Tulisan
ini dibuat untuk mencari hubungan antara Waktu Perlu dengan Waktu Standar. Waktu Standar adalah waktu yang biasa digunakan dalam perhitungan Rencana Anggaran Biaya (RAB) suatu pekerjaan konstruksi.
Sementara di
dalam bukunya yang terkenal, Das Kapital
Buku pertama: Proses Produksi Kapital, Karl Marx membahas nilai tambah (N) dan
komponennya, nilai lebih (N1) dan nilai perlu (N2). Nilai tambah[1],
merupakan jumlah dari nilai perlu dan nilai lebih.
N
= N1 + N2 = Output - Input
Nilai
tambah juga dapat dinyatakan sebagai nilai yang dihasilkan oleh sejumlah tenaga
kerja (J) selama waktu kerjanya (W) menurut upah per waktu.
N=W
x Hs x J
Nilai
perlu (N1) adalah nilai yang ditambahkan ke dalam produk oleh sejumlah tenaga
kerja selama waktu perlu (W1) menurut upah per waktu (Hs). Besar (Magnitude)
nilai ini sama dengan upah (U) yang diterima oleh tenaga kerja selama waktu
kerja secara keseluruhan (W).
N1
= J x W1 x Hs = U
Sedangkan
nilai lebih (N2) adalah nilai yang ditambahkan ke dalam produk oleh sejumlah
tenaga kerja selama waktu lebih (W2). Besar (magnitude) nilai lebih adalah
selisih nilai tambah dengan nilai perlu.
N2
= J x W2 x Hs = N - N1
Kemudian,
jika persamaan upah disubsitusikan ke dalam persamaan nilai perlu, maka waktu
perlu dapat ditentukan.
W1
= U/(J x Hs)
Upah
(U) juga dapat ditentukan berdasarkan waktu perlu.
U
= J x Hs x W1
Di
sisi lain, jumlah waktu perlu (W1) dan waktu lebih (W2) adalah waktu
keseluruhan (W).
W
= W1 + W2
sehingga
waktu lebih (W2) adalah:
W2
= W-W1
Tingkat
eksploitasi[2]
(T), dirumuskan Karl Marx sebagai perbandingan antara waktu lebih (W1) dengan
waktu perlu (W2). Perbandingan yang sama juga dapat dari nilai lebih dan nilai
perlu.
T
= W2/W1 = Nilai lebih/Nilai Perlu
Dua
permisalan dapat dibuat untuk memberi contoh perhitungan tingkat eksploitasi
ini. Permisalan yang pertama adalah kasus yang terjadi di dalam Industri
Pengolahan (manufaktur biasa). Sedangkan Permisalan yang kedua, adalah kasus
yang terjadi di dalam Industri Jasa Konstruksi (manufaktur organik[3]).
Tapi di dalam tulisan ini, hanya permisalan yang kedua yang akan dibahas.
Menurut
Analisa Harga Satuan Pekerjaan yang ditetapkan oleh Pemerintah, Harga Satuan
Pekerjaan (HSP) ditentukan oleh Biaya langsung (BL) dan biaya tidak langsung
(BT) yang dibutuhkan untuk membuat satu satuan pekerjaan tertentu.
HSP
= BL + BT
Biaya
langsung terdiri dari biaya bahan (Bb) dan biaya tenaga kerja (Bp), sedangkan
biaya tidak langsung terdiri dari biaya umum (Over head) dan keuntungan (profit)
yang wajar. Total Biaya tidak langsung ditetapkan maksimal sebesar 15% dari
total biaya langsung.
HSP
= BL + BT
HSP
= Bb + Bp + 15% x (Bb+ Bp) =1.15 (Bb+Bp)
Untuk
menentukan tingkat eksploitasi, hanya komponen biaya tenaga kerja (Bp) yang
akan dibahas di sini. Biaya tenaga kerja dihitung berdasarkan jumlah pekerjaan
(V) dan harga per potong (Hu).
Bp
= Hu x V
Harga
per potong (Hu) ditentukan berdasarkan koefisien tenaga kerja (K) dan Hs.
Hu
= K x Hs
Bp
= K x Hs x V
Apabila
Upah yang diterima (U) di dalam AHSP sama dengan Biaya tenaga kerja (Bp), maka
hubungan antara Waktu perlu (W1) dengan Koefisien tenaga kerja dapat
dirumuskan.
Bp
= U
(K
x Hs x V) = (Hs x J x W1)
K
= J x W1/V
W1
= V/J x K
Selanjutnya
menurut AHSP, koefisien tenaga kerja (K) ditetapkan melalui suatu penelitian
empiris berdasarkan metode time and
motion study.
Di
dalam metode ini, koefisien tenaga kerja merupakan nilai yang didapatkan dari
penelitian terhadap produktivitas tenaga kerja (P) dalam suatu waktu tertentu
(W) dan jumlah pekerjaan tertentu pula (V).
P
= V/W
Selain
produktivitas tenaga kerja, pemerintah juga meneliti waktu standar (Ws). Waktu
standar adalah waktu yang benar-benar dibutuhkan untuk menghasilkan sejumlah
pekerjaan[4].
Dengan demikian, waktu standar berbeda dengan waktu kerja (W). Perbandingan
antara waktu standar dengan waktu kerja, disebut dengan Time Factor (TF).
Waktu
standar (Ws) adalah waktu sebenarnya yang diperlukan untuk menghasilkan volume
pekerjaan yang dibayar (V). Di sini lah indikasi eksploitasi terjadi. Sebab,
waktu kerja (W) dapat bernilai lebih besar dari waktu standar tersebut. Oleh
karena itu, time Factor tampil sebagai tingkat eksploitasi yang dimaksudkan
Karl Marx. Hubungannya dengan waktu perlu (W1) perlu kemudian dapat ditentukan.
TF
= Ws/W
Sementara
itu, koefisien tenaga kerja (K) dirumuskan menurut produktivitas dan Time
Factor itu.
K
= J/(P x TF)
K
= (J x W) / (V x TF)
Substitusi
persamaan ini ke persamaan sebelumnya untuk mendapatkan persamaan yang
menunjukkan hubungan antara waktu perlu dengan time factor.
W1
= V/J x K
W1
= V/J x (J x W) / (V x TF)
W1
= W /TF
W1/W
= TF
W1/W
= Ws/W
W1=Ws
W2
= W-Ws
Persamaan
yang terakhir ini menunjukkan bahwa Waktu Standar, yang dimaksudkan oleh
Pemerintah di dalam AHSP adalah waktu perlu yang dimaksudkan oleh Karl Marx. Semakin
kecil nilai Ws, maka semakin kecil pula Waktu perlu sehingga semakin besarlah Nilai
lebih yang diperoleh Pengusaha.
Sebagai
penutup. Tingkat eksploitasi, oleh karena itu, dapat diperoleh dari rumus
berikut ini.
Tingkat
Eksploitasi = W2/Ws = W-Ws/Ws = W/Ws -1 = 1/TF - 1
[1]
Sebagai perbandingan, Pemerintah (Badan Pusat Statistik Indonesia)
mendefinisikan nilai tambah sebagai output dikurangi input. Input atau biaya
antara adalah biaya yang dikeluarkan dalam proses produksi yang terdiri dari
biaya Bahan Baku, Bahan bakar, tenaga listrik dan gas, Sewa gedung, mesin dan
alat-alat dan Jasa non industri (Jasa yang tidak berkaitan dengan proses
produksi). Output adalah nilai keluaran yang dihasilkan dari proses kegiatan
industri yang terdiri dari Barang –barang yang dihasilkan dari proses produksi,
Tenaga listrik yang dijual, Jasa industri yang diterima dari pihak lain,
Selisih nilai stok barang setengah jadi akhir tahun dikurangi dengan stok awal
tahun. Penerimaan lain dari jasa non industri. Definisi ini lebih umum (dan
lebih bingung) daripada definisi yang digunakan oleh Karl Marx, yang membatasi
dirinya pada output berupa barang –barang yang dihasilkan dari proses produksi.
Apa perlunya membahas nilai tambah dari jasa penjualan tenaga listrik yang
merupakan sampingan pengusaha, jika kita ingin mengetahui nilai tambah dalam
sebuah barang yang diproduksi oleh pengusaha yang sama? coba lihat: http://www.bps.go.id/Subjek/view/id/9.
[2] Di
samping menjelaskan perihal komponen dasar nilai tambah (nilai perlu, nilai
lebih, waktu perlu, waktu lebih) dari sisi ekonomi, Karl Marx juga menjelaskan sisi
sosialnya. Berdasarkan persamaan-persamaan di atas (dan praktik real-nya), pengusaha
hanya membayar si pekerja berdasarkan nilai perlunya. Sementara nilai selebihnya
(nilai lebih), dikantongi sendiri oleh pengusaha. Dengan kata lain, pengusaha
"memakan keringat" tenaga kerjanya. Apabila sistem "makan
keringat" ini dipraktekkan secara luas di masyarakat, maka terdapat banyak
sekali tenaga kerja yang dirugikan alias dieksploitasi.
[3]
Karl Marx mendefinisikan manufaktur organik, sebagai pekerjaan-pekerjaan yang
berbeda dan dikerjakan oleh pekerja-pekerja yang berbeda pula, untuk
menghasilkan sejumlah produk yang sama dalam waktu yang sama. Lih. Das Kapital, Buku I :Proses Produksi.
[4]
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 11/PRT/M/2013 tentang Pedoman Analisis
Harga Satuan Pekerjaan Bidang Pekerjaan Umum. Lampiran I Hal. 366.
No comments:
Post a Comment