Wednesday, March 04, 2015

Polemik Mutasi Jabatan Kabupaten Tana Tidung: Sampai Kapan?







Pada hari selasa tanggal 3 maret 2015 jam sembilan pagi waktu Indonesia timur, berpuluh pegawai negeri sipil di Kabupaten Tana Tidung yang dipimpin oleh ketua BAPERJAKAT yang juga sekaligus Sekretaris Kabupaten Tana Tidung, Bapak Drs. M. Yusuf Badrun M.Ap., melakukan aksi unjuk rasa terhadap Penjabat Bupati (Pj Bupati) di depan Kantor Bupati Kabupaten Tana Tidung, Provinsi Kalimantan Utara. (Sebagai informasi, Penjabat Bupati ini juga merangkap sebagai Kepala Dinas Pertanian, Kehutanan dan Ketahanan Pangan di Provinsi Kalimantan Utara). 

Para Aparat Sipil Negara yang mengunjuk rasa itu membawa spanduk berisi puluhan tanda tangan dan sebuah tulisan besar menggunakan spidol sekenanya berbunyi, “MOSI TIDAK PERCAYA PADA PJ BUPATI”. Apa tuntutan mereka? Tuntutan mereka disampaikan oleh Bapak Syahrul, mantan inspektur di Inspektorat Kabupaten Tana Tidung. Dengan suara yang lumayan keras dan tegas ia berseru :

“Hal yang paling penting adalah bahwa, Apa yang dilakukan oleh PJ bupati adalah tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (“Betuul”, sorak para pengunjuk rasa). Untuk itu, satu, yang kita minta, yang kita tuntut adalah menganulir SK Pelantikan pada tanggal 16 Februari 2015 (pengunjuk rasa bersorak: betuuul!). Yang berikutnya, karena PJ BUPATI tidak memiliki kompetensi untuk memimpin Kabupaten Tana Tidung, kita minta, kita minta, untuk mengundurkan diri. Nanti, kita akan ke kementrian dalam negeri untuk meminta agar kementrian dalam negeri untuk segera melakukan evaluasi atas kinerja PJ BUPATI (pengunjuk rasa bersorak lagi: Allahu akbar!). Dan selanjutnya, terakhir, tuntutan kita adalah meminta PJ BUPATI Kabupaten Tana Tidung untuk segera diganti!. Demikian penyampaian saya, terima kasih. Wabillahi taufik wal hidayah, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Selamat siang”. (Rekaman Videonya dapat dilihat di sini : Youtube : Polemik Mutasi Jabatan Kabupaten Tana Tidung)

Dari seruan tersebut, kita bisa ketahui bahwa mereka menuntut 4 hal. Tuntutan Pertama, meminta PJ Bupati untuk membatalkan SK Pelantikan (mutasi) pada tanggal 16 Februari 2015. Tuntutan Kedua, meminta PJ Bupati untuk mengundurkan diri sebab ia dianggap (oleh para pengunjuk rasa) tidak memiliki kompetensi. Tuntutan Ketiga, meminta kementrian dalam negeri untuk melakukan evaluasi atas kinerja PJ Bupati. Tuntutan Keempat, terakhir, meminta PJ Bupati untuk segera diganti.

Demikianlah bunyi tuntutan-tuntutannya. Ini adalah unjuk rasa pertama di Kabupaten Tana Tidung terkait mutasi jabatan eselon. Tuntutan-tuntutannya juga tidak mungkin diterima begitu saja oleh Pj Bupati, sebab pada saat unjuk rasa berlangsung, Pj Bupati juga sedang tidak ada di tempat. Lagipula, meminjam perkataan Leon Trotsky, tak ada kelas penguasa yang secara sukarela dan damai mau begitu saja turun dari tahtanya.  

Polemik ini bermula sejak SK Pelantikan bertanggal 16 Februari 2015 dikeluarkan dan mutasi terhadap para 49 pejabat eselon II dan III ditetapkan. Pj Bupati menjelaskan tujuan dari mutasi tersebut dalam paparannya di sebuah koran lokal. 

