Friday, December 16, 2011

Redenominasi adalah Make-up Pemerintah !


Tiba-tiba masyarakat mendapatkan dirinya terlempar kembali dalam suatu keadaan kebiadaban sementara; nampaknya seakan-akan suatu kelaparan, suatu perang pembinasaan umum telah memusnahkan persediaan segala bahan-bahan keperluan hidup; industri dan perdagangan seakan-akan dihancurkan; dan mengapa? Karena terlampau banyak peradaban, terlampau banyak bahan-bahan keperluan hidup, terlampau banyak industri, terlampau banyak perdagangan. (K.Marx, 1848).


Redenominasi mata uang adalah kebijakan merubah nominal mata uang lama dengan cara mengurangi beberapa buah angka signifikannya. Redenominasi dilakukan karena beberapa hal

1. Apabila berangsur lambat, maka itu adalah akibat hiperinflasi
2. Apabila berangsur cepat, maka itu berperan sebagai pajak “bawah tanah” yang merupakan Kebijakan otoriter. 

Poin nomor satu hanya terjadi setelah hiperinflasi. Poin kedua biasanya ketika terjadi perang atau konflik sipil. Namun Indonesia tidak dalam keadaan perang. Berarti redenominasi yang akan dilakukan merupakan akibat hiperinflasi. 

Tapi bukankah sedang tidak ada hiperinflasi sekarang ini? Sekarang memang tidak ada. Tapi tak lama lagi. 
Beberapa tahun belakangan, Amerika mengalami krisis akibat over produksi, yakni menumpuknya produk industri atau bisnis perumahan di Amerika, namun daya beli masyarakatnya lemah. Lantas investor-investor cari selamat, melarikan uangnya ke Eropa. Itu membuat industri-industrinya mengalami krisis moneter dan Amerika tambah tempuruk.

Celakanya, di Eropa hutang-hutang itu tidak menambah barang dan jasa, karena penyebab yang sama, ada banyak produk industri tapi pasar internasional dan domestik lemah. Hutang-hutang itu malah menimbulkan penyalahgunaan-penyalahgunaan oleh Negara dan sekutunya, Bank-Bank besar.

Krisis Kapitalisme selalu dimulai dari satu hal tersebut: Ada banyak produk yang dijual, tapi hanya sedikit yang mampu membeli. Ini yang kita namakan over produksi. 



Karl Marx sudah mengingatkan hal ini hampir dua ratus tahun yang lalu dalam Manifesto-nya yang terkenal, 


Sebagai gantinya datanglah persaingan bebas, disertai oleh susunan sosial dan politik yang diselaraskan dengannya, dan oleh kekuasaan ekonomi dan politik dari kelas borjuis.
Suatu gerakan yang serupa sedang berlangsung di hadapan mata kepala kita sendiri. Masyarakat borjuis modern dengan hubungan-hubungan produksinya, hubungan-hubungan pertukaran, dan hubungan-hubungan miliknya, suatu masyarakat yang telah menjelmakan alat-alat produksi serta alat-alat pertukaran yang begitu raksasa, adalah seperti tukang sihir yang tidak dapat mengontrol lagi tenaga-tenaga dari alam gaib yang telah dipanggil olehnya dengan mantra-mantranya.
Sudah sejak berpuluh-puluh tahun sejarah industri dan perdagangan hanyalah sejarah pemberontakan tenaga-tenaga produktif modern melawan syarat-syarat produksi modern, melawan hubungan-hubungan milik yang merupakan syarat-syarat untuk hidup bagi borjuasi dan kekuasaannya.
Cukuplah untuk menyebut krisis-krisis perdagangan yang dengan terulangnya secara periodik, setiap kali lebih berbahaya, mengancam kelangsungan hidup seluruh masyarakat borjuis. Di dalam krisis-krisis ini tidak saja sebagian besar dari baranghasil-baranghasil yang ada, tetapi juga dari tenaga-tenaga produktif yang telah diciptakan terdahulu, dihancurkan secara periodik. Di dalam krisis-krisis ini berjangkitlah wabah yang di dalam zaman-zaman terdahulu akan merupakan suatu kejanggalan - wabah produksi kelebihan.
Tiba-tiba masyarakat mendapatkan dirinya terlempar kembali dalam suatu keadaan kebiadaban sementara; nampaknya seakan-akan suatu kelaparan, suatu perang pembinasaan umum telah memusnahkan persediaan segala bahan-bahan keperluan hidup; industri dan perdagangan seakan-akan dihancurkan; dan mengapa? Karena terlampau banyak peradaban, terlampau banyak bahan-bahan keperluan hidup, terlampau banyak industri, terlampau banyak perdagangan. Tenaga-tenaga produktif yang tersedia bagi masyarakat tidak lagi dapat melanjutkan perkembangan syarat-syarat milik borjuis; sebaliknya, mereka telah menjadi terlampau kuat bagi syarat-syarat ini, yang membelenggu mereka, dan segera setelah mereka mengatasi rintangan belenggu-belenggu ini, mereka mendatangkan kekacauan ke dalam seluruh masyarakat borjuis, membahayakan adanya milik borjuis.
Syarat-syarat masyarakat borjuis adalah terlampau sempit untuk memuat kekayaan yang diciptakan olehnya. Dan bagaimanakah borjuasi mengatasi krisis-krisis ini? Pada satu pihak, dengan memaksakan penghancuran sejumlah besar tenaga-tenaga produktif, pada pihak lain, dengan merebut pasar-pasar baru dan menghisap pasar-pasar yang lama dengan cara yang lebih sempurna. Itu artinya, dengan membukakan jalan untuk krisis-krisis yang lebih luas dan lebih merusakkan, dan mengurangi syarat-syarat yang dapat mencegah krisis-krisis itu.

