Wednesday, December 02, 2015

LANDASAN SOSIOLOGIS SILA PERTAMA PANCASILA



(Ketuhanan dikaji dari sudut pandang marxisme)[1]
Oleh : Ir. Soekarno

Salah satu karaktertrek bangsa kita, corak, jiwa kita baik di zaman saf keempat, maupun saf ketiga, saf kedua, saf kesatu, bahwa bangsa Indonesia selalu hidup di dalam alam pemu­jaan daripada sesuatu hal yang kepada hal itu ia menaruhkan segenap harapannya, kepercayaannya. Bangsa Indonesia pada umumnya, saya ulang-ulangi pada umumnya, sebab sila-sila ini adalah grootste gemene deler dan kleinste gemene veelvoud. Jadi jangan kira tiap-tiap manusia Indonesia itu merasa ber-Ketuhanan, bahwa tiap-tiap orang Indonesia berkobar-kobar rasa kebangsaan­nya, bahwa tiap-tiap orang Indonesia menyala-nyala kalbunya dengan rasa kemanusiaan, tiap orang Indonesia berkedaulatan rakyat, berkeadilan soaial. Tidak! Tetapi sebagai keseluruhan, grootste gemene deler, kleinste gemene veelvoud, saya mene­mukan lima corak ini. Ambillah kleinste gemene veelvoud, groot­ste gemene deler itulah. Het kan niet anders daripada itu, kalau kita secara sosiologis sekarang ini meningkat ke taraf masyarakat Indonesia di dalam pertumbuhan.
Saya dengan tegas mengatakan, ini kupasan sosiologis yang akan saya berikan. Nanti saya akan tambahkan bukan hal-hal yang sosiologis, tetapi kenyataan. Sosiologisnya bagaimana? Het kan niet anders, tidak bisa lain. Daripada bangsa Indonesia ini hidup di dalam alam Ketuhanan. Di sana ada tempat permohonannnya, tempat kepercayaan.
Mari lebih dahulu saya kupas secara sosiologis pertumbuh-an masyarakat manusia dari zaman dulu sampai zaman sekarang.
Manusia zaman dulu tidak sama dengan manusia zaman sekarang. Sekarang ada lampu listrik, ada sarung batik, ada kursi, ada selop, ada kacamata, ada kapal udara. Dulu tidak. Dulu manusia hidup di hutan-hutan, di gua-gua. Saya namakan itu fase pertama dari kehidupan manusia di dunia ini. Fase daripada kehidupan manusia sebagai manusia. Sebab, dan ini tidak saya bicarakan lebih lanjut, apakah manusia itu berada di dunia itu sudah menjadi manusia, apakah manusia itu hasil daripada evolusi.
Saya cuma menceri­terakan saja bahwa ada satu cabang ilmu pengetahuan bahwa manusia itu adalah hasil daripada evolusi. Bahwa tidak manusia itu begitu dilahirkan sudah satu manusia bernama Adam dan satu manusia bernama Eva, kemudian dari dua ini tumbuh manusia­manusia lain, tetapi manusia itu adalah hasil daripada pertum­buhan. Mungkin juga dulu berupa een cellige wezens, sel yang satu. Kemudian evolusi, menjadi ongewervelde dieren. Evolusi, menjadi semacam ikan-ikan. Evolusi lagi, binatang yang merayap tetapi mempunyai kaki. Evolusi lagi, menjadi binatang yang me­manjat di atas pohon. Lama-lama timbul yang dinamakan sayap. Lama-lama menjadi binatang yang bisa lari yang meloncat seperti kera. Kera yang merangkak dengan empat kaki menjadi berdiri di atas dua kaki. Evolusi lagi, menjadi manusia yang seperti kita kenal sekarang ini. Mula-muia hidup di dalam hutan dan gua. Evolusi-evolusi, menjadi manusia sekarang. Proses ini makan waktu beratus-ratus ribu tahun. Di tanah air kita sendiri pada satu ketika terdapat salah satu bukti daripada teori ini. Yaitu di dekat kota Ngawi di desa Trinil terdapat tulang-tulang daripada makhluk yang demikian ini. Nyata makhluk manusia, tetapi bentuk masih setengah gorila, tetapi ia sudah berjalan dengan dua kaki. Setengah monyet tetapi sudah berrjalan dengan dua kaki. Maka karena itu dinamakan pithecanthropus erectus. Pithecus itu artinya monyet, anthropus artinya manusia. Tetapi ia berjalan dengan dua kaki, erectus. Pithecanthropus erectus yang ditaksir menurut ilmu bio­logi, batu yang membungkus tulang-tulang itu, - sebab tulang itu pada suatu hari mungkin terbenam, entah kena lahar, entah kena banjir, entah kena apa -, katakanlah dalam lumpur. Lumpur ini makin lama makin keras, makin membatu, sehingga akhirnya tulang ini terbungkus di dalam batu. Nah, ilmu biologi, ilmu batu, menentukan umur batu ini 550 ribu tahun. Jadi lebih daripada setengah j uta tahun. Dus tulang yang di dalam batu ini asal dari zaman paling sedikit setengah juta tahun yang lalu.
Saya tinggalkan pertikaian dalam hal ini, dan saya mulai dengan cerita bahwa pada satu zaman manusia itu sudah sampai kepada tingkat berupa manusia. Bukan lagi pithecanthropus, tetapi sudah anthropus yang penuh. Cuma hidupnya dalam gua. Itu fase pertama hidup dalam gua, mencari penghidupan dengan memburu dan mencari ikan. Memburunya bukan dengan senj ata Mauser atau Lee & Field. Tidak! Tetapi zaman dahulu dengan batu dan sepo­tong kayu. Cara hidupnya ini adalah penting sekali. Alam pikiran manusia di segala zaman itu dipengaruhi oleh cara hidupnya, oleh cara ia mencari makan dan minum. Pegang ini, dan jangan lupa akan stelling ini: cara manusia mencari makan dan minum, men­cari hidup, mem-pertahankan hidup, memelihara hidupnya, ini adalah penting sekali. Ia mem-pengaruhi alam pikirannya. Tingkat yang pertama ini adalah tingkat demikian. Hidup dalam gua-gua, di bawah pohon-pohon, mencari makan dengan memburu dan mencari ikan.
Evolusi, pertumbuhan. Datanglah lambat laun tingkat yang kedua. Jangan kira, tingkat yang kedua ini datangnya sekonyong­konyong. Tidak. Ini adalah satu pertumbuhan yang evolusioner. Tingkat yang kedua ialah bahwa si manusia yang tadinya hidup dari pemburuan dan mencari ikan, mulai mengerti bahwa ternak bisa dipelihara. Tadinya ia memburu, memburu kijang, sapi hutan, kambing hutan dan lain sebagainya. Lambat laun timbul pengeta­huan bahwa binatang-binatang itu bisa ditangkap, diikat, diku­rung, anaknya dipelihara, bisa ber-kembang biak. Tingkat yang kedua ialah tingkat cara hidup manusia dengan terutama sekali, - garis besarnya saja: grootste gemene deler dan kleinste gemene veelvoud -, hidup dari peternakan, memelihara binatang.
Lambat laun, dengan pemeliharaan binatang ini, setelah ia meninggalkan adat kebiasaannya memburu dan kemudian men­jadi peternak, ia agak lebih terikat kepada tempat, kepada ternak­nya. Ia harus memberi makan kepada ternak itu. Bukan saja mem­beri makan kepada diri sendiri yang berupa daging, tapi ia juga harus memberi makan kepada ternaknya.
Lama-lama ia tahu bah­wa makanan vang ia perlukan sendiri dan yang ia berikan kepada binatang itu, bisa pula dicocoktanamkan, bisa ditanam. Dulu, ka­lau ia perlu buah-buahan, ia pergi ambil di hutan. Ketemu jagung di hutan, ambil jagung. Baginya biasa, tanaman begini ini buahnya bisa dimakan. Berjumpa padi di rawa-rawa, tapi padi liar. Ia me­ngetahui, biasa baginya, bahwa buahnya dapat dimakan dan dapat pula diberikan kepada ternaknya. tetapi lambat-laun ia berpenga­laman bahwa tanaman-pun bisa ditanam. Tumbuh-tumbuhan yang berupa jagung, padi, gandum, buah-buahan bisa ditanam.
