Friday, March 06, 2015

APAKAH PENJABAT BUPATI TANA TIDUNG BOLEH MELAKUKAN MUTASI ?


Sebagaimana yang sedang ramai diberitakan di koran-koran dan media online, sedang terjadi Polemik di Kabupaten Tana Tidung. Polemik Mutasi Jabatan antara Pejabat yang berunjuk rasa pada tanggal 3 maret (mari kita sebut Kelompok 3 Maret, disingkat K3M) dengan Penjabat Bupati (Pj Bupati). Polemik ini terjadi karena perbedaan pendapat mengenai wewenang Pj Bupati. Apakah Pj Bupati berwenang melakukan mutasi pegawai? Di situlah letak perbedaan pendapatnya. Tulisan singkat berikut ini berupaya untuk menilai siapa yang benar dan siapa yang salah secara hukum dalam permasalahan ini. 

Dasar hukum yang dipakai Kelompok 3 Maret (K3M)

Menurut K3M, Pj Bupati tidak berhak melakukan mutasi. K3M menggunakan dasar hukum Peraturan Pemerintah Nomor 49 tahun 2008 pada132A, yang bunyinya:

“Ayat (1) Pj kepala daerah atau pelaksana tugas kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 130 ayat (1) dan ayat (3), serta Pasal 131 ayat (4), atau yang diangkat untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah karena mengundurkan diri untuk mencalonkan/dicalonkan menjadi calon kepala daerah/wakil kepala daerah, serta kepala daerah yang diangkat dari wakil kepala daerah yang menggantikan kepala daerah yang mengundurkan diri untuk mencalonkan/dicalonkan sebagai calon kepala daerah/wakil kepala daerah dilarang: 

a. melakukan mutasi pegawai;
b.membatalkan perijinan yang telah dikeluarkan pejabat sebelumnya dan/atau mengeluarkan perijinan yang bertentangan dengan yang dikeluarkan pejabat sebelumnya;
c. membuat kebijakan tentang pemekaran daerah yang bertentangan dengan kebijakan pejabat sebelumnya; dan
d. membuat kebijakan yang bertentangan dengan kebijakan penyelenggaraan pemerintahan dan program pembangunan pejabat sebelumnya.

Ayat (2)

Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan setelah mendapat persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri”.

Jadi, menurut ayat-ayat di atas, Pj Bupati dilarang melakukan Mutasi Pegawai, kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri.
  
Dasar Hukum yang dipakai Pj Bupati

Sementara Pj Bupati menggunakan dasar hukum lain untuk menegaskan wewenangnya[1], yakni :

1. Undang-Undang RI No 5 Tahun 2014 tentang aparatur sipil negara
2. Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 13 Tahun 2014[2]. Tentang tata cara pengisian jabatan pimpinan tinggi secara terbuka di lingkungan instansi pemerintah

Undang-undang no. 5 Tahun 2014 Pasal 73 ayat 1 dan 2 berbunyi :

“Ayat (1)
Setiap PNS dapat dimutasi tugas dan/atau lokasi dalam 1 (satu) Instansi Pusat, antar-Instansi Pusat, 1 (satu) instansi daerah, antar-instansi daerah, antar instansi pusat dan instansi daerah, dan ke perwakilan Negara Kesatuan Republik Indonesia di luar negeri.

Ayat (2)
Mutasi PNS dalam satu instansi Pusat atau instansi Daerah sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian”.

Siapa pejabat Pembina kepegawaian yang disebutkan pada ayat 2 tersebut? Ini dijelaskan dalam lampiran 1 No. Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 13 Tahun 2014, yang berbunyi :

“Pejabat Pembina Kepegawaian adalah pejabat yang mempunyai kewenangan menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Pegawai ASN dan pembinaan Manajemen ASN di instansi pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”

Demikianlah dasar-dasar hukum yang dipakai oleh Pj Bupati dalam masalah ini.

Tanggapan Pj Bupati terhadap dasar hukum yang digunakan K3M

Pj Bupati juga memberi tanggapan[2] atas dasar hukum yang digunakan oleh K3M di atas. Pj Bupati menganggap PP No.49 itu hanya membatasi kewenangan Pj Bupati dengan kriteria tertentu sesuai Pasal 130 ayat 1 dan 3 serta Pasal 131 ayat 4 pada PP No.6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

Pada PP No.6 tersebut Pj Bupati diangkat untuk mengisi kekosongan dengan kriteria sebagai berikut :

1.Kepala Daerah diberhentikan sementara oleh Presiden tanpa melalui usulan DPRD, karena dinyatakan melakukan tindak pidana. (Pasal 130 ayat 1)
2.Kepala Daerah diberhentikan sementara oleh Presiden tanpa melalui usulan DPRD, karena didakwa melakukan tindak pidana korupsi. (Pasal 130 ayat 1)
3.Kepala Daerah diberhentikan sementara oleh Mendagri atas usulan DPRD, karena dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana. (Pasal 130 ayat 1)
4.Kepala daerah dan Wakil Kepala Daerah diberhentikan sementara karena ketiga hal di atas. (Pasal 130 ayat 3)
5.Kepala daerah dan wakil kepala daerah berhenti atau diberhentikan secara bersamaan dalam masa jabatannya (131 ayat 4).
6.Kepala Daerah mengundurkan diri untuk mencalonkan diri dalam PILKADA (Pasal 132A).

