.. maka dari lima penjuru, yakni dari Dutch Harbour, dari Hawaii, dari Tutuila, dari Guam dan dari Manila, Amerika sudahlah mengelilingi Japan dengan benteng-benteng-laut yang kuat dan sentausa.
Dan Japan-pun memperlengkap senjata-senjatanya, diikuti oleh Inggeris yang mendirikan benteng-benteng-laut di Singapura!
Tidakkah negeri kita yang letaknya di pinggir benar dari lautan Teduh itu, akan terbawa-bawa dalam perkelahiannya raksasa-raksasa ini? Tidakkah kita dari sekarang harus bersedia-sedia oleh karenanya9 Janganlah hendaknya kita terperanjat, kalau nanti perang Pasifik ini mengobarkan lautan Teduh.
....
Soekarno, 1928
Situasi-situasi revolusioner, adalah perubahan-perubahan ekonomi dan politik di dalam masyarakat, perubahan susunan masyarakat. Revolusi Nasional, Revolusi sosial, reformasi dan munculnya fasisme, adalah contoh situasi yang revolusioner.
Secara teoritis, yakni berdasarkan determinasi ekonomi terhadap perubahan sosial politik masyarakat, maka situasi-situasi itu dapat diprediksi. Munculnya Revolusi Nasional, Revolusi sosial, reformasi dan munculnya fasisme, oleh karena itu, dapat pula diprediksi. Revolusi di asia-afrika akhir-akhir ini, juga seharusnya dapat diprediksi. Revolusi mesir, yang baru saja terjadi, seharusnya dapat diprediksi. Bahkan, revolusi selanjutnya, apakah revolusi india, revolusi china, atau revolusi indonesia... seharusnya dapat diprediksi.
Tapi tidak semua teori sosial, teori politik atau teori ekonomi mampu memprediksi situasi-situasi revolusioner tersebut. Hanya teori yang revolusioner lah yang mampu melakukannya, yakni teori Materialisme Dialektik atas sejarah, buah tangan paham Marxisme.
Manfaat dari hasil prediksi tersebut, adalah untuk dijadikan bahan pertimbangan gerakan kaum pekerja dalam melaksakanan aksi-aksi ekonomi politiknya. Aksi-aksi yang dipandu oleh prediksi seperti ini lah yang kita sebut sebagai aksi yang revolusioner.
Inilah maknanya perkataan lenin, "tidak ada aksi revolusioner tanpa teori revolusioner". Mengingat akhir-akhir ini, kemampuan-kemampuan prediksi ini semakin melemah di kalangan gerakan kaum pekerja, maka penulis mencoba mempersembahkan tulisan Ir. Soekarno tentang prediksi-nya terhadap jatuhnya imperialisme.
Semoga tulisan soekarno ini bisa menginspirasi kita, memberi contoh bagi kita, meyakinkan kita, bahwa situasi-situasi revolusioner dapat diprediksi. Sebab hasil prediksinya, sudah teruji oleh sejarah, yakni Perang dunia ke-2.
Selamat membaca.
INDONESIANISME
DAN PAN - ASIATISME
Ir. Soekarno
Di dalam surat-kabar "Keng
Po" 9 Juli yang lalu, dimuat suatu telegram yang berbunyi: "Kemaren fihak Tionghoa
dan Indonesiers, antaranya Ir. Sukarno dan Dr. Samsi, telah
merayakan kemerdekaannya kaum nasionalis di Tiongkok …"
Telegram
ini adalah benar. Pesta perayaan itu
memang sudah terjadi; kaum
Indonesia memang sudah ikut merayakan
kemenangannya fihak nasionalis
di Tiongkok. Di dalam perayaan ini adalah terbukti dengan terang, bagaimana kini sudah mulai sadar rasa
persatuan dan rasa persaudaraan
antara bangsa Tionghoa dan bangsa Indonesia, yakni sama-sama bangsa
Timur, sama-sama bangsa sengsara, sama-sama bangsa yang sedang
berjoang menuntut kehidupan yang bebas.