Dan terutama sekali, saudara-saudara, ini adalah tingkat yang ketiga, cara hidup dari pertanian terutama sekali. Di sini kita pantas memberi saluut kepada wanita. Wanitalah makhluk pertama yang mengusahakan tanaman ini. Bukan karena menganggurnya, tetapi merasa harus. Ia melihat bahwa biji jagung yang tidak termakan, tumbuh, dan ia melihat kalau biji jagung ini ditanam lebih dalam, dan tanahnya dikorek-korek menjadi lebih subur dan bisa berbuah. Demikian biji padi dan juga tanam-tanaman yang lain. Salah satu jasa daripada wanita ialah: dialah yang pertama kali memperoleh ilmu pertanian. Sebagaimana juga sebenarnya wanita yang per­tama kali mendapatkan ilmu menjahit, membikin pakaian. Wanita yang di rumah, melihat anaknya kedinginan, ditutup badan anaknya itu dengan kulit binatang. Lama-lama ia berpikir: kalau kulit binatang yang satu ini disambung dengan kulit binatang yang lain, barangkali dengan tulang ikan yang tajam dan serat atau akar, dan begitulah timbul ilmu menjahit oleh wanita. Susu ternak, darah, - zaman dahulu itu orang masih makan darah, - harus dikumpulkan. Wanitalah yang pertama-tama menemukan tempat untuk susu atau darah itu, dari buah labu yang tua dikorek-korek. Atau untuk tempat biji-biji yang dikumpulkan dari hutan-hutan. Wanitalah yang pertama kali mempunyai begrip wadah. Bahkan, karena barangkali tidak ada buah labu, wanita yang menggali tanah liat, dibentuknya dengan cara yang amat premitif, akhirnya menjadi semacam periuk.
Wanita vang pertama kali membuat apa yang kita namakan rumah. Belurn rumah seperti sekarang, meskipun rumah desapun. Sangat sederhana. Wanita yang ditinggalkan suaminya ke hutan atau menggembala, tinggal dengan anaknya. Hujan. Kemudian timbul pikiran menyusun daun-daun pisang atau lainnya untuk bernaung di bawahnya. Begrip pertama daripada atap. Jadi wanita adalah makhluk yang pertama yang mendapat-kan apa yang di­namakan civilization, peradaban.
Wanita yang membuat periuk, wanita yang menjahit kulit, wanita yang menganyam serat menjadi tenunan kasar. Wanita yang bercocok tanam mula-mula.
Ini tingkat yang ketiga, cocok tanam. Si laki lama-lama meli­hat bahwa jagung, padi bisa ditanam. Lama-lama si laki pun me­ninggalkan cara hidup beternak, cape selalu mencari tempat peng­gembalaan. Lantas ia menetap juga. Perkataan menetap. Dulu tatkala ia masih hidup memburu, tidak menetap, selalu berpindah­pindah, nomade. Tatkala ia beternakpun, tingkat yang kedua, tidak menetap, berpindah-pindah, mencari makanan untuk ternaknya. Nomade. Tetapi ketika pertanian diterima oleh wanita dan juga oleh lelaki, dus manusia cara hidupnya terutama sekali dari per­tanian, manusia lantas meninggalkan cara hidup nomadisch men­jadi orang-orang yang menetap. Tingkat keempat, juga saudara harus membayangkan evolusi. Pertanian, lama-lama timbul pikir­an: tanah ini kalau dicokel-cokel dengan suatu alat, lebih subur. Lama-lama timbul pikiran akan semacam bajak. Timbul pikiran untuk memotong. Timbul pikiran untuk membuat alat. Lama-lama timbul satu kelas: aku tidak ikut bercocok tanam; aku membuat alat, aku membuat bajak, aku membuat cangkul, aku membuat semacam linggis dari kayu. Timbul juga satu pikiran, bahwa untuk mengangkut barang dari satu ke lain tempat harus ada alat yang bisa mengelinding. Lama-lama menjadi begrip gerobak. Gerobak yang sederhana. Wanita yang bikin periuk, timbul pikiran: bikin periuk saja, sehari-hari bikin periuk. Wanita yang bikin tenunan, timbul pikiran mengumpul-kan serat-serat untuk menenun. Lantas timbul satu kelas yang sehari-hari mengumpulkan serat-serat un­tuk menenun. Kelas penenun. Demikianlah seterusnya timbul golongan-golongan manusia yang cara hidupnya membuat alat yang kemudian ditukarkan kepada orang yang bercocok tanam. Aku membuat periuk, aku perlu makan; ambillah periukku dan berilah aku jagungmu atau gandummu, atau padimu. Begrip ruilhandel, tukar-menukar timbul.
Di dalam tingkat keempat ini, akhirnya tumbuh kelas yang terutama sekali hidup daripada apa yang dinamakan nijverheid, kerajinan. Membuat alat, membuat gerobak, membuat pacul, membuat bajak, membuat pedang dan lain-lain. Hidup hanya membuat alat, yang hasilnya ditukarkan dengan hasil pertanian. Ruilhandel.
Evolusi lagi. Akhirnya meningkat menjadi zaman yang sekarang ini, yang dididik di dalam alam yang dinamakan alam industrialisme. Pertumbuhan daripada nijverheid ini, membuat produksi, lantas timbul cara mendidik orang lain dengan perbu­ruhan, dengan terdapatnya mesin uap dan lain-lain. Industrial-isme. Itu adalah sifat yang kita hidup sekarang ini atau kita mengalami, melihat sekarang ini terutama sekali terjadi di dunia barat, di Amerika dan di Eropa. Saya ulangi, dus manusia ini pertumbuhan­nya melalui lima tingkat, sesudah ia berbentuk dan berupa manusia. Saya tidak bicarakan hal pithecanthropus. Memburu dan mencari ikan, satu. Berternak, dua. Cocok tanam, tiga. Kerajinan, empat. Industrialisme, lima. Sekali lagi saya ulangi, ini adalah de grootste gemene deler dan de kleinste gemene veelvoud, corak umum daripada masya­rakat manusia.
Tadi saya menandaskan kepada saudara-saudara, cara hidup manusia mempengaruhi alam pikirannya. Juga mem­pengaruhi alam persembahannya, kalau boleh saya pakai per­kataan ini. Tatkala ia masih hidup di dalam hutan, di dalam gua­ gua, apa yang ia sembah? Pada waktu malam gelap gulita di dalam hutan, ia hidup di dalam alam yang gelap, penuh dengan ketakutan. Ia melihat bulan dan bintang-bintang. Ia sembah bulan dan bin­tang-bintang itu. Pada waktu hujan lebat, ia takut kepada petir, laksana petir itu menyambarnya. Ia menyembah pada petir. Ia menyembah kepada sungai, yang memberi ikan kepadanyaa la menyembah kepada pohon yang rindang yang ia bisa bernaung di bawahnya. Ia menyembah kepada awan yang berarak. Ia menyem­bah kepada matahari yang memberi cahaya cemerlang pada siang hari. Ia menyembah kepada barang-barang yang demikian itu. Itulah Tuhannya pada waktu itu. Berupa gunung yang menge­luarkan api, berupa bulan, berupa bintang, berupa matahari. Ia punya Tuhan. Saya tidak mengatakan itu Tuhan yang tepat, tetapi ia punya Tuhan pada waktu itu. Dan ini zaman tidak sebentar, lama sekali. Tuhannya yang berupa guntur dan petir, ia materialisir, ia materikan. Ia mendengar guntur yang menggeludug. Apa itu? O, itu Thor, yang turun dari satu mega ke lain mega. Tiap-tiap kaki mengenai satu mega, keluar suara. Kalau ia mendengar guntur menggeledek itu: Thor sedang berjalan. Thor sedang naik kuda, yang berlompat dari satu awan ke lain awan. la menyembah sungai yang memberi makan kepadanya. Sebagai di alam India yang dahulu, orang masih mengagungkan sungai. Sungai Gangga mi­salnya.
Sungai Gangga misalnya, bengawan Silugangga kata orang Jawa. Sungai Gangga itu asalnya dari zaman baheula.
Yang menyembah sungai, menyembah petir, menyembah batu yang di dalam Bagawad Gita diceriterakan, pada hakekat-nya yang harus kita kenal dan kita hormati bukan batunya itu, tetapi dia punya jiwa yang menyembah. Di dalam Bagawad Gita Kresna berkata kepada Arjuna: Kau kenal aku. Aku is Ik. Aku adalah hidup, aku adalah angin. Aku tiada mula tiada akhir, aku adalah di dalam geloranya air samudra yang membanting di pantai. Itu juga disembah.
Sang manusia zaman dulu, fase pertama itu, kalau samudra sedang menggelora, membanting di pantai, menekukkan lutut-nya menyembah sebagaimana orang Jawa pantai selatan dulu, kalau mendengarkan Iautan kidul sedang menggelora, berkata: lampor, lampor. Manusia Jawa zaman dahulu, menyembah Iautan Selatan.
Saya kembali kepada Bagawad Gita, Bagawad Gita berkata: aku adalah di dalam geloranya air laut yang membanting di pantai, aku adalah di dalam sepoinya angin yang sedang meniup. Aku adalah di dalam batu yang engkau sembah. Aku ada di dalam awan yang berarak. Aku ada di dalam api, aku di dalam panasnya api. Aku ada di dalam bulan, aku ada di dalam sinarnya bulan. Aku di dalam senyumnya sang gadis yang cantik. Aku yang tiada mula tiada akhir. Bagawad Gita menegaskan bahwa jiwa manusia sejak dari zaman dulu itu ada yang disembah. Tapi yang disembah itulah yang berubah-ubah. Zat yang ia sembah, yang ia tidak kenal, di dalam zaman fase pertama berupa pohon, berupa petir, berupa air laut, berupa sungai sampai dimaterialisir, Thor, dewa daripada donder. Notabene, saudara-saudara, kita punya perkataan guntur. Nama Guntur itu universil, saudara-saudara. Di daerah Skandi­navia dewa langit dinamakan Thor, Geluduk, guruh, petir itu, orang Skandinavia zaman dulu mengatakan Kung Thor, King Thor, raja Thor. Perkataan Kung Thor itu sama dengan kita punya perkataan guntur. Ini adalah oleh karena pada hakekatnya manusia di dunia itu adalah satu, mandkind is one. Manusia itu satu sebetul­nya. Yang berbeda-beda itu warna kulitnya. The same under the skin kata orang Amerika. Di bawah kulit sama saja. Kalimat itu pernah diucapkan pula, disitir oleh Presiden Eisenhouwer.
Fase pertama itu, Tuhan manusia. Saya ulangi, bukan Tuhan yang sebenarnya, yang tepat. Dia punya begrip itu manusia mengira Tuhan guntur, Tuhan air sungai, Tuhan angin. Contoh dari restan-restan kepercayaan ini tadi saya sebutkan. Di India orang masih menyembah sungai Gangga. Di Jawa lampor. Zaman dulu orang Yogyakarta kalau ada angin dari selatan meniup: lampor, lampor, lampor. Bahkan di kota Yogyakarta orang pasang lentera di luar rumah.
Fase kedua, manusia hidup dari peternakan. Pindah ben­tuknya ia punya Tuhan, terutama sekali berupa binatang. Oleh karena binatanglah yang memberi susu, daging, kulit kepadanya, oleh karena hidupnya sebagian besar tergantung kepada binatang. Ia punya Tuhan lantas dirupakan binatang. Ia malahan mengatakan kepada orang yang masih menyembah batu: masak batu disembah, pohon disembah, sungai disembah. Ini Tuhan yang betul, berupa binatang. Bangsa Mesir zaman dulu menyembah binatang, sapi yang bernama Apis, atau burung yang bernama Osiris. Bahkan di India sampai sekarang masih ada restan penyembahan binatang. Di daerah yang masih memegang adat kuno, jika saudara meng­ganggu seekor sapi, saudara dibunuh. Sapi adalah binatang keramat. Begitu keramatnya sampai tahi sapi dikeramatkan. Bukan saja sapi boleh masuk toko, masuk di mana-mana. Orang India yang masih kolot, sakit misalnya, minta tahi sapi yang masih hangat dicampur air, dan airnya dipercikkan kepada orang yang sakit. Wanita India yang masih kolot, tiap pagi sebelum membuat api untuk membuat roti bakar, sekeliling dapurnya disiram dengan air tahi sapi. Yah, oleh karena dia anggap ini keramat. Pagar meno­lak segala bahaya. Ini adalah restan dari zaman manusia yang masih hidup terutama sekali di alam peternakan.
