Friday, March 27, 2015

ORDE BARU, GERAKAN REFORMASI DAN AKUNTABILITAS

Sejarah Akuntabilitas di Indonesia baru dimulai 53 tahun setelah Indonesia merdeka. Sangat terlambat memang, tapi daripada tidak sama sekali.

Di jaman presiden Soekarno, yakni antara tahun 1845-1965, upaya untuk melaksanakan akuntabilitas tidak bisa dilaksanakan, sebab diinterupsi oleh Agresi Militer Belanda, Perang Perebutan Irian Jaya dari tangan Belanda, Pemberontakan Permesta, Pemberontakan DI/TII, Pemberontakan RMS, Pemberontakan Tentara yang dipimpin oleh Jenderal Nasution, Pemberontakan Tentara yang digerakkan oleh CIA dan dipimpin teman dekat Mayjen soeharto, yakni Kolonel Untung[1], yang dikenal sebagai peristiwa G30S/PKI atau Gestok.  Setelah itu, Mayjen Soeharto dan Jenderal Nasution mengkudeta Presiden Soekarno dan menjadikannya sebagai tahanan rumah. Selanjutnya, Indonesia di pimpin oleh Pemerintah baru, yang disebut Pemerintah Orde Baru, yang berlangsung selama kurang lebih 31 tahun, dari 12 maret 1967 sampai dengan 21 mei 1998.

Akuntabilitas di Pemerintahan Indonesia tidak mungkin diselenggarakan di masa Orde Baru, sebab Soeharto memimpin Indonesia secara sewenang-wenang dan korup[2].  Ini terbukti dari cara Soeharto berkuasa, yakni dengan menyalahgunakan Surat Perintah Sebelas Maret untuk mengkudeta Presiden sah waktu itu, Ir. Soekarno. Tidak itu saja, Soeharto menangkapi dan membunuh jutaan orang tidak bersalah agar kekuasaannya dapat bertahan 31 tahun lamanya. Partai Komunis Indonesia, dijadikan kambing hitam, anggotanya ditangkapi, dibunuh, diburu dan partainya dibubarkan. Kejahatan Hak Asasi Manusia ini sampai sekarang belum dituntaskan pengadilannya[3]. Setiap tahun film G30S/PKI disiarkan di seluruh Indonesia untuk menipu masyarakat, mengatakan bahwa PKI lah dalang semua itu. Namun sekarang, Pemerintah tidak berani lagi memutar film itu karena masyarakat tidak bisa lagi ditipu. Memutar ulang film G30S/PKI sama saja menipu diri sendiri.  

Tidak hanya PKI sebagai korbannya. Pemerintah Orde Baru, Soeharto dan cecunguk-cecunguknya secara semena-mena mengorbankan masyarakat Indonesia dengan memberikan sumber Daya Alam Indonesia semurah-murahnya pada kapitalis asing dan kapitalis nasional. Ini dapat dibuktikan dari berkuasanya berbagai perusahaan asing di Indonesia, antara lain Freeport di Papua sejak soeharto berkuasa sampai sekarang, yang telah mengeruk emas sesuka hatinya. Masyarakat Indonesia juga dijadikan buruh-buruh yang berupah murah di pabrik-pabrik asing yang beroperasi di kota-kota besar. Buruh-buruh juga dilarang berorganisasi secara benar, menurut ilmu-ilmu keburuhan, sehingga organisasi buruh sangatlah lemah daya tawarnya. Marxisme-leninisme dilarang, komunisme juga dilarang. Padahal marxisme-leninisme dan komunisme adalah ilmu-ilmu yang digunakan untuk memperjuangkan nasib kaum buruh. Di seluruh dunia maju, ilmu-ilmu itu tidak dilarang. Bahkan di Negara-negara maju, partai komunis dibolehkan, walaupun tidak berkuasa.

Mogok kerja dan merayakan hari buruh pada 1 mei amatlah dilarang, padahal seluruh Negara maju membolehkan mogok kerja dan merayakan hari buruh. Mereka yang melawan, dipecat, diburu dan ditangkap dengan tuduhan subversive (memberontak). Padahal mereka melawan untuk bisa memperjuangkan upah mereka sendiri, agar bisa hidup layaknya manusia, bukan hewan. Bahkan sampai sekarang, upah-upah buruh itu susah untuk ditinggikan, walau undang-undang perburuhan sudah ada, karena organisasi-organisasi buruhnya sudah dilemahkan puluhan tahun oleh seoharto. Semua pekerja mendapat sial di jaman soeharto. Bahkan, tentara-tentara kecil yang merupakan pekerja pemerintah pun mendapatkan nasib sama. Sementara Soeharto, jenderal-jenderal beserta para perwira hidup bergelimang harta, tentara kecil berpangkat Prajurit, Kopral dan Sersan, makan dari beras berkutu dan berbau busuk! (Di jaman sekarang, beras berkutu dan busuk ini disebut raskin, beras miskin).