Kita, kaum
nasionalis Indonesia, kita bersuka-syukur di atas kesadaran ini, kita berbesar-hati, yang propaganda kita ke arah Pan-Asiatisme sudah mulai berkembang. Kita memang sudah dari dulu
mengetahui dan percaya, bahwa faham Pan-Asiatisme ini p a s t i dapat
hidup dan bangkit di dalam pergerakan kita. Sebab persatuan nasib antara
bangsa-bangsa Asia
pastilah melahirkan persatuan perangai; persatuan nasib pastilah melahirkan persatuan rasa!
Sebagaimana
dalam tahun 1905 kemenangan Japan di atas musuhnya biruang di kutub utara dirasakan oleh dunia Asia sebagai suatu
kemenangan Asia di atas Eropah ; sebagaimana kemenangan Mustafa Kemal Pasha dipadang peperangan Afiun Karahisar oleh
seluruh dunia Asia dirasakan pula sebagai suatu
kemenangan Timur di atas Barat, - maka kemenangan Tiongkok di atas pengkhianat-pengkhianat yang mau
menelan padanya adalah kita rasakan sebagai kita punya kemenangan juga di dalam kita punya perjoangan mengejar keadilan dan keselamatan.
Tidakkah
kita, bangsa Indonesia, ikut pula berdebar-debar hati, kalau kita mendengar kabar tentang majunya usaha Ghasi Zaglul Pasha membela Mesir? Tidakkah kita ikut berhangatan darah,
kalau kita mendengar kabar tentang haibatnya pergerakan Mohandas Karamchand Gandhi atau Chita Ranjau Das membela India? Tidakkah kita berbesar hati pula, menjadi saksi atas hasilnya usaha Dr. Sun Yat Sen, "Mazzini negeri Tiongkok" itu?
Bahwasanya, bahagia yang melimpahi negeri-negeri Asia yang lain
adalah kita rasakan sebagai melimpahi diri kita sendiri; malangnya negeri-negeri itu adalah malangnya negeri kita pula.
Wafatnya Zaglul Pasha,
wafatnya C. R. Das, wafatnya Dr. Sun Yat Sen tak luputlah mengabungkan pula hati kita yang merasakannya sebagai kehilangan pemimpin sendiri; dan
kabar-kabar tentang mundurnya
pergerakan di India
atau kacaunya susunan kaum
nasionalis Tiongkok tahun yang lalu tak luputlah pula memasygulkan hati kita semua. Memang adalah kebenarannya kalau
kita katakan, bahwa pergerakan di Indonesia itu terlahirnya ialah antara
lain-lain oleh karena wahyunya pergerakan pergerakan di negeri-negeri
Asia yang lain.
Ada kebenarannya, kalau salah seorang nasionalis Indonesia menulis, bahwa "letusan
meriam di Tsushima telah membangunkan penduduk Indonesia, memberi tahukan bahwa
matahari telah
tinggi, serta memaksa penduduk Indonesia turut berkejar-kejaran dengan bangsa asing menuju padang kemajuan dan
kemerdekaan" - bahwa "benih yang ditebarkan oleh Mahatma Gandhi di kiri-kanan sungai Ganges tiadalah sahaja tumbuh di sana, melainkan setengah dari padanya telah diterbangkan angin menuju khatulistiwa dan disambut oleh bukit barisan yang melalui
segala nusa Indonesia serta menebarkan biji itu di sana", - dan bahwa "asap bedil di Afiun Karahisar yang dibawa awan ke arah Timur,
melindungi pula daerah Indonesia dan menimbulkan hujan debu yang
mengandung biji kemanusiaan"! Adalah kebenarannya kalau Lothrop
Stoddard mengatakan, bahwa pergerakan-pergerakan di seluruh benua Asia ada bergandengan Rokh satu sama lain, mempengaruhi satu sama lain. Seluruh rakyat Asia, seluruh rakyat kulit berwarna,
kata penulis ini, kini oleh
keharusan membela-diri, yakni oleh
"instinct of self-preservation", sudahlah tergabung menjadi
"satu gabungan perasaan yang kokoh dan bertentangan dengan kekuasaannya bangsa kulit putih", yakni menjadi s a t
u gerakan, satu umat yang
menimbun-nimbun kekuatannya untuk menggugurkan
segala rintangan-rintangan yang menghalang-halangi padanya di atas jalan
ke arah kemajuan dan keselamatan.
Soal Mesir dan India terhadap negeri Inggeris; soal
Philipina terhadap negeri
Amerika; soal Indonesia terhadap negeri Belanda; soal Tiongkok terhadap pada imperialisme-imperialisme asing - itu semuanya sudahlah cerbu ke dalam soal yang maha-besar dan maha-haibat, yakni soal Asia terhadap Eropah, atau lebih luas lagi: cerbu ke dalam dunia
kulit berwarna terhadap pada dunia
kulit putih.
Abad
keduapuluh sudahlah menjadi "abad perbedaan warna kulit"; abad ini sudahlah menjadi abad yang memberi jawaban di atas "problem of the colour-line" …
Akan tetapi adalah
lain-lain sebab yang menyuruh kita mempersatukan
diri dengan bangsa Asia yang lain-lain.
Kita rakyat Indonesia, kita harus insyaf, bahwa sesuatu kekalahan atau kerugian yang
diderita oleh imperialisme lain, adalah berarti suatu keuntungan bagi kita, suatu penguatan-pendirian bagi
kita di dalam kita
punya perjoangan yang sukar ini.
Kemenangan rakyat Mesir, Tiongkok atau India di atas
imperialisme Inggeris adalah kemenangan kita; kekalahan mereka adalah kekalahan kita juga …
Sebab
imperialisme yang sekarang
mengaut-aut di negeri kita
dan menyeret rakyat kita ke dalam lumpur kesengsaraan, bukanlah imperialisme Belanda sahaja,
bukanlah terpikul oleh modal Belanda sahaja akan tetapi ialah bersifat
internasional: Lebih dari 30%
dari pada modal yang kini
merajalela di negeri kita
dan di antara rakyat kita adalah di tangan bangsa asing yang lain, terutama bangsa Inggeris, - sehingga
bukannya imperialisme Belanda sahajalah yang menghalang-halangi kita punya usaha mencari kemerdekaan dan keselamatan, akan tetapi imperialisme-imperialisme yang lain itu juga mempunyai kepentingan
di atas kekalnya penjajahan di negeri kita, imperialisme-imperialisme
yang lain itu juga akan ikut bergerak dan berbangkit melepaskan semua tali-tali yang mengikat kita dalam ketidakmerdekaan dan kekalahan.
Di dalam usaha kita mencari sinarnya matahari, hendaklah kita tidak sahaja melawan imperialisme
Belanda, akan tetapi hendaklah
perlawanan itu diarahkan juga pada mendung-mendung imperialisme lain-lain yang menyurami
negeri tumpah darah kita adanya. Di dalam
menentang imperialisme Inggeris dan lain sebagainya itu, maka rakyat Mesir, rakyat India, rakyat Tiongkok, rakyat Indonesia adalah berhadapan dengan satu musuh; mereka adalah
kawan-senasib, kawan-seusaha, kawan-sebarisan, yang perjalanannya harus rapat satu sama lain, rapat menjadi satu umat Asia jang seiman dan
senyawa. Jikalau bersama-sama
umat Asia ini menjalankan serangannya terhadap benteng imperialisme yang kokoh dan kuat itu; jikalau bersama‑sama
pada satu ketika semua rakyat Asia itu masing-masing dalam negerinya mengadakan
perlawanan yang haibat sebagai gelombang-taufan terhadap benteng imperialisme-imperialisme itu, maka
tidak boleh tidak, benteng itu
pastilah rubuh pula karenanya!
Itulah
sebabnya, maka kita, kaum pergerakan Indonesia, harus mengulurkan tangan kita ke arah saudara-saudara kita bangsa Asia yang lain-lain. Itulah sebabnya maka kita harus berdiri di atas azas Pan-Asiatisme. Imperialisme Inggeris (misalnya) adalah musuh Mesir; ia adalah musuh India; ia adalah pula musuh Tiongkok; tetapi ia adalah musuh
kita juga!
Tapi
dapatkah nasionalisme kita itu dihubungkan dengan faham Pan-Asiatisme, yakni faham yang melintasi batas-batas negeri tumpah darah kita, faham yang meliputi hampir separo dunia?
Nasionalisme
kita bukanlah nasionalisme yang sempit;
ia bukanlah nasionalisme
yang timbul dari pada kesombongan bangsa belaka; ia
adalah nasionalisme
yang lebar,-
nasionalisme yang timbul daripada pengetahuan atas susunan dunia dan
riwayat;
ia bukanlah
"jingo-nationalism" atau chauvinisme,
dan bukanlah suatu copie atau tiruan daripada nasionalisme Barat.
Nasionalisme kita ialah suatu nasionalisme, yang menerima rasa-hidupnya sebagai suatu wahyu, dan
menjalankan rasa-hidupnya itu
sebagai suatu
bakti. Nasionalisme kita adalah nasionalisme yang di dalam kelebaran dan keluasannya memberi tempat cinta pada lain-lain bangsa, sebagai lebar dan luasnya udara, yang memberi
tempat segenap sesuatu yang perlu untuk
hidupnya segala hal yang hidup. Nasionalisme kita ialah nasionalisme ke-Timur-an, dan sekali-kali
bukanlah nasionalisme ke-Barat-an,
yang menurut perkataan C. R. Das adalah "suatu
nasionalisme yang serang-menyerang, suatu nasionalisme yang mengejar keperluan sendiri, suatu nasionalisme p e r d a g a n g a n yang
menghitung-hitung untung atau
rugi" …
Nasionalisme
kita adalah nasionalisme yang membuat kita menjadi "perkakasnya Tuhan", dan membuat kita menjadi "hidup di dalam Roch" - sebagai yang saban-saban dikhotbahkan oleh Bipin Chandra Pal, pemimpin India yang besar itu. Dengan nasionalisme yang demikian
ini, maka kita insyaf dengan
seinsyaf-insyafnya, bahwa negeri kita dan rakyat kita adalah sebagian daripada negeri Asia dan rakyat Asia, dan
adalah sebagian daripada dunia dan penduduk dunia adanya.... Kita kaum
pergerakan nasional Indonesia, kita bukannya sahaja merasa menjadi abdi atau hamba daripada negeri tumpah darah
kita, akan tetapi kita juga merasa menjadi abdi dan hamba Asia, abdi dan hamba
semua kaum yang sengsara, abdi dan hamba d u n i a.
Kita, oleh k
a r e n a kita
nasionalis, tak mau menutupi mata kita di atas kenyataan, bahwa
nasib kita ialah buat sebagian
bersandar pada pekerjaan-bersama antara kita dengan bangsa-bangsa
Asia yang lain, pekerjaan-bersama antara kita dengan bangsa-bangsa yang menghadapi satu musuh dengan kita, pekerjaan-bersama dengan semua kekuatan-kekuatan di luar batas negeri kita yang melawan dan melemahkan musuh-musuh kita adanya.
Dalam pada mencari-cari hubungan dengan lain-lain
bangsa kulit berwarna itu, maka walau buat
sekejap matapun kita tidak boleh lupa, bahwa akhirnya nasib kita ialah terletak dalam besar kecilnya usaha kita
sendiri. Tidak di dalam tangannya bangsa lainlah letaknya hidup-matinya bangsa kita, tidak di dalam tangannya bangsa lainlah terdapatnya jawaban atas pertanyaan Indonesia-Luhur atau Indonesia-hancur, melainkan di dalam genggaman kita sendiri.
