerjaan Umum. Lampiran I Hal. 366.

Friday, July 03, 2015

DATA-DATA MENGENAI PRODUKTIVITAS DAN UPAH TENAGA KERJA DI KALIMANTAN UTARA (ATAU TIMUR)

No comments:


Tabel 1. Perbandingan Rata-rata rasio PDRB dengan Upah minimum tiap provinsi

Tabel 2. Perbandingan Rata-rata rasio PDRB dengan Upah minimum tiap provinsi (Lanjutan)

Tabel 3. Contoh Perkiraan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) di Provinsi Kalimantan Utara

CATATAN:

UMP 2015 DAN KEBUTUHAN HIDUP LAYAK DIAMBIL DARI: http://jokowi-for-presiden.blogspot.com/2014/12/daftar-ump-gaji-buruh-2015-33-provinsi.html
     
RATA-RATA RASIO PDRB BERDASARKAN DATA (2004-2012) DARI : http://data.go.id/dataset/a980e023-b85f-4b47-b119-b9adb66cbd7e/resource/96f1ae28-23ac-457a-94c9-28e19f1ed6d6/download/processeddistribusipdrbperprovinsi20042012.csv
UMP 2015 untuk JATIM, JABAR, JATENG, D.I. YOGYAKARTA, berdasarkan rata-rata UMK setiap kabupaten di provinsi tersebut

Wednesday, April 23, 2014

Klas-Klas Masyarakat Diperlukan Dan Berlebihan

No comments:



Oleh : Friedrich Engels

Dicopy dari : http://www.marxists.org/indonesia/archive/marx-engels/1881/klas.htm

Telah sering dipertanyakan, hingga seberapa jauh berbagai klas masyarakat itu berguna atau bahkan diperlukan? Dan dengan sendirinya jawabannya berbeda untuk setiap kurun sejarah yang dipersoalkan. Tak disangsikan lagi telah pernah ada masa ketika suatu aristokrasi teritorial merupakan suatu unsur masyarakat yang tak terelakan dan diperlukan. Namun itu, adalah dulu sekali, lama berselang. Ada suatu masa ketika suatu klas kapitalis menengah, suatu burjuasi seperti yang orang Perancis menyebutkannya, lahir dengan keharusan yang sama tidak terelakannya, yang berjuang terhadap aristokrasi teritorial itu, yang mematahkan kekuasaan politiknya, dan pada gilirannya menjadi predominan secara ekonomik dan politik. Tetapi, sejak lahirnya klas-klas, tidak pernah ada suatu zaman di mana masyarakat dapat tanpa suatu klas pekerja. Nama, status sosial dari klas itu telah berubah; para hamba-sahaya telah menggantikan para budak, untuk pada gilirannya digantikan oleh orang pekerja bebas-bebas dari perhambaan tetapi juga bebas dari semua pemilikan keduniaan kecuali tenaga kerjanya sendiri. Tetapi teramat jelas: perubahan apapun yang terjadi pada lapisan-lapisan atas masyarakat, yang tidak-memproduksi (non-producing), masyarakat tidak dapat hidup tanpa suatu klas penghasil/produser. Maka klas inilah yang diperlukan dalam semuas keadaan-walaupun waktunya mesti tiba, ketika ia tidak merupakan suatu klas lagi, ketika ia menjadi (merupakan) seluruh masyarakat.

Nah, keharusan apakah yang ada dewasa ini bagi keberadaan setiap dari ketiga klas ini?

Aristokrasi bertanah, boleh dikatakan, secara ekonomik tidaklah berguna di Inggris, sedang di Irlandia dan Skotlandia ia telah menjadi suatu gangguan positif dikarenakan kecenderungan-kecenderungan depopulatifnya. Mengirim orang menyeberangi samudera atau ke dalam kelaparan, dan menggantikan mereka dengan domba atau kijang-itu saja kegunaan yang dapat diklaim oleh para tuan-tanah Irlandia dan Skotlandia. Coba biarkan persaingan makanan sayur-sayuran dan hewani Amerika berkembang lebih maju lagi, dan kaum aristokrasi bertanah Inggris akan melakukan hal yang sama, paling tidak mereka yang mampu berbuat begitu, karena mempunyai estate-estate (tanah berukuran luas) kota sebagai andalannya. Untuk selebihnya, persaingan makanan Amerika akan segera membebaskan kita. Dan ini yang semujur-mujurnya-karena tindak-politik mereka, baik di Majelis Tinggi dan di Majelis Rendah, sungguh suatu gangguan nasional yang paling puncak.

Tetapi, bagaimana dengan klas kapitalis menengah itu, klas yang telah dicerahkan dan liberal, yang membangun imperium kolonial Inggris dan yang memantapkan kemerdekaan Inggris? Klas yang telah mereformasi parlemen di tahun 1831, membatalkan Undang-undang Gandum dan menurunkan pajak demi pajak? Klas yang menciptakan dan masih mengarahkan manufaktur-manufaktur raksasa, angkatan laut perdagangan yang luar-biasa besarnya, dan sistem perkereta-apian Inggris yang terus meluas? Jelaslah klas itu setidak-tidaknya adalah sama diperlukan seperti klas pekerja yang dikendalikan dan dipimpinnya dari kemajuan ke kemajuan.

Memang, fungsi ekonomik klas menengah kapitalis itu adalah menciptakan sistem modern manufaktur dengan tenaga (mesin) uap dan komunikasi bertenaga uap, dan menghancurkan setiap hambatan ekonomik dan politik yang menunda atau menghalangi perkembangan sistem itu. Tidak disangsikan lagi, selama klas menengah kapitalis menjalankan fungsi ini, dalam keadaan-keadaan seperti itu, ia adalah suatu klas yang diperlukan. Tetapi, masihkah keadaannya seperti itu? Adakah ia masih memenuhi fungsi dasar sebagai pengelola dan penuai produksi sosial bagi keuntungan masyarakat seluruhnya? Mari kita periksa.

Kita mulai dengan alat-alat komunikasi. Dan kita dapati telegrafi berada di tangan pemerintah. Perkereta-apian dan sebagian besar kapal-kapal uap samudera dimiliki, bukan oleh kapitalis-kapitalis individual yang mengelola bisnis mereka sendiri, melainkan dimiliki oleh perusahaan-perusahaan perseroan yang bisnisnya dikelola untuk mereka oleh pegawai-pegawai bayaran, oleh pegawai-pegawai yang kedudukannya sepenuh dan selengkapnya adalah sebagai pekerja-pekerja atasan dan yang dibayar lebih baik. Sedangkan yang mengenai para direktur dan pemegang saham, mereka mengetahui bahwa semakin sedikit yang tersebut duluan mencampuri manajemen, dan yang tersebut belakangan dengan supervisi/pemilikan, semakin baiklah itu bagi perseroan tersebut. Suatu pengawasan yang longgar dan cuma resminya saja memang merupakan satu-satunya fungsi yang tersisa bagi para pemilik bisnis itu. Dengan demikian kita melihat bahwa sesungguhnya para pemilik kapitalis perusahaan-perusahaan raksasa ini tidak mempunyai kegiatan lain dalam perusahaan-perusahaan itu kecuali menerima dividen-dividen (pembagian keuntungan) setengah-tahunan. Di sini fungsi sosial para kapitalis telah dialihkan pada pegawai-pegawai yang dibayar dengan upah; sedangkan ia sendiri terus mengantongi, dengan dividen-dividen itu, upah untuk fungsi-fungsi itu, sekalipun ia telah berhenti mengerjakannya.