Pemerintah Soeharto memperlakukan masyarakat di daerah-daerah bukan sebagai bagian dari bangsa Indonesia, tapi melakukan mereka sebagai masyarakat jajahan. Pemerintah orde baru menjajah daerah-daerah dengan cara-cara belanda. Tenaga rakyatnya diperas, sumber daya alamnya dikuras, pendidikannya ditindas dan hutannya ditebas. Tidak ada akuntabilitas di daerah. Bahkan kepala daerah pun tidak dipilih rakyat, tapi dipilih oleh Pemerintah Pusat ! ini sudah bukan rahasia.

Pemerintah orde baru memberikan kuasa pada perusahaan-perusahaan kayu di Kalimantan, yang menggunduli hutan sesuka hatinya dan menguasai lahan jutaan hektar[4] (seperti Adindo di Kabupaten Tana Tidung). Tidak itu saja, Pemerintah orde baru juga membiarkan perusahaan asing sesuka hati mengeruk sumber daya alam lainnya di daerah seperti minyak (tarakan dan Balikpapan), gas (bunyu) dan batu bara (kutai, berau, bontang). Padahal Pasal 33 UUD 45 telah menyatakan bahwa Sumber Daya Alam harus dimiliki oleh Negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran masyarakat Indonesia, bukan untuk dikuasai oleh pemilik perusahaan dan untuk kemakmuran para pemegang saham.

Hasil dari eksploitasi kekayaan alam di daerah-daerah tidak dibagikan sebagaimana mestinya kepada masyarakat di daerah, sehingga pertumbuhan ekonomi timpang dan pembangunan di daerah-daerah sangatlah tertinggal. Bahkan sampai sekarang, pola pemerintahan yang terkesan menjajah ini masih bertahan, hampir 70 tahun setelah Indonesia merdeka ini, masih ada daerah yang tidak dialiri listrik dan masih terisolasi.

Maka dari itu masyarakat daerah di masa reformasi menuntut diberlakukan otonomi daerah (Namun, tampaknya antek-antek soeharto yang masih berkuasa di pemerintah pusat, masih memandang rendah terhadap tuntutan daerah ini. Upaya-upaya meremehkan para pejuang otonomi daerah, seperti Isran Noor, terkesan dilakukan oleh pemerintah pusat sehingga otonomi daerah berjalan tersendat-sendat dan setengah hati).

Kekayaan alam Indonesia akhirnya tidak menguntungkan bagi Indonesia, sehingga nasib Indonesia tidak lebih maju daripada singapura, Negara kecil dan miskin sumber daya alam itu. Pendidikan di Indonesia juga terpuruk. Ekonomi Indonesia juga dipenuhi dengan warisan hutang, sampai sekarang, kita bahkan tidak bisa membayar hutang yang sampai 2000 trilyun lebih jumlahnya. Semua itu adalah warisan jaman soeharto. Bukankah itu sangat parah? Sebuah negeri dengan jumlah tenaga kerja berlimpah, kekayaan alam berlimpah, tapi hutangnya juga melimpah!

Ya, itu sangat parah. Dan, itu adalah akibat dari tidak adanya akuntabilitas di pemerintahan orde baru.
Banyak orang bodoh dan kurang mengerti, menyangka Soeharto telah membangun Indonesia dan memberi sumbangsih kepada Indonesia, padahal sebaliknya. Soeharto telah membikin Indonesia terpuruk, baik di bidang pendidikan, ekonomi, politik dan teknologi. Soeharto memperkaya dirinya sendiri, keluarganya dan orang-orang yang sehaluan dengannya. Presiden Soekarno turun dari jabatannya tidak membawa apa-apa. Sedangkan Soeharto turun dari jabatannya bergelimang harta. Maka dari itu Soeharto digulingkan oleh masyarakat dan Soekarno kembali dipuja-puja.

Pemerintah Orde Baru digulingkan oleh rakyat, dipimpin oleh orang-orang gerakan dan Mahasiswa melalui serangkaian aksi kekerasan demi kebenaran. Kenapa digulingkan? Kenapa tidak diminta dengan baik-baik untuk memperbaiki negeri ini? Itu mustahil. Soeharto dan cecunguk-cecunguknya tidak mungkin mau merubah diri mereka sendiri, tidak mungkin mau secara damai memberi kekuasaan pada Gerakan Reformasi. Seperti kata Karl Marx, “Kelas Penguasa tidak mungkin mau menyerahkan kekuasaannya secara suka hati dan damai”. Ini tidak boleh dilupakan.

