Dalam tulisan saudara margiyono[1]
berjudul “Rupiah kian melemah, bagaimana kaltara?” di kolom Opini Radar Tarakan
pada tanggal 14 September 2015, saudara margiyono menekankan bahwa penyebab
depresiasi yang sedang terjadi di indonesia saat ini adalah rendahnya ekspor
dibandingkan impor.
“Depresiasi rupiah terhadap dolar karena rendahnya ekspor
dan tingginya impor indonesia, dibuktikan oleh defisit neraca perdagangan”.
Demikian argumennya. Lalu berdasarkan anggapan itu, saudara margiyono
memperkirakan dampak depresiasi rupiah ini terhadap perekonomian masyarakat di provinsi
kalimantan utara beserta solusi-solusinya.
Mungkin beliau berharap, pemerintah
provinsi kalimantan utara membaca tulisannya dan lalu mencoba solusi-solusi
yang ia tawarkan. Maklumlah, solusi dari seorang akademisi!
Tapi tunggu dulu. Ini era
keterbukaan. Segala pendapat kita tidak hanya dibaca, tapi juga akan diuji. Tidak
pandang bulu, apakah seorang akademisi atau pun pemerintah yang menulis, maka
tulisannya harus siap dikritik. Berikut ini kritik kami[2]
terhadap tulisan saudara margiyono. Siapa tahu berguna.
Menurut Badan Pusat Statistik, hanya
dalam semester pertama 2015, dolar (dolar amerika) naik sekitar 592 rupiah, dari Rp.12,644.6[3] menjadi
Rp.13,237[4]. Sementara
hampir 10 tahun dari tahun 2004 sampai 2013, dolar hanya naik sekitar 3000
rupiah yakni dari Rp. 9.290 menjadi Rp. 12,189[5].
Dengan kata lain, 10 tahun dolar hanya naik rata-rata 24 rupiah per bulan, tapi
sekarang hanya dalam beberapa bulan kecepatannya naik empat kali lipat, yakni
rata-rata 98 rupiah per bulan. Oleh karena itu, depresiasi sekarang ini bukanlah
depresiasi biasa, tapi depresi besar-besaran.
Apabila penyebab depresiasi adalah
kelebihan impor sebagaimana yang disampaikan saudara margiyono, maka depresiasi
besar-besaran tentunya terjadi karena kelebihan impor yang besar-besaran. Tapi
data-data yang ada justru menampilkan sebaliknya.
Adalah benar bahwa pada tahun
2012 dan 2013, terjadi defisit neraca perdagangan, yakni masing-masing sebesar 1,6
milyar dolar dan 4 milyar dolar. Tapi pada 2014, defisit ini turun lagi menjadi
1.8 milyar dolar[6]
dan pada semester pertama tahun 2015, justru tidak ada defisit, dimana total
ekspor adalah 13 milyar dolar[7]
sedangkan total impor 12.3 milyar dolar[8]
alias surplus sekitar 1 milyar dolar. Jadi, tidak ada defisit besar-besaran
beberapa bulan ini, sehingga bukan itu penyebab depresiasi saat ini.
Selanjutnya, jika kita memeriksa
neraca perdagangan dari tahun 1965 sampai 2014, ekspor kita hampir selalu besar
daripada impor[9],
namun sepanjang tahun itu rupiah terus-menerus mengalami depresiasi[10],
yakni dari sekitar Rp.250 rupiah per dolar pada 1965 menjadi belasan kali lipat
seperti saat ini.
Bahkan, apabila kita meninjau depresiasi
besar-besaran yang terjadi pada tahun-tahun 1996 sampai 2001, dimana dolar naik
dari Rp.2,383 menjadi Rp.10,400[11]
atau rata-rata naik dengan kecepatan 133 rupiah per bulan (kecepatan yang lebih
tinggi daripada saat ini), maka kita tidak akan berani mengatakan itu
disebabkan oleh lebihnya impor. Sebab saat-saat itu, neraca perdagangan justru
surplus yakni 6.94 miliar dolar pada tahun 1996, 5.85 miliar dolar pada 1997,
15.09 miliar dolar pada 1998, 17.92 miliar dolar pada 1999 dan 22.33 miliar
dolar pada 2000[12].
Kesimpulannya, penyebab
depresiasi mata uang di indonesia saat ini bukanlah defisit neraca perdagangan (kelebihan
impor daripada ekspor). Bahkan, seluruh kasus depresiasi rupiah di indonesia, tidak
ada sangkut pautnya dengan ekspor-impor!.
Argumen saudara margiyono terbukti
salah. Oleh karena itu, agar tidak terjadi “salah diagnosa dan salah obat”,
maka dampak yang ia perkirakan dari depresiasi ini dan solusi yang ia tawarkan kepada
pemerintah provinsi kalimantan utara, perlu diperiksa ulang.
Demikian
kritik kami, apabila ingin mengkritik balik, kami persilahkan.
4 comments:
Trims atas kritiknya...
Kalau bukan karena mekanisme perdagangan... yg mempengaruhi nilai tukar mata uang... apakah pernyataan " ini bukan depresiasi biasa" itu menunjukan dan dapat menjelaskan... hubungan kausalitas.. melemahnya rupiah...
Mengapa niliai mata uang negara tertentu begitu kuat... dibanding yg lain lalu hubungkan neraca perdagangan negara iru terhadap perbadingan kursnya.... (misalnya, Indinesia vs As misalny) surplus atau defisit?...
trims banyak atas kritik, waktu dan kepeduliannya... srmoga sukses selalu..
Untuk menguji semua argument Bapak bisa mengumoulkan data yg berkaitan dengan neraca perdag antara Indonesia vs Amerika kemudian dilakukan uji kestasioneran yg dilanjutkan dengan analisis ttt misalnya VAR .. maka akan ada informasi dari nilai Granger Causality test varibel itu signifikant atau tidak... trims...
Terima kasih masukannya. Saya harap saudara mau menulis artikel balasan. Agar saya dapat menelusuri gagasan dan datanya.
Sebagai tambahan. Argumen saudata edy burmansyah dalam tulisan ini lebih jelas, bahwa depresiasi d indonesia terjadi karena kaburnya investor.http://indoprogress.com/2015/11/mahalnya-memulihkan-rupiah
Dahlan iskan juga berpendapat serupa pada artikelnya beberapa bulan yang lalu.
Post a Comment