“Saya melakukan sedikit perubahan dengan mengisi jabatan yang kosong" kata beliau, "termasuk isteri mantan bupati Tana Tidung (Undunsyah) di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Tana Tidung, termasuk kerabat mantan bupati tersebar di sejumlah dinas juga dimutasi. Tujuannya, agar keberadaan mereka tak pengaruhi akurasi data jelang Pilkada. Itu alasan pertama untuk mengamankan mereka, sebab ada kemungkinan mantan bupati Undunsyah kembali mencalonkan diri di Pilkada Tana Tidung,” (silahkan baca rilis berita tersebut di sini : Mutasi ABY Menuia Protes PNS)


Para Pejabat Eselon (sebagian adalah korban mutasi jabatan) di bawah pimpinan Sekretaris Kabupaten Tana Tidung, menganggap proses pelantikan itu melanggar hukum. Tepat 2 minggu setelah pelantikan, mereka melakukan aksi unjuk rasa di atas. 

Selama dua minggu gonjang-ganjing, berbagai dampak buruk bermunculan di lingkungan kerja Pemerintah Kabupaten Tana Tidung. Pelaksanaan Latihan Pra Jabatan (LPJ) bagi CPNS tahun 2014 yang sudah direncanakan dengan matang oleh Badan Kepegawaian Kabupaten Tana Tidung tiba-tiba dibatalkan tanpa kejelasan, Penundaan pengurusan Gaji Pegawai, Penundaan Lelang Proyek-proyek yang terkait dengan masyarakat banyak seperti obat-obatan, penundaan pengadaan pupuk, penundaan pengadaan sarana-prasarana kesehatan. Kekacauan di dalam internal Pemerintah Kabupaten Tana Tidung ini tentunya akan menyebabkan kinerja para pegawai menjadi buruk dan pembangunan infrastruktur semakin melambat.

Keadaan akan makin kacau apabila pegawai-pegawai kecil mulai terseret arus konflik ini sehingga terjadi polarisasi di internal birokrasi. Sebagian akan bersikap mendukung aksi unjuk rasa sehingga dianggap pro pejabat eselon, sedangkan sisanya yang tidak mendukung aksi unjuk rasa akan dianggap pro PJ Bupati. Dengan demikian, keharmonisan di antara aparatur sipil Negara di Kabupaten Tana Tidung akan rusak. Jika demikian adanya, bagaimana mereka dapat menjalankan fungsinya sebagai perekat kesatuan dan persatuan Bangsa?

Dampak dari macetnya roda pemerintahan ini tentu juga akan membuat ekonomi masyarakat Kabupaten Tana Tidung semakin terpuruk di tengah inflasi dan iklim ekonomi Indonesia yang sedang melesu saat ini. Oleh karena itu, permasalahan yang ditimbulkan oleh polemik mutasi jabatan ini perlu segera diselesaikan sebelum dampaknya semakin parah.

Apabila PJ Bupati tidak mampu mengendalikan polemik ini sehingga dapat berdampak semakin buruk terhadap masyarakat luas, maka Dewan Perwakilan Rakyat Daerah selaku wakil rakyat, dapat menggunakan hak interpelasi atau hak angketnya.

Menurut Undang-Undang No. 22 Tahun 2003 Pasal 27, DPRD memiliki hak interpelasi dan hak angket. Hak Interpelasi adalah hak DPRD untuk meminta keterangan kepada pemerintah mengenai kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara. 

Apabila dalam proses interpelasi ditemukan ada dugaan pelanggaran aturan hukum yang dilakukan penjabat Bupati, barulah dilakukan hak angket. Misal, DPRD dapat memeriksa atau menyelidiki, apakah Tujuan mutasi itu sesuai hukum atau tidak? Apakah sah secara hukum Penjabat Bupati melakukan mutasi terhadap seorang Pejabat dikarenakan Pejabat itu adalah kerabat seorang Calon Bupati? Apakah sah secara hukum memutasi seorang Pejabat berdasarkan Prasangka bahwa Pejabat tersebut akan mempengaruhi akurasi data Pemilihan Kepala Daerah kelak? Bukankah Penjabat Bupati sendiri adalah Sahabat Penjabat Gubernur yang kemungkinan akan menjadi Calon Gubernur pada Pilkada Provinsi Kalimantan Utara kelak?


Apabila memang ternyata ada dugaan melanggar hukum, maka DPRD dapat melaksanakan Hak angket. 


Hak angket adalah sebuah hak untuk melakukan penyelidikan yang dimiliki oleh Dewan Perwakilan Rakyat yang memutuskan bahwa pelaksanaan suatu undang-undang dalam kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Hak interpelasi dan Hak angket tersebut dapat menjadi solusi. Prosesnya mungkin akan cukup lama terkait dengan prosedur yang perlu dilalui sebelum hak interpelasi atau hak angket itu dijalankan. 

Tapi sambil menunggu hasil tuntutan para pengunjuk rasa di Kementrian dalam negeri, tidak ada salahnya para wakil rakyat mengambil tindakan sesegera mungkin.

Mari kita belajar dari kasus di Kabupaten lain. Polemik serupa juga terjadi di Kabupaten Pulau Taliabu, Provinsi Maluku Utara. Polemiknya pada pertengahan tahun 2014 yang lalu. Penyelesaian Polemik ini juga melalui Kementrian dalam negeri. Tujuh bulan lamanya, masyarakat di Pulau tersebut terkatung-katung tanpa pelayanan publik yang optimal karena polemik berlarut-larut. Rupanya penyelesaian lewat “jalur” Kementrian Dalam Negeri ini memakan waktu yang cukup lama. Gubernur Maluku Utara sempat bersikukuh tidak mau mengganti PJ Bupati Taliabu. Namun Kementrian Dalam Negeri terus mendesak Gubernur untuk mengambil tindakan. Memang, pada akhirnya Kementrian Dalam Negeri mampu memaksa Gubernur untuk mengganti PJ Bupati yang berpolemik tersebut, namun proses pergantiannya ternyata tetap memakan waktu berbulan-bulan juga. Demikianlah polemik di Taliabu terjadi berlarut-larut.

Apa sebab hambatan-hambatan dalam penyelesaian via jalur Kementrian Dalam Negeri ini?

Hambatan pertama adalah dalam komunikasi politik antara Kementerian dalam negeri dengan Gubernur. Hambatan ini bisa saja terjadi karena masih adanya pertentangan yang tak terdamaikan antara semangat sentralistik yang telah dianut Pemerintah Pusat selama 32 tahun masa orde baru dengan semangat Otonomi di Daerah yang baru sebentar saja diselenggarakan di daerah (misal, di Kalimantan Utara Otonomi Daerah baru berjalan 3 Tahun, yakni sejak dimekarkannya Provinsi tersebut pada 2012).

Hambatan lainnya berupa pengaruh situasi dan kondisi politik di tingkat pusat yang juga bisa saja muncul. Sebagai misal, Menteri Dalam Negeri sekarang adalah berasal dari Partai Politik PDIP yang berafiliasi ke Koalisi Indonesia Hebat (KIH), sementara PJ Gubernur Provinsi Kalimantan Utara direkomendasikan sebagai Penjabat Gurnur Provinsi Kalimantan Utara oleh Gubernur Kalimantn Timur Awang Faroek yang diusung oleh Partai Golkar yang berafiliasi dengan Koalisi Merah Putih (KMP). Seandainya, tuntutan para pengunjuk rasa di Kabupaten Tana Tidung itu dipenuhi, maka Menteri Dalam Negeri akan cenderung merekomendasikan pengganti Pj Bupati dari partai yang berkoalisi dengan KIH. Sementara PJ Gubernur akan cenderung mempertahankan PJ Bupati dari kubu KMP. Bukankah berbagai pertimbangan-pertimbangan politis seperti ini akan mengakibatkan proses penyelesaian permasalahan ini akan menjadi semakin lama?. Tentu saja ada kemungkinan Pj Gubernur berkolaborasi dengan PDIP di Pemilihan Kepala Daerah 2015 kelak. Tapi itu kemungkinan yang sangat kecil. 

Kasus lainnya yang dapat dijadikan pelajaran adalah Polemik serupa yang terjadi di Kabupaten Pangandaran, Provinsi Jawa Barat. Polemik itu terjadi di awal tahun 2014, namun baru setahun kemudian, yakni awal tahun 2015, DPRD Pangandaran mewacanakan dan menjalankan hak interpelasinya untuk mengatasi polemik tersebut. Sampai sekarang kasusnya belum selesai.

Di Taliabu, polemik berjalan sampai 7 bulan dan di Pangandaran berjalan sampai setahun lebih. Haruskah polemik di KTT terjadi sampai selama itu?

Ayo Penjabat Bupati selesaikan kekacauan ini. Ayo wakil rakyat, turutlah bertindak! Gunakan Hak interpelasimu ! Gunakan hak angketmu !

1 comment:

Unknown said...

Bpk.DR.SULARDI. MM beliau selaku DEPUTI BIDANG BINA PENGADAAN, KEPANGKATAN DAN PENSIUN BKN PUSAT,dan dialah membantu kelulusan saya selama ini,alhamdulillah SK saya tahun ini bisa keluar.Teman teman yg ingin seperti saya silahkan anda hubungi bpk DR.SULARDI.MM Tlp; 0813-4662-6222. Siapa tau beliau mau bantu