Pj Bupati menarik kesimpulan bahwa PP No.49 hanya membatasi kewenangan Pj Bupati dengan kriteria-kriteria di atas. Sementara Pj Bupati sekarang diangkat karena Bupati yang lama telah habis masa jabatannya. Karena perbedaan kriteria atau sebab pengangkatan ini, maka PP No. 49 tersebut tidak berlaku bagi Pj Bupati sekarang.

Siapa yang benar?

Dari sekali pandang saja, kita bisa melihat bahwa yang benar adalah Kelompok 3 Maret (K3M). Sebab dasar hukum yang digunakan oleh K3M secara langsung menunjukkan bahwa Pj Bupati dilarang melakukan mutasi.

Sementara dasar-dasar hukum yang digunakan oleh Pj Bupati bersifat umum, yang menyatakan bahwa Pejabat Pembina Kepegawaian berhak melakukan mutasi. Namun semua orang bisa bertanya kembali, siapa yang dimaksudkan dengan istilah “Pejabat Pembina Kepegawaian” tersebut?

Mungkin Pj Bupati menganggap bahwa Pj Bupati adalah Pejabat Pembina Kepegawaian yang berhak melakukan Pengangkatan, Pemindahan dan Pemberhentian ASN sebagaimana di atur pada Peraturan Pemerintah No.63 tahun 2009. Sehingga Pj Bupati merasa berhak melakukan mutasi. 

Namun sebenarnya, Peraturan Pemerintah No. 63 tahun 2009 pasal 1 ayat 5 itu sendiri menegaskan bahwa: 

Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah Kabupaten/Kota adalah Bupati/Walikota”

Dengan demikian, PP No.63 tetap menegaskan bahwa Pj Bupati tidaklah memiliki kewenangan yang sama dengan Bupati.

Menggunakan kaidah kekhususan, maka dapat disimpulkan bahwa hanya Bupati yang dapat melakukan mutasi di Kabupaten. Sedangkan Pj Bupati tetap diikat oleh Peraturan Pemerintah No. 49 yang melarang Pj Bupati melakukan mutasi. 

Mengenai Tanggapan Pj Bupati terhadap PP No.49

Pj Bupati dapat saja membantah dengan mengatakan bahwa Peraturan Pemerintah No.49 itu hanyalah ditujukan untuk membatasi kewenangan Pj bupati dengan kriteria-kriteria tertentu yang tidak sesuai dengan kriteria Pj Bupati sekarang sehingga PP No.49 itu tidak dapat digunakan untuk membatasi kewenangan Pj Bupati sekarang. 

Tapi jika Pj Bupati menolak penggunaan PP No.49 itu, maka sama saja Pj Bupati menganulir pengangkatan dirinya sendiri sebagai Pj Bupati. Sebab Pengangkatan Pj Bupati diatur dalam PP yang sama, yakni PP No.49 terutama justru pada pasal-pasal yang juga membatasi wewenangnya seperti pasal 130 ayat 3. 

Demikianlah tulisan ini ditutup. Sejauh ini, kesimpulan Penulis adalah Pj Bupati tidak sah secara hukum melakukan mutasi. Namun saran dan kritik tetap diterima sebagai masukan. 







[1] Radar Tarakan, Kamis 5 Maret 2015 hal.1b dan sambungannya di hal.5b
[2] Surat Edaran Penjabat Bupati Tana Tidung, tanggal 5 Maret 2015

2 comments:

Robbyy said...

Kesimpulan. Mutasi itu kewenangan Pj Bupati, tetapi kewenangan menjadi tidak sah apabila tidak mengikuti prosedur atau aturan pendukung untuk melakukan mutasi, yaitu melalui Seleksi Terbuka bagi Eselon II yg lowong dan Adanya Usulan dari Baperjakat.

pikiranku said...

kewenangan seorang Pj bupati sangat berbeda dengan bupati definitif, dari prosedur pengangkatannya saja sudah berbeda. Sehingga tidak bisa seorang pj bupati menafsirkan beliau memiliki hak penuh yang setara dengan bupati definitif untuk melakukan mutasi