Tingkat ketiga, manusia hidup dari pertanian. Pindah, sau­dara-saudara, dia punya begrip daripada Tuhan itu, kepada sesuatu zat yang menguasai pertanian. Timbul Dewi Laksmi, timbul Dewi Sri, timbul Saripohaci di tanah Pasundan. Dewi-dewi yang mem­berkati pertanian. Sebab pertanian adalah satu onzekere factor, tergantung dari iklim, tergantung kepada kering atau hujan, ter­gantung dari banyak hal. Kalau orang tani sudah menanam tanamannya, tidak lain ia lantas memohon. Ini adalah salah satu corak dari tiap bangsa agraris. Tentu ia hidup di dalam alam kata­ kanlah keagamaan, ketuhanan, religieus, tiap-tiap bangsa agraris, oleh karena segala sesuatu tergantung kepada onzekere factoren, yang mengenai iklim. Sesudah ditanam padinya, kalau untung, bisa memiliki hasilnya. Kalau kebanyakan hujan, mati tanaman­nya. Oleh karena itu ia memohon. Nah, Tuhannya itu lantas dibentukkan sesuatu yang berhubungan dengan pertanian, Dewi Sri, Dewi Laksmi, Saripohaci, godinnen van de landbouw. Malah­an dibentukkan manusia. Tetapi di dalam alam pertama, tidak selalu dibentuk-kan manusia, pohon ya pohon, kayu ya kayu yang disembah. Sungai ya sungai yang disembah, belum dibentukkan manusia. Di dalam alam kedua, peternakan juga belum dibentuk­kan manusia. Sapi ya sapi. Buaya ya buaya. Buaya disembah di alam Mesir yang dulu. Coba lihat lukisan-lukisan Mesir dulu.
Pelanduk ya pelanduk, ular ya ular. Tetapi di dalam alam ketiga, bentuk "Tuhan", yang manusia sembah, dibentukkan manusia. Dalam ilmu pengetahuan dinamakan anthropromorph. Anthropus adalah manusia, morph adalah bentuk. Berbentuk manusia. Berbentuk Dewi Laksmi, manis. Coba lihat patung Sri, Dewi Laksmi, manis. Di dalam pikiran, dewi-dewi ini, manis. Anthropromorph. Demikianlah perpindahan begrip manusia dari­pada Tuhannya. Batu pindah kepada sapi, sapi pindah kepada anthropus, dewi.
Di dalam alam keempat, yang orang buat alat, siapa yang menjadi penentu daripada alam pembuatan alam itu. Penentunya ialah terutama sekali akal. Akal, akallah yang melahirkan sabit, bajak, jarum. Uitvindingen yang waktu itu masih sangat primitif, tapi toh uitvinding daripada akal.
Tuhan manusia di dalam taraf keempat ini, adalah terutama bcrsarang di sini, di akal. Yang tadinya berupa batu pindah berupa sapi, berupa dewi, di dalam alam keempat itu menjadi gaib. Gaib artinya tidak bisa dilihat, tidak bisa diraba. Tadinya masih bisa diraba, batu bisa diraba, sungai bisa, sapi bisa. Dewi bisa diraba. Malahan di zaman Yunani, diadakan kontes, tiap tahun, siapa yang dijadikan dewi. Dan si manusia itu yang disembah. Seorang gadis cantik didewikan, diadakan satu pemilihan di kalangan alim­ulama zaman itu, ini dewi. Salah satu contoh yang sampai sekarang masih ada yaitu patung Aphrodite buatan Praxiteles. Praxiteles seorang pembuat patung yang pandai sekali, membuat patung wanita Aphrodite, Dewi Asmara yang sampai sekarang kalau orang melihat patungnya itu, bukan main. Tetapi ia membuat patung itu dari apa, modelnya apa, apakah ciptaan? Tidak. Betul­-betulan. Pada satu hari di tempatnya itu ada pemilihan dewi Asmara, seorang wanita yang cantik, dikeramatkan menjadi dewi Asmara. Dan ahli seniman ini membuat patung, modelnya, dus, benar-benar wanita itu, materi, zuiver mens, dan ia namakan patung ini Aphrodite.
Alam keempat gaib. Tuhan dimasukkan di dalam alam gaib. Tuhan di mana? Tidak kelihatan tidak bisa mata melihatnya. Tidak bisa diraba, tidak bisa dilihat, gaib. Oleh karena akallah menjadi penentu daripada hidup manusia.
Fase yang terakhir, industrialisme. Di situ malahan lebih daripada digaibkan. Karena di situ manusia merasa dirinya atau sebagian daripada manusia merasa dirinya Tuhan. Di dalam alam industrialisme itu apa yang tidak bisa dibikin oleh manusia. Mau petir, aku bisa bikin petir. Aku, aku, aku bisa bikin petir. Menara yang tinggi, aku isi electrisiteit sekian milyun volt, aku buka dia punya stroom, petir. Aku bisa membuat petir.
Mau apa? Mau suara dikirim ke Amerika? Aku bisa mem-buat­nya. Mau hujan? Sekarang ada pesawat-pesawat pembikin hujan. Mau outer space, keluar daripada alam ini? Aku bisa, aku akan menguasai bulan. Aku bisa, aku kuasa! Tuhan, persetan, tidak ada Tuhan itu. Lucunya di situ! Sebagian daripada manusia berkata: Tuhan, tidak ada. Saudara-saudara bisa mengikuti analisa ini? Batu atau pohon, pindah binatang, pindah dewi atau dewa, pindah ada Tuhan tetapi tidak bisa dilihat, gaib.
Nomor lima, sebagian daripada manusia, de heersers van de industrie, de geleerden, banyak yang berkata: tidak ada Tuhan. Hilang sama sekali begrip itu.
Nah, ini bagaimana? Saya menyelami masyarakat Indonesia, dan pada garis besarnya, grootste gemene deler dan kleinste ge­mene veelvoud, saya melihat, bahwa bangsa Indonesia percaya pada adanya satu zat yang baik, yaitu Tuhan. Ada juga orang yang tidak percaya kepada Tuhan tetapi sebagai grootste gemene deler, kleinste gemene veelvoud, bangsa Indonesia percaya kepada Tuhan. Dan tadi saya berkata het kan niet anders, oleh karena masyarakat Indonesia pada dewasa ini sampai kepada penggalian­penggalian ke dalam, terutama sekali masih hidup di dalam alam perpindahan keempat, tiga keempat, dan empat kelima, sebagian besar masih agraris, dan tiap-tiap bangsa yang agraris, mempunyai kepercayaan. Sebagian hidup di dalam alam kerajinan. Tadipun saya terangkan, rakyat yang hidup di dalam alam nijverheid, pada garis besarnya percaya kepada Tuhan, bahkan Tuhan yang gaib. Sebagian kecil yang telah hidup di dalam alam industrialisme itu. Tetapi itu bukan lagi corak daripada keseluruhan tingkat masya­rakat kita. Tingkat masyarakat kita pada saat sekarang ini, ter­utama sekali ialah sebagian agraris, sebagian nijverheid, dan baru kita melangkah sedikit ke alam industrialisme.
Mengingat ini semua, het kan niet anders of kita ini harus satu rakyat yang mempunyai kepercayaan. Dus, kalau aku memakai Ketuhanan sebagai satu pengikat keseluruhan, tentu bisa diterima. Sebaliknya kalau saya tidak memakai Ketuhanan ini sebagai satu alat pengikat salah satu elemen, daripada meja statis dan Leitstar dinamis itu, maka saya akan menghilangkan atau membuang satu elemen yang bindend, bahkan masuk betul-betul di dalam jiwanya bangsa Indonesia. Kalau saudara tanya kepada saya persoonlijk, apakah Bung Karno percaya kepada Tuhan. Ya, saya ini percaya dan tadi saya sudah berkata saya ini orang Islam. Bahkan saya betul-betul percaya kepada agama Islam. Saya percaya dengan adanya Tuhan. Lho la kok manusia itu dulu menyembah patung, sapi, dewa atau dewi, kemudian gaib. Apa Tuhan itu berubah­ubah? Tidak! Bukan Tuhannya yang berubah-ubah. Zat ini tidak berubah-ubah, tetapi yang berubah-ubah ialah begrip manusia. Begrip manusia itu yang berubah-ubah, tergantung kepada fase hidupnya, cara hidupnya. Tuhannya tetap ada, cuma dikira oleh manusia zaman itu, Tuhan itu beledek, atau air laut yang bergelora. Atau suara burung di dalam malam gelap gelita, itu dikira suara Tuhan. Demikian pula orang di dalam alam peternakan mengira bahwa Tuhan berupa sapi. Atau orang di dalam alam pertanian mengira Tuhan berupa Dewi Sri. Di dalam alam nijverheid, orang memberikan mahligai kepada akal, ya Tuhan ada, tetapi tidak bisa bilang, di mana. Dan orang yang sudah bisa memecahkan atom, ada yang berkata: nonsens Tuhan, aku bisa membuat atom, aku bisa menguasai langit. Pengiraan manusia yang berubah, Tuhan­nya tetap.