Selama rakyat Indonesia belum menimbun-nimbunkan kekuatannya dan memeras tenaganya sendiri; selama ia belum percaya akan kekuatan dan kebisaan sendiri; selama ia belum menyatakan dengan perbuatan sendiri kebenarannya sabda "Allah tak merobah keadaan sesuatu rakyat, jikalau rakyat itu tak merobah keadaannya itu sendiri", - selama itu, maka ia akan tetap
hidup dalam perhambaan dan kenistaan, dan
masih jauhlah datangnya hari yang ia akan dapat bertampik-sorak "Indonesia-Selamat,
Indonesia-Merdeka"! Pekerjaan-bersama dengan bangsa-bangsa Asia yang lain, pekerjaan-bersama dengan kekuatan-kekuatan yang melawan musuh-musuh kita juga, hanyalah suatu "pencepat" atau suatu katalisator sahaja daripada datangnya kemerdekaan kita itu, - akan tetapi bukanlah ia pembawa kemerdekaan
itu yang satu-satunya; ia hanyalah mempercepat jalannya sumber keselamatan kita, tetapi bukanlah ia sumber itu
sendiri adanya.
Dengan apa yang dikemukakan
di atas, maka kita, kaum pergerakan nasional
Indonesia, dengan gembira dan besar hati menginjak lapangannya Pan-Asiatisme itu. Zaman menuntut kepada kita, memaksa kepada kita,
melebarkan kita punya usaha sampai
ke luar batas-batasnya negeri kita, melancar-lancarkan kita punya tangan kearah tepi-tepinya sungai Nil atau datar-datarnya Negeri-Naga, menyeru-nyerukan kita punya suara sampai ke negerinya Mahatma
Gandhi. Sebab zaman itu sebentar lagi akan memanggil kita menjadi saksi atas terjadinya perkelahian yang maha-haibat di lautan Teduh antara raksasa-raksasa imperialis Amerika, Japan dan
Inggeris yang berebutan mangsa dan berebutan kekuasaan: Zaman itu
sebentar lagi boleh jadi akan membawa-bawa kita ke dalam gelombang hamuknya angin-taufan yang akan
membanting di lautan Teduh itu.
Sekarang sudahlah
terdengar mulai gemuruhnya angin ini:
sebagai seekor maharaja-singa yang mengulurkan
kukunya untuk menerkam Japan pada tiap-tiap
saat yang dikehendakinya, sebagai raksasa Dasamuka yang memasang mulutnya yang banyak itu untuk menelan musuhnya, maka dari lima penjuru, yakni dari Dutch Harbour, dari Hawaii, dari Tutuila, dari Guam dan
dari Manila, Amerika sudahlah mengelilingi Japan dengan benteng-benteng-laut
yang kuat dan sentausa.
Dan Japan-pun memperlengkap
senjata-senjatanya, diikuti oleh
Inggeris yang mendirikan benteng-benteng-laut
di Singapura!
Tidakkah negeri kita yang letaknya di pinggir benar dari lautan Teduh itu, akan
terbawa-bawa dalam perkelahiannya raksasa-raksasa ini? Tidakkah kita dari sekarang harus
bersedia-sedia oleh karenanya9 Janganlah hendaknya kita terperanjat, kalau nanti perang Pasifik ini mengobarkan lautan
Teduh.
Janganlah hendaknya kita belum sedia, kalau nanti
musuh-musuh kita berkelahi satu sama lain dengan cara mati-matian di dekat negeri kita dan barangkali di dalam daerah negeri kita juga. Janganlah hendaknya kita kebutaan sikap, kalau lain-lain bangsa Asia
dengan merapatkan diri satu sama lain tahu menentukan sikapnya di dalam keributan
ini!
No comments:
Post a Comment