Setelah orde baru digulingkan, gerakan reformasi (perubahan) berkuasa di Indonesia. Berbagai reformasi dilakukan. Salah satunya adalah reformasi pendayagunaan aparatur negara dengan tuntutan mewujudkan administrasi negara yang mampu mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dengan mempraktikan prinsip-prinsip Good Governance.

Masyarakat telah banyak dikerjai oleh Soeharto dan pemerintah orde baru, sehingga masyarakat menuntut kesungguhan pemerintah reformasi untuk menanggulangi korupsi, kolusi, dan nepotisme sehingga tercipta pemerintahan yang bersih dan mampu menyediakan barang-barang kebutuhan dan pelayanan publik.  Pemerintahan yang diharapkan ini disebut Good Governance. Pemerintahan orde baru jelas tidak Good Governance.

Agar Good Governance menjadi kenyataan, diperlukan komitmen yang tinggi dari semua pihak, atasan dan bawahan, pemerintah dan masyarakat, koordinasi yang baik, integritas, profesionalitas, dan etos kerja serta moral yang tinggi.

Hal yang paling penting adalah harus ada keteladanan. Pemerintah, instansi dan pegawai pemerintah, harus menjadi teladan. Untuk itulah dikembangkan sistem pertanggungjawaban yang tepat, jelas dan nyata, sehingga pemerintah dan pembangunan berlangsung secara berhasil guna, berdaya guna, bersih, bertanggung jawab, dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Di sinilah Akuntabilitas diperjuangkan. Konsep dasarnya adalah pada pengelolaan tugas dan fungsi tiap tingkatan organisasi pemerintah.  Masing-masing individu bertanggung jawab atas setiap kegiatan bagiannya.

Sejalan dengan itu, pada tahun 1998, setengah tahun setelah soeharto dipaksa mengundurkan diri, Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia menetapkan Ketetapan MPR RI Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

Setengah tahun kemudian, ketetapan itu ditindaklanjuti oleh Dewan Perwakilan Rakyat yang menetapkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

Satu bulan kemudian setelah undang-undang ditetapkan, Presiden menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah.

Lima bulan setelah instruksi dikeluarkan, Kepala Lembaga Administrasi Negara mengeluarkan Keputusan Kepala Lembaga Administrasi Negara Nomor 589/IX/6/y/99 tentang Pedoman Penyusunan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (yang kemudian dengan pertimbangan menyesuaikan dengan perkembangan yang telah terjadi, telah diperbaharui dengan Keputusan Kepala LAN Nomor 239/IX/6/8/2003).

Bayangkan, kurang dari setahun soeharto digulingkan, gerakan reformasi secara maraton menerbitkan TAP MPR, Undang-Undang, Instruksi Presiden dan Keputusan Kepala LAN untuk merubah cara Pemerintahan agar tidak lagi menggunakan cara-cara Pemerintahan Orde Baru. Jelas Akuntabilitas di lingkungan instansi pemerintah amatlah penting bagi gerakan reformasi.

Bisa dikatakan, tanpa reformasi, akuntabilitas di Indonesia tidak akan ada, dan tanpa akuntabilitas, reformasi akan gagal. Maka Akuntabilitas perlu tetap dilestarikan.

Demikian mengenai sejarah akuntabilitas di Indonesia. Dengan melihat sejarahnya, kita bisa menarik satu kesimpulan, bahwa Akuntabilitas diperlukan agar Pemerintah dapat menjalankan pemerintahan secara terukur tugas, wewenang dan tanggung jawabnya, sehingga pada akhirnya, Pemerintah tidak menjalankan pemerintahan secara sewenang-wenang. Dari sudut inilah seharusnya Akuntabilitas dibahas, dipelajari dan diterapkan. 

Pada tulisan berikutnya, kita akan membahas lebih lanjut, apa yang dimaksud dengan Akuntabilitas itu secara detail. Mohon saran kritiknya. (RC).






[1] http://www.merdeka.com/peristiwa/menyibak-kedekatan-letkol-untung-dan-soeharto.html
[2] http://id.wikipedia.org/wiki/Kasus_dugaan_korupsi_Soeharto
[3] http://www.tempo.co/read/news/2004/01/23/05538767/Komnas-HAM-Lima-Pelanggaran-HAM-Berat-di-Masa-Soeharto
[4] http://indoprogress.com/2013/12/sejarah-ekonomi-politik-tata-kelola-hutan-di-indonesia/

No comments: