Rancangan Undang-Undang Organisasi Massa telah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia pada tanggal 2 Juli 2013 kemarin, dengan tanpa memperhatikan Penolakan dan Kritik bertubi-tubi dari berbagai Gerakan buruh , Tokoh Intelektual dan Organisasi Massa yang ada di Indonesia.
Sebagian Rakyat Indonesia melihat Pengesahan itu sebagai sesuatu yang janggal dan aneh. Janggal sebab sedemikian banyak penolakan terhadapnya tapi RUU tersebut tetap disahkan juga. Dikatakan Aneh, sebab bagaimana tidak aneh, tidak ada angin tidak ada hujan, tidak ada keadaan darurat atau alasan signifikan, RUU itu dibahas dan disahkan hanya dalam tempo yang singkat, padahal RUU tersebut sangat krusial berkaitan dengan kebebasan berpendapat dan berkumpul yang menjadi dasar berdirinya Sistem Demokrasi.
Sebagian rakyat indonesia lainnya, melihat itu sebagai suatu tendens (kecenderungan) dari Mulai Bangkitnya Fasisme di Indonesia.
Untuk itu, Penulis mempersembahkan Tulisan-tulisan yang berkaitan dengan Fasisme, yang ditulis oleh Mantan Presiden Indonesia, Bung Karno. Selamat membaca.
FASISME
ADALAH POLITIKNYA DAN SEPAK TERJANGNYA KAPITALISME YANG MENURUN
Oleh : Ir. Soekarno
Orang yang cinta fasisme adalah orang yang jiwanya zalim.
Beberapa permintaan sudah sampai kepada saya, supaya menerangkan lebih jelas
lagi kalimat yang tertulis di atas itu.
Rupanya saya punya karangan "Beratnya Perjoangan Melawan Fasisme" menarik perhatian orang. Hanya sahaja, ternyata masih ada
beberapa bagian di dalam
karangan itu, yang orang belum mengerti betul dan minta dijelaskan lagi: terutama sekali
kalimat-kalimat yang; mengandung di dalamnya kata-kata "kapitalisme yang menaik" dan "kapitalisme menurun ", (kapitalisme "im
Aufstieg", dan kapitalisme "im Niedergang").
Apakah itu,
- kapitalisme yang menaik, dan kapitalisme yang menurun?
Bagaimanakah keterangan karangan itu kalimat yang berbunyi bahwa
fasisme adalah politiknya
dan sepak-terjangnya
kapitalisme yang menurun?
Marilah coba saya terangkan
dengan cara yang populer.
Tetapi alangkah
sukarnya! Sukar menerangkan satu soal yang sulit-rumit, dengan cara populer! Tetapi marilah saya coba. Memang saya punya kesenangan, saya punya kegemaran,
dan barangkali juga saya punya pembawaan diri, ialah selalu mencoba m e m p o p u l e r k a n soal-soal. Buat apa saya menulis karangan-karangan
di surat-surat khabar-harian, bergembar-gembor di atas podium,
"memberi penerangan" kepada umum, kalau saya tidak menulis
atau berpidato dengan cara yang dimengerti orang? Saya merasa sangat puas, kalau tulisan-tulisan
saya, pidato-pidato saya dimengerti orang. Karena itu saya minta kepada Tuan-tuan: manakala karangan-karangan saya di "Pemandangan" ini menurut
hemat, Tuan-tuan
masih kurang populer, kurang
mudah dimengertinya, kurang
"angler" dibacanya, manakala ada
di antara Tuan-tuan itu yang merasa seperti "buntu pikiran" pada waktu membaca tulisan-tulisan saya itu, - tegorlah
saya, lajangkan-lah kartupos kepada saya dengan permintaan mempopuler-kan lagi tulisan-tulisan
saya itu. Kartupos-kartupos yang demikian itu akan saya anggap sebagai
petunjuk yang berharga, yang di atasnya saya mengucap diperbanyak terima kasih.
Sekarang, marilah kita mulai meninjau soal fasisme itu.
Tuan-tuan tentu masih ingat kalimat saya yang berbunyi:
"Kapitalisme yang menaik melahirkan liberalisme dan parlementaire
democratie, kapitalisme yang menurun
melahirkan faham monopoli dan fascistische dictatuur."
Apakah arti kapitalisme yang menaik, dan kapitalisme yang menurun? Kapitalisme memang mengalami zaman menaik dan mengalami
zaman menurun. Kapitalisme ada yang
subur-tumbuhnya sebagai jejaka yang muda-remaja dan gagah-perkasa dan ada yang sakit-sakitan seperti orang yang sudah umur tua. Kapitalisme yang menaik adalah penuh dengan kesuburan, penuh
dengan kesehatan, penuh "vitaliteit", tetapi kapitalisme yang menurun adalah penuh penyakit-penyakit dan
tanda-tanda-keripuhan. Ia tidak lagi sehat, tidak lagi subur, banyak cacat-cacat ketuaan, kurang "vitaliteit".
Ia adalah kapitalisme yang kita alamkan
di zaman sekarang ini.
Agar saudara pembaca lekas mengerti apa yang saya maksudkan, bandingkanlah kapitalisme zaman sekarang itu dengan
kapitalisme sebelum peperangan-dunia 1914-1918. Tidakkah mudah terlihat
perbedaan "kesehatan" padanya? Pada umumnya bolehlah
dikatakan, bahwa kapitalisme sebelum peperangan-dunia itu adalah memperlihatkan
garis menaik, garis subur, garis "mekar", sedang kapitalisme
sesudah peperangan-dunia itu adalah kelihatan "ripuh" atau
"sakit-sakitan" sahaja.
Apakah penyakit kapitalisme
itu? Penyakit itu ialah krisis. Kita bisa menamakan
krisis itu dengan perkataan malaise. Di dalam masa sebelas tahun sahaja sesudah peperangan-dunia itu, kita
mengalami dua krisis yang maha-haibat:
pertama di dalam tahun
1921, dan kedua tahun 1929 sampai beberapa tahun lamanya. Penyakit krisis ini
selalu menyerang tubuh kapitalisme itu. Maka mampu atau tidaknya kapitalisme itu "menyembuhkan diri kembali" dari pukulan-pukulannya krisis itu, - itulah yang terutama sekali menjadi ukuran ia cukup "vitaliteit" atau tidak cukup "vitaliteit", ia "menaik" atau ia
"menurun". Kapitalisme yang sehat, yang menaik, kalau kena pukulan krisis, dapatlah ia
mengalahkan krisis itu buat sementara waktu. Tetapi kapitalisme yang telah menurun, menderita krisis
itu seperti orang tua yang terserang
penyakit haibat. Ia deritakan krisis
itu dengan deritaan yang pedih sekali
dan lama sekali, ia susah mendapat kembali kesehatannya yang sediakala. Ia
seperti tidak ada daya-daya-penyembuh lagi, yang dapat mematikan kuman-kuman penjakitnya itu dengan segera dan effectief.
Krisis memang satu penyakit yang selalu
"mengintai" kapitalisme disepanjang perjalanannya. Sebagai satu bayangan, ia selalu ikuti kapitalisme itu.
Ia memang satu penyakit yang tidak dapat dielakkan di dalam stelsel kapitalisme itu, oleh karena akar-akarnya memang ter- kandung di dalam stelsel
kapitalisme itu. Tetapi satu kapitalisme yang masih muda dan menaik, senantiasa dapatlah
"hidup-kembali" dari pukulan-pukulannya krisis itu. Benar krisis itu satu penyakit, benar ia selalu merusak, tetapi di dalam kapitalisme yang menaik, krisis itu tidak terlalu amat lama
menyerangnya, dan jarak-waktu
antara satu krisis dengan lain krisispun tidak terlalu amat rapat. Di dalam kapitalisme yang menaik, krisis segeralah dapat disembuhkan, diikuti lagi
dengan satu masa "sehat" yang segala-galanya kapitalisme itu subur kembali dan segar kembali: dagang,
industri, bankwezen, perhubungan internasional, semua itu subur kembali dengan
penuh vitaliteit, membawakan laba yang ribuan dan milyunan. Di dalam
kapitalisme yang menaik, segeralah krisis dapat diikuti lagi
dengan masa yang paberik-paberik berdentam mesin-mesinnya, pelabuhan-pelabuhan padat dengan kapal-kapal yang keluar-masuk, perdagangan giat
sibuk gegap-gempitanya.
Sudahkah pernah pembaca mendengar kata conjunctuur? Masa kesuburan inilah yang dinamakan conjunctuur ! Sesudah krisis, datanglah conjunctuur.
Di dalam kapitalisme yang sedang menaik, maka krisis tidak terlalu haibat dan tidak terlalu
sering, tetapi lekaslah diikuti lagi oleh masa conjunctuur!
Tetapi tidak begitu di dalam kapitalisme yang telah menurun. Segala kelemahannya tubuh yang telah tua
menjelma kepada kapitalisme yang telah menurun
itu. Padanya pukulan krisis senantiasalah haibat dan pedih. Padanya krisis adalah satu azab yang maha-berat, dan padanya krisis itu lekas sekali diikuti oleh krisis yang baru. Krisis yang satu belum sembuh sama sekali, sudah
datanglah menimpa krisis yang baharu.
Habis krisis tidak timbul satu masa conjunctuur yang subur dan panjang waktu. Masyarakat seakan-akan tidak mempunyai tenaga lagi buat sembuh sama sekali dari
pukulannya krisis itu. "Kesembuhan" yang ia capai sesudah
krisis, bukanlah kesembuhan yang sempurna,
tetapi kesembuhan yang masih
sakit-sakitan sahaja. Meskipun sudah datang lagi "conjunctuur", maka masih
adalah crisisresten (sisa-sisa-krisis) yang menempel kepadanya. Segala daya-upayanya buat membangunkan
kembali conjunctuur yang 100% conjunctuur,
tetaplah sia-sia. Bahkan belum pula daya-upaya ini berhasil, sudah datanglah
lagi menimpa satu krisis yang baru, yang haibat, lebih lama, lebih
mendalam, lebih melemahkan lagi sekujur tubuhnya. Misalnya krisis dari
tahun 1921 belum sembuh sama sekali,
conjunctuur yang mengikutinya belum
conjunctuur sama sekali, sudahlah datang krisis tahun 1929 yang maha-dahsyat dan maha-seru.
Satu, dua, tiga, empat, lima tahun krisis ini
menggelapkan sama sekali udaranya kapitalisme, - bukan sahaja di Amerika dan Eropah, tetapi sampai ke
tiap-tiap lobang di muka bumi.
Adakah kini agak terang bagi pembaca perbedaan antara kapitalisme sebelum perang dunia itu,
dengan kapitalisme yang kemudian?
Kalau kita ambil perang dunia itu sebagai batas, maka tampaklah
garis perbedaan itu. Sebelum perang dunia itu, kapitalisme adalah
menaik, gagah perkasa, penuh vitaliteit; sesudah perang dunia itu,
kapitalisme adalah menurun, sakit-sakitan, ripuh, kurang vitaliteit. Garis
kapitalisme-modern sejak pertengahan abad kesembilanbelas sampai perang
dunia itu, adalah garisnya kenaikan,
garisnya "Aufstieg"; tetapi kemudian daripada itu garis itu adalah
garis yang menurun, garisnya "Niedergang".
Tetapi adalah satu hal yang Tuan-tuan harus ingatkan: Janganlah Tuan-tuan mengira, bahwa s e b e l u m perang dunia itu kapitalisme belum mulai menurun!
Apakah pada hakekatnya peperangan 1914-1918 itu? Ia justru adalah
satu a k i b a t dari garis yang sudah mulai m e n u r u n itu! Ia bukan terjadi karena misalnya Groothertog
Frans Ferdinand ditembak orang di Serajewo, ia adalah "krisis" di dalam satu garis yang telah "mengerisis" lebih dulu. Ia bahkan terjadi
di dalam garis ekonomi internasional yang telah mulai menurun dan kocar-kacir. Ia satu "letusan"
dari tabrakannya tenaga-tenaga yang bersaing-saingan di dalam ekonomi internasional yang sudah kocar-kacir.
Sebab, apakah salah satu obat buat mengobati ekonomi
kapitalisme yang
kocar-kacir? Obat ini ialah pasar-pasar baru,
tempat-tempat penjualan-barang baru,
afzetgebieden baru. Maka tabrakan-tabrakannya tenaga-tenaga yang bersaing-saingan merebut dan
menguasai pasar-pasar baru inilah yang akhirnya meletus-keluar menjadi tabrakannya tentara dengan tentara, meriam dengan meriam, armada
dengan armada. Siapa dapat mencarikan pasar-pasar baru buat mengobati ekonomi kapitalisme yang kocar-kacir, dan apakah daya-upaya kalau
pasar-pasar itu tidak dapat diperoleh dengan jalan-jalan yang biasa? Kalau jalan-jalan biasa dihalang-halangi oleh orang lain, maka
jalan-jalan yang "luar biasa" harus ditempuh. Maka staatspolitiek
yang tahadinya berbicara dengan mulut biasa itu, kini menjadilah berbicara dengan mulut senapan dan mulut meriam.
Peperangan, menurut Clausewitz, tidaklah lain dari penerusannya staatspolitiek "dengan jalan-jalan lain", -
oorlog is niets anders dan de voortzetting van de staatspolitiek
"met anciere middelen"!
Dan sesudah peperangan 1914-1918 itu berakhir, - adakah
kapitalisme sembuh kembali, adakah "spanningen" yang menyebabkan
peperangan itu tidak berakhir pula? Kita
mengetahui, spanningen itu tidak berakhir, malahan makin
bertambah pula. Dan kapitalisme tidak sembuh kembali benar-benar,
tetapi malahan makin sakit, makin menurun. Sebentar ia seperti sembuh, seperti tidak mengandung penyakit-penyakit di bawah kulit, seperti mengalami conjunctuur yang benar-benar conjunctuur, tetapi, belum makmur pula
kembali padang-padang-peperangan di Vlaanderen dan Perancis-Utara dan
Rusia-Barat yang gundul itu sudah datang lagi, krisis-krisis
dari tahun 1921 dan 1929 yang maha-haibat
dan maha-seru!
Benarkah kata orang, bahwa bertambahnya kesakitan kapitalisme ini ialah oleh karena
peperangan 1914-1918 itu? Pada hakekatnya tidak! Sebab umpama benar begitu, kenapa kapitalisme tidak
makin sembuh manakala ia makin jauh dari tahun-tahun 1914-1918 itu? Kenapa kapitalisme tetap
sakit, bahkan mak in sakit, pada masa-masa yang ia makin jauh dari tahun 1918 itu? Bukan dua tiga tahun, tetapi
sebelas, duabelas, tigabelas tahun sesudah 1918 itu ia malahan mengalamkan krisis-mahakrisis yang kehaibatannya seumur-hidup ia belum mengalamkan! Sebelas tahun sesudah
peperangan itu, ia buat beberapa tahun lamanya menderita pukulannya krisis, yang kerasnya, lamanya, luasnya, pedihnya, merusaknya belum pernah ada
bandingannya di seluruh sejarah
peri-kemanusiaan. Belum pernah merosot produksi seperti di dalam krisis 1920-1923 itu. Belum pernah
perdagangan internasional hampir mati samasekali, seperti di dalam krisis ini. Belum pernah jumlahnya kaum werkloos begitu naik menyundul langit, seperti di dalam krisis ini. Belum pernah begitu banyak perusahaan-perusahaan gulung-tikar, seperti di dalam krisis ini. Dan itu semuanya apa sebab? Sebabnya ialah, bahwa krisis 1929 itu bukan lagi satu
"gangguan", satu "interruptie", satu "tijdelijke
inzinking" daripada satu kapitalisme yang sedang menaik, (seperti krisis-krisis di dalam abad kesembilanbelas dan di permulaannya abad
keduapuluh), -tetapi ialah penutupannya satu
"conjunctuur" yang di dalamnya telah mengandung zat-zatnya penurunan dan sifat-sifatnya penurunan.
Saudara-saudara pembaca barangkali telah pernah mendengar perkataan
rasionalisasi. Ia adalah buah pemutaran otaknya kaum insinyur dan kaum
perusahaan buat mengadakan sesuatu hasil dengan sedikit mungkin
tenaga-manusia dan kapital. Ia adalah satu barang baik, di dalam satu masyarakat yang baik. Tetapi rasionalisasi yang kita bicarakan sekarang
ini tidaklah timbul di dalam masyarakat yang baik. Ia timbul di dalam masyarakat yang cilaka, dan
menimbulkan kecilakaan pula. Sebab, apakah yang kita lihat di zaman menurunnya kapitalisme
itu? Otaknya insinyur-insinyur dan bedrijfsleider-bedrijfsleider berputar keras buat
memerangi penurunan itu, dan hasilnya pemutaran otak
itu ialah rasionalisasi; di mana-mana orang ikhtiarkan rasionalisasi ikhtiarkan, supaya hasil pekerjaan
manusia bertambah. Susunan bedrijf, mesin-mesin, pembahagian kerja, pembahagian waktu,
pemasakan bahan-bahan, -semuanya dirasionalisasikan oleh insinyur-insinyur dan
bedrijfsleider-bedrijfsleider itu, supaya productiviteit-nya pekerjaan manusia makin
bertambah, makin meninggi, makin menaik. Apa sebab? Tak lain tak
bukan, oleh karena p e r s a i n g a n di dalam udara-keturunan yang amat sempit itu, makin sengit, makin haibat.
Persaingan yang makin sengit dan makin haibat inilah yang memaksa kepada insinyur-insinyur dan bedrijfsleider-bedrijfsleider itu, supaya mencari ikhtiar dan daya-upaya yang pekerjaan yang misalnya dulu dikerjakan oleh lima
orang, kini dapat dikerjakan oleh satu-dua orang
sahaja.
Tetapi
tiap-tiap orang tentu mengetahui atau mengerti, bahwa rasionalisasi ini hanyalah dapat menjadi berkah bagi kapitalisme, kalau dibarengi dengan bertambahnya pasar, yang membeli barang-barang
hasilnya rasionalisasi itu! Apakah akibat penambahan productiviteit pekerjaan manusia, kalau tidak dibarengi
dengan penambahan productiviteit
itu? Yang musti menelan hasilnya penambahan? Akibat yang paling pertama ialah bertambahnya p e n g a n g g u r a n, bertambahnya
werkloosheid. Ribuan, ketian, milyunan kaum
buruh menjadi werkloos
karena rasionalisasi itu, terlempar ke dalam sarnpahnya kemiskinan, oleh karena pasar-pasar yang a d a, sudah cukuplah "diladeni" oleh
satu jumlah
kaum buruh yang kurang daripada dahulu.
Dan
meskipun kapitalisme ingin, menambah produksinya, ingin melipat-lipat-gandakan produksinya, - ia tak
dapat mengalahkan conjunctuur besar-besaran
kembali, tak dapat memaksakan adanya
conjunctuur besar-besaran itu. Justru di negeri-negeri
yang paling haibat produksinya itu, di situlah paling haibat pula jumlah kaum buruh yang tidak mendapat pekerjaan! Di Amerika, di Inggeris,
di Jerman jumlah itu adalah bermilyun-milyun! Dan
perhatikan: jumlah-jumlah milyun-milyunan ini bukan jumlah kaum penganggur
di waktu k r i s i s, tetapi jumlah kaum penganggur
di waktu "Conjunctuur"! Bukan jumlah di waktu "meleset",
tetapi jumlah di waktu
"laris"! Dan malahan jumlah kaum penganggur
di waktu conjunctuur sesudah perang dunia itu, adalah berlipat-ganda l e b i h b e s a r daripada jumlah
katun penganggur di waktu k r i s i s sebelum
peperangan itu.
Itulah
salah satu tanda niedergang!
Tanda kapitalisme telah menurun. Tanda satu
kesakitan terus-menerus, yang susah
diobati dan disembuhkan. Tanda
kapitalisme telah "jompo", telah "lapuk", telah
"ripuh". Tanda bahwa alam kapitalisme yang menyuburi
kapitalisme itu, kini telah mendialektik
menjadi satu alam yang menutup
nafas kapitalisme itu. Dan supaya pembaca-pembaca lebih terang lagi melihat perbedaan-perbedaannya kenaikan
dan penurunan itu, - marilah kita
membuat satu ikhtisar dari tanda-tanda kenaikan dan penurunan itu.
Perhatikan dan bandingkanlah!
Sebelum
perang dunia, maka jumlah produksi selalu naik dengan pesat sekali. Tetapi
sesudah perang dunia, maka jumlah produksi itu, meski di waktu
conjunctuur-pun, tidak begitu naik.
Sebelum
perang dunia, maka productiviteit-nya pekerjaan
manusia naik dengan
cara sedang-sedang sahaja. Tetapi sesudah perang
dunia itu, maka, dengan jalan rasionalisasi,
productiviteit-nya pekerjaan manusia
itu dipaksakan menjadi naik dengan cara
yang
amat cepat
sekali.
Sebelum
perang dunia, terutama sekali di bahagian
kedua dari abad kesembilanbelas,
maka pasar-pasar-dunia sangat luaslah bertambahnya, yakni dengan
bertambahnya koloni-koloni di sana-sini. Tetapi sesudah perang dunia itu, maka hampir tidak adalah lagi tambahnya koloni-koloni, bahkan boleh dikatakan dunia telah habis sama sekali
terbagi-bagi.
Sebelum
perang dunia, maka perhubungan-perhubungan ekonomi internasional sangatlah giat dan pesatnya. Tetapi sesudah perang dunia itu perhubungan-perhubungan makin kurang, bahkan
tiap-tiap negeri mengurung diri sendiri dengan tembok-tembok bea yang maha-tinggi.
Sebelum
perang dunia, maka harga barang-barang yang diperdagangkan, ratusan, ribuan, milyunan rupiah. Tetapi sesudah perang dunia meski di waktu conjunctuur-pun,
harga ini l e b i h
r e n d a h
dari harga di permulaan abad yang sekarang.
Sebelum
perang dunia, maka jumlah kaum buruh yang dikerjakan
adalah senantiasa naik. Tetapi
sesudah perang dunia, maka jumlah ini boleh dikatakan tidak naik samasekali,
bahkan ada yang t u r u n meskipun di waktu
conjunctuur.
Sebelum
perang dunia, maka jumlah kaum penganggur di waktu conjunctuur
adalah amat kecil sekali, dan di waktu krisis tidak adalah satu negeri yang jumlah
kaum penganggurnya meliwati satu
milyun. Tetapi sesudah perang dunia, meskipun di waktu conjunctuur, jumlah kaum penganggur itu jauh meliwati satu milyun dan malahan jauh melebihi jumlah kaum penganggur disesuatu krisis sebelum
peperangan!
Sebelum perang
dunia, maka krisis-krisis yang
mengganggu kapitalisme itu
tidaklah merusak garis kenaikan kapitalisme itu; sebelum perang dunia itu, maka boleh dikatakan conjunctuur
adalah keadaan yang normal,
sedang krisis hanyalah
gangguan-gangguan-sementara sahaja. Tetapi sesudah perang
dunia itu, maka boleh dikatakan tidak ada
lagi conjunctuur yang
sebenar-benarnya conjunctuur. Sesudah perang dunia itu, krisislah yang "normal". Conjunctuur menjadilah satu hal yang
"luar biasa", krisis menjadilah satu hal yang "biasa". Conjunctuur menjadi satu perkecualian; krisis menjadi satu barang sehari-hari, satu barang tetap, satu barang permanen.
Pendek
kata: sebelum perang dunia, maka garis kapitalisme nyatalah garis
kenaikan, garisnya opgang;
tetapi sesudah perang dunia, garis itu menjadi garis menurun, garisnya niedergang. Dan itupun dengan diperingatkan, bahwa garis menurun itu sudah mulai s e b e 1 u m perang dunia itu, dan malahan, bahwa perang dunia itu adalah
akibat dari penurunan yang sudah
mulai itu.
Demikianlah gambarnya garis penurunan itu. Mengertikah Tuan sekarang, apa sebab
krisis 1929, yang jatuhnya tepat pada masa
penurunan itu, haibatnya meliwat-liwati
batas? Laksana hantaman penyakit-penyakit baru kepada
seorang yang memang sedang di dalam sakit, maka hantaman krisis 1929 itu melemahkan sama sekalilah
pada tubuhnya kapitalisme yang sejak
permulaannya abad keduapuluh memang sudah di dalam sakit itu. Wereldindustrie, wereldhandel,
wereldbankwezen, wereldscheepvaart, semuanya menjadi kocar-kacirlah sama sekali buat bertahun-tahun
lamanya. Semuanya itu mendapat
kebencanaan yang begitu rupa,
sehingga surat khabar "Times"
(surat khabarnya kaum modal) di dalam tahun 1937, yakni lama sesudah krisis itu telah berakhir, masih girap-girapen sahaja, dan memberi peringatan yang berbunyi: "Peradaban
modern tak akan dapat memikul satu krisis baru, atau satu peperangan baru.
Baik yang satu ataupun yang lain, akan mematahkan dia sama sekali."
Apa sebab surat-surat-khabarnya kaum modal ini
berkata begitu?
Oleh karena ia mengerti, bahwa kapitalisme zaman sekarang ini
sudah sedang menurun! Kalau datang satu krisis lagi, kalau datang satu hantaman
lagi, maka hantaman itu tidak lagi kenal ampun! Kalau datang satu hantaman lagi, niscaya meledaklah bangun
pula semua tenaga-tenaga yang akan membinasakan kapitalisme
itu sama sekali!
Sebab, bukan sahaja kapitalisme itu kini sakit, iapun
duduk di atas gunung-api! Permanente werkloosheid yang telah ia bangunkan itu, menambahlah haibatnya ketegangan sosial di dalam masyarakat, mengenai
udara
masyarakat itu dengan listriknya halilintar dan geledek revolusi sosial.
Pengangguran permanen itu mengisi udara dengan hawa-panasnya hati yang dendam, dan
merendahkan upah-upahnya kaum buruh yang dikerjakan. Dan apa akibat turunnya upah ini? Kemampuan membeli di pasar-dalam-negeri merosotlah ke bawah: kemampuan membeli itu menjadi minimal,
sedang pasar-di luar-negeri
sukar sekali dicari bertambahnya. Dan apa akibat dari merosotnya kemampuan membeli serta sukarnya mencari pasar-pasar
baru itu? Akibatnya ialah, bahwa
produksi terpaksa dikurangi, dan pengangguran bertambah-tambah
lagi! Yang satu berakibat yang lain, yang lain berakibat yang satu. Kapitalisme berputar di dalam satu putaran cilaka, berputar di dalam satu vicieuze cirkel, yang tidak dapat lagi melepaskan did daripadanya.
Sungguh takjub kita, kalau melihat garis
perjalanan-hidupnya kapitalisme itu! Di dalam iapunya opgang, di dalam iapunya kenaikan, maka
ia membangunkan ekonomi dunia. Ia langkahi garis-garis-batasnya kenegerian dan kedaerahan, iapunya tangan-tangan melancar kemana-mana melangkahi negeri
dan benua dan samodra. Tetapi di dalam iapunya keturunan, di dalam iapunya niedergang, ia berangsur-binasakan lagi ekonomi dunia itu. Berangsur-angsur
ia melemahkan perniagaan dunia, produksi dunia, penerbangan dunia,
pelayaran dunia. Dialektiknya keadaan telah menerkam kepadanya. Dengan cara-cara yang biasa, ia
sukar ditegakkan terus. Ketegangan-ketegangan sosial memberontak kepadanya, tenaga-tenaga produksi
memberontak kepadanya. Memberontak
kepada batas-batas yang menjadi terlalu
sempit dan terlalu mengikat kepadanya.
Apa daya sekarang?
Badannya sendiri telah amoh, tenaga-tenaga produksinya sendiri telah memberontak kepadanya, kaum ' buruh seperti satu lautan yang mendidih. Apa daya sekarang? Tidak ada lain daya, melainkan dayanya k e k e r a s a n ! Di dalam iapunya opgang,
tatkala ia masih bersenang-senang menaik dengan conjunctuur merdeka,
tatkala semua barang sesuatu adalah lapang dan luas, di dalam iapunya opgang itu ia di dalam lapangan ekonomi adalah liberal,
dan di dalam
lapangan politikpun liberal pula.
Di dalam iapunya opgang itu, iapunya "sistim" ialah economisch en politiek liberalisme:
konkurensi m e r d e k a, demokrasi parlementer,
dan negara tidak boleh campur-campur tangan, melainkan menjaga keamanan
sahaja serta mengerjakan putusan-putusannya sahaja.
Tetapi di dalam iapunya neergang, keadaan adalah genting! Konkurensi merdeka memang
tak perlu lagi, karena sudah lama kapitalisme bersifat "monopoli". Konkurensi
merdeka tak perlu lagi, karena sudah lama produksi
dan perdagangan sudah habis "dikonkurensikan": hanya badan-badan-raksasa
sahajalah yang tinggal hidup merdeka, -
yang lain-lain yang kecil-kecil, sudahlah
menjadi "penyambung-tangan",
alat-alat, perkakas-perkakas, dari badan-badan-raksasa itu semata-mata. Karena
itu maka, politik liberalismepun tidak perlu dipakai lagi: Parlementaire democratie
menjadi satu barang yang
"kolot", dan negara, - negara yang tahadinya tidak boleh campur tangan dalam economische activiteithya kapitalisme itu, - negara
itu kini harus ikut campur tangan!
Negara itu kini harus menjadi satu pusat-kekuasaan yang mendiktekan tindakan-tindakan yang perlu buat menolak kerubuhannya kapitalisme itu, - dijadikan "polisi" penjaga keadaan yang amat genting itu. Negara itu, yang dulu dialaskan kepada permufakatan dan permusyawaratan, kini dialaskanlah kepada geweld,
kekerasan, perkosaan, teror. Negara itu kini dijelmakan
di dalam dirinya seorang
diktator, yang mendiktekan segala tindakan
penjagaan, penjagaan penguasaan tenaga-tenaga produksi yang memberontak itu, penjagaan penguasaan kaum buruh yang mau melawan itu, penjagaan menyusun tenaga pemecahkan belenggu kesempitannya pasar-dunia, penjagaan penegakan tembok-tembok-bea yang maha-tinggi, - pendek kata penjagaan penyelamatan kapitalisme monopool itu dari
kebinasaan yang sama sekali.
Inilah inti-intinya fasisme. Inilah inti-intinya perkataan Carl Steuermann
yang
saya
sitir tempo hari, bahwa fasisme adalah satu "laatste reddingspoging",
satu "pembelaan yang
penghabisan" daripada kapitalisme di dalam iapunya niedergang. Apakah dus fasisme itu? Jadi fasisme sebenarnya adalah satu kontra-revolusi yang diadakan oleh kaum monopool-kapitalisme
dizamannya
penurunan. Haibatnya
ketegangan-ketegangan
yang
saya
gambarkan di muka
tahadi, -
ketegangan-ketegangan yang
sejak peperangan 1914-1918 tidak
berkurang bahkan ber t a m b a h ! -, haibatnya spanningen itu bukan sahaja
membangkitkan atau memungkinkan revolusi dari bawah,
tetapi jugalah membangkitkan kontra-revolusi dari atas! Kontra-revolusi
itu ialah fasisme. Kontra-revolusi itulah pentung dan cambuk Hitler, Mussolini, Franco. Kontra-revolusi
itulah yang
kini menang di Jerman,
di Italia, di Sepanyol,
di beberapa
negeri kecil
yang
lain-lain.