Oleh karena itu, selanjutnya giliran Eropa yang kena krisis, tapi bukan krisis Industri, melainkan krisis Hutang. Investor mau tak mau melarikan lagi uangnya ke tempat lain, dan salah satu pilihan jatuh pada Indonesia, negeri yang memiliki industri dan pasar domestik yang bagus sebab buruhnya murah dan kelas menengahnya sangat berpotensi sebagai konsumen

Maka, kini giliran Indonesia yang menambah hutangnya. Diharapkan oleh borjuis internasional investasi mereka bisa aman dan menguntungkan. Pendek kata, Indonesia bakal kebanjiran hutang. 

Banjir hutang ini, tentu akan membuat Indonesia mencetak banyak uang baru untuk keperluan pembangunan ini dan itu. Akan ada banyak uang di masa ini sehingga inflasi pasti terjadi besar-besaran. 

Inflasi ini, akan ditanggapi oleh pemerintah dengan sejumlah uang baru lagi, sebab sirkulasi uang terhambat. Maka harga naik lagi. Pemerintah tanggapi lagi, naik lagi. Dan seterusnya. Ini dinamakan hiperinflasi. 

Efek hiperinflasi adalah kekacauan psikologis bagi kelas bawah, sebab gaji mereka tak cukup buat beli barang-barang kebutuhannya. Selain itu, banyak orang dari kelas atas akan berkurang kepercayaannya pada rupiah, maka mereka membeli dolar sehingga dolar naik. 

Apabila dolar naik, maka Bensin dan spare part serta berbagai hal sekunder yang menjadi kebutuhan primer bagi kelas menengah akan semakin mahal. Kelas menengah akan ikut mengamuk karenanya. Bagi pemerintah, mengamuknya kelas menengah itu adalah pantangan utama, sebab pemerintah adalah perwakilan kelas menengah itu sendiri. 

Untuk mencegah itu terjadi, maka pemerintah Indonesia perlu mengimbangi situasi  melalui mekanisme redenominasi. Dalam masa-masa “membanjirnya” hutang itu, pemerintah perlu mensosialisasikan dan mengupayakan perubahan mata uangnya menjadi seakan-akan setara dengan dolar, seakan-akan 1 rupiah sama dengan 1 dolar. Rupiah diupayakan berubah jadi tampak keren. 

Diharapkan dengan begitu, masyarakat kelas atas tidak berpindah hati ke mata uang lain sehingga rupiah tetap kuat dan kelas menengah bisa menikmati kemapanannya. Sementara kelas bawah tetap menderita, karena baik rupiah menguat atak tidak, upah mereka tetap tidak bisa memapankan mereka. Tapi itu tidak jadi soal bagi pemerintah, sebab kelas bawah tidak memiliki perwakilan.  

Kesimpulannya, redenominasi hanyalah Make-up Pemerintah belaka. Agar pemerintah tampak cantik bagi kapitalis nasional, sehingga bersedia bergandeng tangan dengan pemerintah dan memelihara kemapanan keluarga pemerintah, yakni keluarga kelas menengah. 

Adapun permasalahan utamanya, yakni hiperinflasi dan dampaknya, tetaplah tak terobati. Kenaikan harga-harga barang kebutuhan pokok akan membuat kelas bawah, yakni wong cilik dan buruh, mau tak mau perlu banyak-banyak bersabar dan berpuasa Daud, atau Mati. Sebab, upah mereka tak cukup dan keberanian mereka tertundukkan. Moncong senjata pemerintah selalu terarah ke kepala mereka. (R/C)

No comments: