Sebagaimana yang sedang ramai diberitakan di koran-koran dan media online, sedang terjadi Polemik di Kabupaten Tana Tidung. Polemik Mutasi Jabatan antara Pejabat yang berunjuk rasa pada tanggal 3 maret (mari kita sebut Kelompok 3 Maret, disingkat K3M) dengan Penjabat Bupati (Pj Bupati). Polemik ini terjadi karena perbedaan pendapat mengenai wewenang Pj Bupati. Apakah Pj Bupati berwenang melakukan mutasi pegawai? Di situlah letak perbedaan pendapatnya. Tulisan singkat berikut ini berupaya untuk menilai siapa yang benar dan siapa yang salah secara hukum dalam permasalahan ini.
Dasar hukum yang dipakai
Kelompok 3 Maret (K3M)
Menurut K3M, Pj Bupati
tidak berhak melakukan mutasi. K3M menggunakan dasar hukum Peraturan Pemerintah Nomor 49 tahun 2008 pada132A,
yang bunyinya:
“Ayat (1) Pj kepala
daerah atau pelaksana tugas kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 130
ayat (1) dan ayat (3), serta Pasal 131 ayat (4), atau yang diangkat untuk
mengisi kekosongan jabatan kepala daerah karena mengundurkan diri untuk
mencalonkan/dicalonkan menjadi calon kepala daerah/wakil kepala daerah, serta
kepala daerah yang diangkat dari wakil kepala daerah yang menggantikan kepala
daerah yang mengundurkan diri untuk mencalonkan/dicalonkan sebagai calon kepala
daerah/wakil kepala daerah dilarang:
a. melakukan mutasi
pegawai;
b.membatalkan perijinan
yang telah dikeluarkan pejabat sebelumnya dan/atau mengeluarkan perijinan yang
bertentangan dengan yang dikeluarkan pejabat sebelumnya;
c. membuat kebijakan
tentang pemekaran daerah yang bertentangan dengan kebijakan pejabat sebelumnya;
dan
d. membuat kebijakan
yang bertentangan dengan kebijakan penyelenggaraan pemerintahan dan program
pembangunan pejabat sebelumnya.
Ayat (2)
Ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan setelah mendapat persetujuan tertulis
dari Menteri Dalam Negeri”.
Jadi,
menurut ayat-ayat di atas, Pj Bupati dilarang melakukan Mutasi Pegawai, kecuali
mendapat persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri.
Dasar
Hukum yang dipakai Pj Bupati
Sementara
Pj Bupati menggunakan dasar hukum lain untuk menegaskan wewenangnya[1], yakni :
1. Undang-Undang RI No 5 Tahun 2014 tentang aparatur sipil negara
2. Peraturan Menteri Pendayagunaan
Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 13 Tahun 2014[2]. Tentang tata cara pengisian jabatan pimpinan
tinggi secara terbuka di lingkungan instansi pemerintah
Undang-undang
no. 5 Tahun 2014 Pasal 73 ayat 1 dan 2 berbunyi :
“Ayat
(1)
Setiap
PNS dapat dimutasi tugas dan/atau lokasi dalam 1 (satu) Instansi Pusat,
antar-Instansi Pusat, 1 (satu) instansi daerah, antar-instansi daerah, antar
instansi pusat dan instansi daerah, dan ke perwakilan Negara Kesatuan Republik
Indonesia di luar negeri.
Ayat
(2)
Mutasi
PNS dalam satu instansi Pusat atau instansi Daerah sebagaimana dimaksud ayat
(1) dilakukan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian”.
Siapa
pejabat Pembina kepegawaian yang disebutkan pada ayat 2 tersebut? Ini
dijelaskan dalam lampiran 1 No. Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara
dan Reformasi Birokrasi Nomor 13 Tahun 2014, yang berbunyi :
“Pejabat Pembina
Kepegawaian adalah pejabat yang mempunyai kewenangan menetapkan pengangkatan,
pemindahan, dan pemberhentian Pegawai ASN dan pembinaan Manajemen ASN di
instansi pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”
Demikianlah
dasar-dasar hukum yang dipakai oleh Pj Bupati dalam masalah ini.
Tanggapan Pj Bupati terhadap dasar
hukum yang digunakan K3M
Pj
Bupati juga memberi tanggapan[2] atas
dasar hukum yang digunakan oleh K3M di atas. Pj Bupati menganggap PP No.49 itu
hanya membatasi kewenangan Pj Bupati dengan kriteria tertentu sesuai Pasal 130
ayat 1 dan 3 serta Pasal 131 ayat 4 pada PP No.6 Tahun 2005 tentang Pemilihan,
Pengesahan Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah.
Pada PP
No.6 tersebut Pj Bupati diangkat untuk mengisi
kekosongan dengan kriteria sebagai berikut :
1.Kepala
Daerah diberhentikan sementara oleh Presiden tanpa melalui usulan DPRD, karena
dinyatakan melakukan tindak pidana. (Pasal 130 ayat 1)
2.Kepala
Daerah diberhentikan sementara oleh Presiden tanpa melalui usulan DPRD, karena
didakwa melakukan tindak pidana korupsi. (Pasal 130 ayat 1)
3.Kepala
Daerah diberhentikan sementara oleh Mendagri atas usulan DPRD, karena
dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana. (Pasal 130 ayat 1)
4.Kepala
daerah dan Wakil Kepala Daerah diberhentikan sementara karena ketiga hal di
atas. (Pasal 130 ayat 3)
5.Kepala
daerah dan wakil kepala daerah berhenti atau diberhentikan secara bersamaan
dalam masa jabatannya (131 ayat 4).
6.Kepala
Daerah mengundurkan diri untuk mencalonkan diri dalam PILKADA (Pasal 132A).
Pj Bupati
menarik kesimpulan bahwa PP No.49 hanya membatasi kewenangan Pj Bupati dengan
kriteria-kriteria di atas. Sementara Pj Bupati sekarang diangkat karena Bupati
yang lama telah habis masa jabatannya. Karena
perbedaan kriteria atau sebab pengangkatan ini, maka PP No. 49 tersebut tidak
berlaku bagi Pj Bupati sekarang.
Siapa
yang benar?
Dari
sekali pandang saja, kita bisa melihat bahwa yang benar adalah Kelompok 3 Maret
(K3M). Sebab dasar hukum yang digunakan oleh K3M secara langsung menunjukkan
bahwa Pj Bupati dilarang melakukan mutasi.
Sementara
dasar-dasar hukum yang digunakan oleh Pj Bupati bersifat umum, yang menyatakan
bahwa Pejabat Pembina Kepegawaian berhak melakukan mutasi. Namun semua orang
bisa bertanya kembali, siapa yang dimaksudkan dengan istilah “Pejabat Pembina
Kepegawaian” tersebut?
Mungkin
Pj Bupati menganggap bahwa Pj Bupati adalah Pejabat Pembina Kepegawaian yang
berhak melakukan Pengangkatan, Pemindahan dan Pemberhentian ASN sebagaimana di
atur pada Peraturan Pemerintah No.63 tahun 2009. Sehingga Pj Bupati merasa
berhak melakukan mutasi.
Namun
sebenarnya, Peraturan Pemerintah No. 63 tahun 2009 pasal 1 ayat 5 itu
sendiri menegaskan bahwa:
“Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah
Kabupaten/Kota adalah Bupati/Walikota”
Dengan demikian, PP No.63 tetap menegaskan bahwa Pj Bupati tidaklah memiliki kewenangan yang sama dengan Bupati.
Menggunakan
kaidah kekhususan, maka dapat disimpulkan bahwa hanya Bupati yang dapat
melakukan mutasi di Kabupaten. Sedangkan Pj Bupati tetap diikat oleh Peraturan
Pemerintah No. 49 yang melarang Pj Bupati melakukan mutasi.
Mengenai Tanggapan Pj Bupati
terhadap PP No.49
Pj
Bupati dapat saja membantah dengan mengatakan bahwa Peraturan Pemerintah No.49 itu
hanyalah ditujukan untuk membatasi kewenangan Pj bupati dengan
kriteria-kriteria tertentu yang tidak sesuai dengan kriteria Pj Bupati sekarang
sehingga PP No.49 itu tidak dapat digunakan untuk membatasi kewenangan Pj
Bupati sekarang.
Tapi
jika Pj Bupati menolak penggunaan PP No.49 itu, maka sama saja Pj Bupati
menganulir pengangkatan dirinya sendiri sebagai Pj Bupati. Sebab Pengangkatan Pj
Bupati diatur dalam PP yang sama, yakni PP No.49 terutama justru pada
pasal-pasal yang juga membatasi wewenangnya seperti pasal 130 ayat 3.
Demikianlah
tulisan ini ditutup. Sejauh ini, kesimpulan Penulis adalah Pj Bupati tidak sah
secara hukum melakukan mutasi. Namun saran dan kritik tetap diterima sebagai
masukan.
2 comments:
Kesimpulan. Mutasi itu kewenangan Pj Bupati, tetapi kewenangan menjadi tidak sah apabila tidak mengikuti prosedur atau aturan pendukung untuk melakukan mutasi, yaitu melalui Seleksi Terbuka bagi Eselon II yg lowong dan Adanya Usulan dari Baperjakat.
kewenangan seorang Pj bupati sangat berbeda dengan bupati definitif, dari prosedur pengangkatannya saja sudah berbeda. Sehingga tidak bisa seorang pj bupati menafsirkan beliau memiliki hak penuh yang setara dengan bupati definitif untuk melakukan mutasi
Post a Comment