Ya, itulah
masih perlu saya terangkan pula! Kenapa tidak juga di Inggeris, tidak juga di Amerika? Tokh di sana ada juga nedergang? Tokh disana ada juga kegentingan posisi kapitalisme?
Benar begitu! Tetapi di sana keadaan kapitalisme belum begitu g e n t i n g
seperti misalnya di Jerman, di mana kegentingan itu benar-benar menjadi satu hal mati atau hidup, satu hal "op leven en
dood". Kita semua mengenal
naiknya kapitalisme Jerman itu di zaman sebelum peperangan 1914-1918. Di Eropah tidak adalah satu negeri, di mana kenaikan kapitalisme itu begitu pesat seperti di Jerman. Cobalah
perhatikan: dipertengahan abad
kesembilanbelas, industri Jerman boleh
dikatakan "belum apa-apa". Pada waktu itu Inggerislah yang duduk di puncak
industrialisme. Pada waktu
itu Inggeris-lah yang bernama
"the workshop of the world", - bengkel bagi
seluruh dunia, yang membuat
semua barang-barang perkakas dan
mesin-mesin bagi seluruh dunia. Tetapi Jerman belum apa-apa. Kemudian bangunlah industrialisme Jerman itu. Ia meluas, mekar, menghaibat, membubung keudara. Di dalam tempo setengah abad sahaja, ia mekar tujuh
kali lipat ganda! Di dalam tempo
setengah abad itu
juga Inggeris cuma mekar t i g a kali lipat ganda. Pada permulaan abad keduapuluh Jerman sudah memukul Inggeris ditentang produksi industrialisme itu. "Made in England"
terpukullah oleh "made in Germany", atau
setidak-tidaknya terancamlah kedudukannya oleh "made in Germany".
Dua raksasa
industrialisme mulai bersaingan haibat satu sama lain, mulai berjoang satu sama lain di belakang kelirnya sejarah dan di muka kelirnya sejarah. Jerman punya industri mekar, mekar, mekar, - tetapi … pasar-dunia
sukar mekar baginya, sebagai
telah, saya terangkan
di muka tahadi. Industri produksinya mekar, tetapi afzetnya industriele productie itu tidak
mekar secepat itu. Inggeris cukup banyak iapunya pasar. Inggeris
mempunyai
tanah-tanah-jajahan. Inggeris punya
tanah-tanah-dominion
yang
menelan industriele productie itu; produksi industri itu
dapat ia ekspor ketanah-tanah-jajahan dan dominions itu. Tetapi Jerman! Iapunya tanah-tanah-jajahan yang paling berarti, yaitu di Afrika
Timur, di Kamerun, hanya
dapat menelan …
0,5% sahaja dari iapunya
uitvoer! Iapunya
tanah-tanah-jajahan semuanya,
di Selatan dan di Timur, di Afrika dan di Asia, hanyalah dapat ditanami … 1% sahaja dari
semua kapital yang
ia ekspor. Dan Inggeris? Inggeris dapat menanamkan f. 21.000.000.000 di dalam iapunya tanah-tanah-jajahan, yakni hampir 50% dari
semua iapunya kapitaal-export itu. Jadi: walaupun industri
produksi Jerman
mekar, maka pasar-dunia adalah sukar sekali didapatnya. Ia coba desak barang-barang keluaran
Inggeris dengan kelebihan kwaliteit. "Made in
Germany" dengan senjata kwaliteit itu akhirnya dapat masuklah pula di pasar-pasar, yang tahadinya pasarnya "made in
England". Persaingan semakin menghaibat, menyeru, memanas. Percikan api keluarlah dari haibatnya persaingan ini. Akhirnya meledaklah ia
samasekali menjadi peperangan yang
membakar seluruh angkasa, mengguruh di padang-padang Eropah Barat dan Eropah
Timur, menaufan-prahara di lima
samodra-raya.
Monopool-kapitalisme Jerman
jang kekurangan udara buat bernafas itu, yang garisnya sudah mulai ia rasakan sebagai
garis nedergang, mengamuklah mati-matian mencari udara yang lebih lega!
Tetapi, - peperangan malahan makin menjatuhkan dia ke dalam bencana! Peperangan
berakhir dengan kekalahannya samasekali. Tanah-tanah jajahannya hilang; daerah-bahan-bahan di negeri sendiri sebagai jajahan jatuh ketangan orang lain, kreditnya kepada negeri luaran rusak
samasekali, hutangnya di negeri sendiri membubung ke udara sampai yumlah 150.000.000.000 mark, herstelbetalingen yang dibebankan kepadanya adalah
sejumlah yang amat tinggi. Akhirnya, - patahlah samasekali tulang-tulang-punggungnya iapunya keuangan. Patahlah harga valutanya uang
mark, merosot, hampir memusna, sampai 1/1.000.000.000.000 dari harga yang tahadinya! Inilah hantu
inflasi yang mengamuk di Jerman sesudah peperangan dunia itu. Hasil peperangan yang tahadinya ia kira
akan dapat mendobrak
pintu kecakrawartian dunia dan pintu kecakrawartian ekonomi !
Mendobrak pintu, yang dapat
meloloskan dia dari cengkeramannya hantu niedergang!
Tetapi, tidakkah ada manfaat juga inflasi itu bagi
monopool kapitalisme itu? Buat apa ia
mengadakan inflasi, buat apa ia turunkan harga mark, kalau tidak ada manfaatnya pula? Ai, memang ada manfaat
itu! Pertama, harga upah kaum buruh sangatlah
menurun; dan kedua, hutang di dalam negeri yang 150.000.000.000 mark itu
segeralah habis terbayar. (Kaum middenstand, yang meng-hutangkan uang itu sebagian
besar, niscaya rugi besar). Dengan turunnya harga upah kaum buruh dan
kebebasan hutang di dalam negeri itu, segeralah
monopoli kapitalisme Jerman dapat "bekerja kembali".
Segeralah ia
dapat menghidupkan kembali iapunya produksi,
mengerjakan kembali iapunya paberik-paberik, memutarkan kembali seluruh iapunya economisch
apparaat. Rasionalisasi yang saya ceriterakan dimuka itu, mulailah dikerjakan di mana-mana! Tahun 1923 sudah berjalan lagi semua apparaat itu, inflasi
diberhentikan, harga mark ditetapkan kembali,
"conjunctuur" sudah mulai mengetok pintu!
Tetapi
toch, - conjunctuur yang bagaimana! Conjunctuur yang bagi Jerman penuh kegentingan! Tidak ada conjunctuur di seluruh muka bumi ini, yang begitu penuh kegentingan dan ketegangan selalu
seperti di Jerman itu. Monopool-kapitalisme Jerman selalu terpaksa bekerja "op hoogspanning", selalu terpaksa bekerja
dengan maut di belakang tumitnya. Tertilik
dari pendirian wereld-economie, maka ekonomi Jerman adalah yang paling lemah, paling kwetsbaar, paling gampang
luka.
Perang
dunia bukan memberi tanah-jajahan kepadanya, bukan memberi
pasar-dunia kepadanya, tetapi
malahan merampas tanah-tanahjajahannya yang ada.
Bukan menambah iapunya
buitenlandsche credieten, tetapi
malahan mematikan iapunya
buitenlandsche credieten. Kalau ia tokh mau masuk ke dalam pasar-dunia maka jalan yang satu-satunya ialah
kwaliteit dan h a r g a murah,- lebih dari
dulu-dulu, lebih dari sebelum
perang dunia 1914-1918. Kwaliteit dan harga-murah itulah satu-satunya senjata yang ia dapat pakai di dalam perjoangan mencari laba. Karena
itu, - selalu bekerja "op hoogspanning", dan
sekali lagi "op
hoogspanning". Rasionalisasi, rasionalisasi dan sekali lagi rasionalisasi! Tetapi, - apa akibat rasionalisasi? Sebagai saya terangkan di muka tambahnya pengangguran, dan pengangguran ini melemahkan
pasar di dalam-negeri,
dan lemahnya pasar - di dalam-negeri
serta sempitnya pasardunia
memaksakan perkerasan rasionalisasi, dan bertambah kerasnya rasionalisasi
menambah lagi pengangguran . . . dan begitu seterusnya … putaran sial itu makin lama makin sial, makin lama
makin mencekik, makin lama
makin cilaka!
Demikianlah
"fatum" monopool-kapitalisme Jerman sesudah perang dunia itu. Ketegangan ekonomi dan ketegangan sosial
mengelektris ditiap-tiap
sudut-udaranya, getaran tiap-tiap sudut-udaranya itu penuh dengan sinipanan kilat dan halilintar dan petir dan guntur.
Kaum buruh, yang sesudah
habisnya inflasi tidak naik lagi upah-buruhnya, dan yang milyun-milyunan terpaksa hidup sengsara karena menganggur, - kaum buruh itu seperti satu gudang mesiu yang menunggu datangnya percikan api
sahaja yang membuat ia meledak menyundul langit.
K.P.D. (komunis) dan S.P.D. (sosial
demokrat) makin besar pengaruhnya, makin
bertambah sahaja anggautanya. Ditambah lagi jumlahnya kaum middenstand, yang karena inflasi kehilangan harta bendanya, dan kini menjadi satu golongan yang menggerutu dan dendam pula! Jika kaum-kaum monopool-kapitalisme tidak lekas mengambil satu tindakan, maka
kegentingan ini niscayalah menjadi
kebinasaannya sama sekali!
Nah, - tindakan itu adalah tindakan-kilatnya fasisme! Kontra-revolusinya monopool-kapitalisme. Terornya Hitler. Cambuknya Gestapo dan concentratiekampen. Pembasmiannya kemerdekaan dan parlementaire democratie. Pembasmiannya serikat-serikat sekerja dan partai kaum buruh. Pendewaannya kekuasaan-satu, - kekuasaan monopool. Totaliterismenya nasional-sosialisme. Absolutismenya negara. Absolutismenya dictatuur!
Terhadap
kepada paksaannya desakan
ekonomi dan desakan kemasyarakatan, ditaruhlah p a k s a a n n y a n e g a r a. Terhadap kepada pentungnya proses
kemasyarakatan ditaruhlah
p e n t u n g n
y a n e g a r a. Apakah negara itu lain daripada satu pentung?
Tiap-tiap orang yang pernah mempelajari Marxisme, mengetahuilah bahwa
pentung, itulah memang sifat-hakekatnya negara. Di Jerman negara betul-betul menjelma terang-terangan menjadi pentung, di Italia begitu juga pula, di Japan-pun boleh dikatakan begitu juga.
Perhatikan: Jerman, Italia, Japan, - ketiga-tiga negeri ini semuanya pada waktu habisnya peperangan 1914-1918 kekurangan koloni
atau kehilangan koloni. Ketiga-tiganya "lapar", ketiga-tiganya kekurangan pasar.
Ketiga-tiganya
kapitalismenya
kekurangan "udara", kekurangan "Lebensraum".
Inggeris banyak
koloni, Perancis
banyak
koloni, Amerika banyak koloni, tiga negeri ini termasuk
golongan negeri yang
sesudah perang dunia "mendapat".
Mereka termasuk golongan yang
"mempunyai",
golongan yang
(dengan perkataan Inggeris) "have". Tetapi Jerman, Italia,
Japan, tidak "mendapat", tidak "mempunyai", tidak "have". Jerman,
Italia dan Japan
termasuk golongan negeri-negeri yang
"have not ".
Mereka
punya kapitalisme yang paling dulu menjadi
genting, paling dulu kena "hoo.gspanning".
Mereka punya
kapitalisme yang
paling dulu kelabakan. Mereka punya kapitalisme Yang paling dulu mengamuk mengadakan
fascistische dictatuur!
Dan tidakkah
kini terang pula, apa sebab Amerika, apa sebab Inggeris belum "kena" fasisme? Benar Amerika dan
Inggeris juga mempunyai monopool-kapitalisme. Benar kapitalisme di situpun sudah mulai menurun. Tetapi
"hoogspanning" itu belum ada benar-benar di dua negeri itu.
Pasar dunia dan pasar di dalam-negeri masih ada. Inflasi belum
pernah mengamuk di situ benar-benar. Middenstand-nya tidak seperti middenstand
Jerman
yang
menggerutu, karena menjadi miskin dan "verproletariseerd"
karena inflasi itu. Rasionalisasi itu tidak begitu sangat seperti di
Jerman,
karena persaingan memang tidak dirasakan terlalu sengit. Merosotnya upah buruh dan pengangguran tidak
begitu haibat, -
tidak begitu haibat memain-mainkan apinya revolusi sosial. Pendek kata monopool-kapitalisme
tidak begitu musti "di bakar
tumitnya"
seperti di Jerman, tidak begitu musti berkelahi mati-matian seperti di Jerman. Kapitalismenya sama menurun, sama-sama "im
Niedergang", tetapi turunnya itu belumlah begitu mendesak, sehingga perlu
main tjambuk, main diktatur!