Tetapi sebuah fungsi lain masih tersisa bagi kaum kapitalis itu, yang telah dipaksa "pensiun" dari manajemen karena luasnya perusahaan-perusahaan raksasa bersangkutan. Dan fungsi ini ialah berspekulasi dengan saham-sahamnya di pasar bursa. Karena tiada sesuatu untuk dikerjakan, maka para "pensiunan" kita itu, atau yang sesungguhnya para kapitalis yang digantikan itu, berjudi sesuka-suka hati mereka di lingkungan gemah-ripah ini. Mereka pergi ke sana dengan niat tegas untuk mengantongi uang yang pura-pura mereka peroleh (sebagai 'upah') sekalipun mereka mengatakan, bahwa asal-muasal segala pemilikan adalah kerja dan simpanan-barangkali memang asal-muasalnya, tetap jelas bukan tujuannya. Betapa munafiknya: dengan kekerasan menutup rumah-rumah judi yang kecil-kecil, sedangkan masyarakat kapitalis kita tidak dapat hidup tanpa sebuah rumah judi raksasa, di mana berjuta-juta demi berjuta-juta diderita sebagai kekalahan dan dimenangkan, menjadi pusat masyarakat itu sendiri! Di sini, sesungguhnya, keberadaan para kapitalis pemegang saham yang "pensiun" itu tidak hanya menjadi berlebihan, melainkan juga suatu gangguan yang tiada terhingga.

Kenyataan yang sebenarnya dalam perkereta-apian dan perkapalan-uap hari demi hari kian menjadi kenyataan pula bagi semua perusahaan manufaktur besar dan perdagangan. "Pengambangan"-mengubah kongsi-kongsi perseorangan besar menjadi perseroan-perseroan terbatas-telah menjadi kenyataan selama lebih dari sepuluh tahun terakhir. Dari pergudangan-pergudangan kota Manchester hingga bengkel-bengkel dan tambang-tambang batubara di Wales dan di Utara dan pabrik-pabrik Lancashire, segala sesuatu sedang atau telah dibuat mengambang. Di seluruh Oldham nyaris tersisa sebuah pabrik katun yang berada di tangan perseorangan; bahkan pedagang eceran semakin digantikan oleh 'toko-toko koperatif,' yang sebagian terbesarnya hanyalah koperasi dalam nama belaka-tetapi mengenai ini kita tunda untuk lain kali. Demikianlah telah kita melihat bahwa oleh perkembangan sistem produksi kapitalis itu sendiri, kaum kapitalis digantikan secara sama seperti pemintal-tangan. Tetapi dengan perbedaan, bahwa pemintal-tangan ditakdirkan pelan-pelan mati-kelaparan, dan kapitalis yang digantikan itu dengan kematian pelahan-lahan karena terlampau banyak makan. Dalam hal ini mereka umumnya sama saja: kedua-duanya tidak mengetahui harus bagaimana diri mereka itu.
Maka, inilah hasilnya: perkembangan ekonomik masyarakat aktual kita semakin cenderung berkonsentrasi, mengsosialisasikan produksi ke dalam perusahaan-perusahaan raksasa yang tidak dapat lagi dikelola oleh kaum kapitalis tunggal. Segala omong-kosong mengenai "ketajaman melihat", dan keajaiban-keajaiban yang dihasilkannya, berubah menjadi omong-kosong besar segera setelah suatu perusahaan mencapai suatu ukuran tertentu. Bayangkanlah "ketajaman melihat" Perkereta-apian London dan Barat-laut! Tetapi, yang tidak dapat dikerjakan oleh sang majikan/ahli, pekerja biasa, hamba-hamba perusahaan yang berupah, dapat melakukannya dan itupun dengan berhasil.
Demikianlah, kaum kapitalis tidak dapat lagi mengklaim keuntungan-keuntungan/laba sebagai "upah pengawasan/supervisi," karena ia tidak mengsupervisi apapun. Biarlah selalu kita ingat itu, manakala para pembela modal menggembar-gemborkan kalimat itu.

Tetapi, dalam nomor minggu lalu, telah kita coba buktikan bahwa klas kapitalis juga menjadi tidak mampu mengelola sistem produktif rakasa negeri ini; bahwa di satu pihak mereka telah memperluas produksi sehingga secara berkala membanjiri seluruh pasar dengan produk-produk, dan di lain pihak menjadi semakin tidak mampu mempertahankan diri terhadap persaingan dari luar (negeri). Demikianlah kita mendapati, bahwa kita tidak saja dapat dengan sangat baik mengelola industri-industri besar negeri ini tanpa campur-tangan klas kapitalis , tetapi juga, bahwa campur-tangan mereka itu semakin menjadi gangguan tak-terhingga.