Tetapi di Jerman bencana yang mau menerkam monopool-kapitalisme itu benar-benarlah mendesak. Karena itulah maka
monopool-kapitalisme itu lantas
"beraksi kilat" mengadakan diktatur! Segala susunannya ekonomi, segala
susunannya negara, segala susunannya pergaulan-hidupmanusia ia bongkar, ia robah, ia dinamiskan menurut
azas kepentingannya monopool-kapitalisme
itu. Pengangguran ia hilangkan, tetapi ia hilangkan dengan menyuruh kaum buruh kerja 'di . . . bewapenings-industrie, membuat bedil dan meriam, tank dan kapal udara, mesiu dan granat, kapal-silam dan kapal-perang. Dengan persenjataan
yang maha-haibat ini ia nanti akan mendobrak-lebur pintu-pintu dan
tembok-tembok yang menghalang-halangi perjalanannya kekecakrawartian pasar-dunia. Dengan persenjataannya yang
maha-haibat ini, ia juga mengadakan pasar di dalam-negeri yang membeli barang-barang-produksinya monopool-kapitalisme itu.
Bukan?
Sebagian besar dari modal monopool-kapitalisme itu kini di dalam
industri-persenjataan itu, dan negara sendiri„ negara Jerman lah yang membeli
produksinya industri-persenjataan itu. Negara Jerman telah
mengobati sakit pusing-kepalanya
monopool-kapitalisme itu, dan menjadi
pentung yang haibat pula. Pentung keluar, pentung ke dalam. Keluar
dengan hantamannya
peperangan yang merebut "Lebensraum" dan mematahkan musuh, ke dalam dengan hantamannya teror yang membasmi
tiap-tiap perlawanan kaum buruh yang tidak mau tunduk.
Fasisme adalah benar-benar satu "laatste
reddingspoging" secara
kilat. Tetapi benarkah ia akhirnya membawa satu
p e n y
e l a m a t a n yang sejati? Pertentangan-pertentangan
maha-haibat di dalam
tubuh kapitalisme menurun yang saya garnbarkan itu,
pertentangan-pertentangan productie-krachten yang ekonomis dan maatschappelijk,
pertentangan-pertentangan
itu tidak dihilang-kan
oleh fasisme itu," tidak dihapuskan, tidak ditiadakan.
Pertentangan-pertentangan itu hanyalah ditindas semata-mata. Pertentangan-pertentangan itu tetap masih ada, tetap masih latent, dan niscaya akan meledak kalau syarat-syarat untuk peledakan itu telah
ada. Garisnya monopool kapitalisme t e t a p menurun, tetap mengarah kepada titik kebinasaannya monopool-kapitalisme itu, oleh proses-dialektiknya productie-krachten yang memberontak kepada zatnya monopool-kapitalisme itu sendiri.
Dan
manakala Heinrich Himmler, kepala Gestapo, sendiri telah berkata, bahwa di dalam peperangan yang sekarang ini Jerman juga akan mengenal "padang peperangan di dalam pagar", manakala apa yang dimaksudkan
dengan itu bahwa di dalam
peperangan sekarang ini Jerman akan mengalami pemberontakan rakyat di dalam pagar
sendiri, - maka itu adalah suatu bukti, bahwa juga kaum Nazi insyaf dan mengetahui bahwa pertentangan-pertentangan itu tidak hapus dan tidak
hilang, melainkan hanya tertindas dan tertutup sahaja.
Maka itu
adalah bukti, bahwa kaum Nazi
sendiri insyaf dan mengerti, bahwa mereka hidup di atas satu gunung-api, yang di dalamya menyala dan
mendidih laksana kawah candradimuka,
dan yang akan meledak membakar bumi dan angkasa manakala syarat-syarat-objektif telah ada. Insyaf dan mengerti bahwa mereka hidup di atas satu gunung-api, dan bukan di dalam satu taman-sari, - kendati omongan-muluk tentang "persatuan bangsa" dan "persatuan darah", tentang "volksgemeen-schap", dan "volkseenheid", tentang
"ein Volk, ein Reich, ein Fuhrer", dan lain-lain
sebagainya lagi! Ya, fatum monopool-kapitalisme Jerman yang telah
menurun itu, yang memutarkan dia
di dalam
putaran vicieuze cirkel yang
cilaka,
tidak dapatlah diangkat dengan fasisme dan
politisch-economische dictatuur, tetapi tetaplah menyeret
dia ke arah
lobangnya
keruntuhan, kebinasaan, kehancuran
sama sekali!
Dan kita?
Kita hendaknya mengambil pelajaran dari semua ini. Kita hendaknya lekas insyaf dan lekas terbuka mata kita, apakah inti-inti fasisme itu, dan betapa jahatnya fasisme itu. Kita janganlah seperti Togog-bedok yang melongo dan takjub melihat kemenangan-kemenangan militer dari fasisme itu, tetapi hendaklah belajar
membenci fasisme itu sebagai economisch-politisch-systeem.
Orang yang simpati kepada fasisme adalah orang yang picik atau
buta samasekali di lapangan
ekonomi dan kenegaraan,
orang yang "politiknya" politik jengkol dan pepetek, orang yang dungu, orang yang bodoh atau - ia memang
orang durhaka, orang zalim, orang
penindas yang senang mematikan kemerdekaan orang lain dan hak-hak orang lain. Ia orang burjuis yang senang duduk di atas punggungnya rakyat-jelata,
orang "super-burjuis" yang senang
kepada monopoli!
Kalau
karangan saya sekarang ini dapat membuka mata orang dan menanamkan benih benci kepada fasisme di dalam hati orang, maka sudah merasa puaslah saya di dalam hati.
Rakyat Indonesia hanyalah dapat benar-benar cinta kepada demokrasi, kalau jiwanya, perasaannya, keinsyafannya, k e y a k i n a n n y a demokratis. Keyakinan demokrasi itu barulah menjadi keyakinan yang teguh dan sadar, kalau cukup pendidikan dan cukup penerangan.
Penerangan demokratis itulah maksudnya tulisan
saya ini.
"Pembangunan",1940
No comments:
Post a Comment