Aku pernah memberi satu gambaran seekor gajah di dalam kuliah saya di Candradimuka. Ada lima orang, kelima-limanya buta dan belum pernah melihat gajah, karena butanya. Mereka datang pada seseorang yang mempunyai gajah. He, kami lima orang kepingin tahu gajah. Boleh. Gajahnya besar, dikeluarkan dari kandangnya. Nah ini gajah yang berdiri di muka saudara­saudara. Coba saudara A, kalau mau tahu gajah, peganglah gajah itu. Si A maju ke muka, dipegangnya dan mendapat belalai gajah. Ditanya oleh yang punya gajah: Bung, bagaimana bentuk gajah? Jawabnya, gajah itu seperti ular. Padahal dia hanya mendapat belalai. B maju ke muka dan ia meraba-raba mendapat kaki gajah. Gajah itu kok begini, empuk, tetapi seperti pohon kelapa. C maju ke muka, orangnya tinggi, pegang-pegang, dapat telinga gajah. Ya, gajah itu seperti daun keladi, pak. Keempat, seorang agak kerdil, pegang-pegang, dapat ekor gajah. Seperti pecut, cemeti. Nomor lima yang paling kerdil, maju ke muka, di bawahnya gajah. Tidak dapat pegang apa-apa. Mana gajahnya? Itu gajahnya, di atas Bung itu gajah. O, gajah itu seperti hawa.
Begrip manusia kepada Tuhan juga demikian. Tadi seorang mengira gajah seperti belalai, satu mengira tidak ada. Tetapi gajah, ada. Cuma begrip manusia yang berbeda-beda.
Nah, saudara-saudara, demikian pula kalau saudara tanya kepada saya, Tuhan bagi saya ada. Malahan bagi saya Tuhan adalah suatu reeel iets. Di dalam tiap-tiap saya sembahyang, saya bicara kepada Tuhan, dan saya sering minta apa-apa kepada Tuhan dan Tuhan kasih kepada saya. Dan itu memperkuat kepercayaan saya, bahwa Tuhan itu ada. Ini cerita persoonlijk: saya sering mendapat peringatan dari Tuhan berupa impian. Kalau saya mimpi, dan mimpi itu saya rasa, ini mimpi-mimpi betul, biasanya keesokan harinya terjadi. Bagi lain orang, lain, barangkali terjadi­nya itu lain bulan dan sebagainya. Bagi saya, praktik saya, kalau saya sudah mimpi dan saya merasa betul ini bukan impi-impian, kontan keesokan harinya terjadi. Hal-hal yang semacam itu mem­beri keyakinan kepada saya bahwa Tuhan ada.
Bagaimana seluruh rakyat Indonesia pada garis besarnya? Kalau pada garis besarnya, telah saya gogo, saya selami, sudah saya lihat secara historis, sudah saya lihat dari sejarah keagamaan, pada garis besarnya rakyat Indonesia ini percaya kepada Tuhan. Bahkan Tuhan yang sebagai yang kita kenal di dalam agama, agama kita. Dan formulering Tuhan Yang Maha Esa bisa diterima oleh semua golongan agama di Indonesia ini. Kalau kita menge­cualikan elemen agama ini, kita membuang salah satu elemen yang bisa mempersatukan batin bangsa Indonesia dengan cara yang semesra-mesranya. Kalau kita tidak memasukkan sila ini, kita kehilangan salah satu Leitstar yang utama, sebab kepercayaan kita kepada Tuhan ini bahkan itulah yang menjadi Leitstar kita yang utama, untuk menjadi satu bangsa yang mengejar kebajikan, satu bangsa yang mengejar kebaikan. Bukan saja meja statis, tetapi juga Leitstar dinamis menuntut kepada kita supaya elemen Ketuhanan ini dimasuk-kan. Dan itulah sebabnya maka di dalam Pancasila elemen Ketuhanan ini dimasukkan dengan nyata dan tegas.




[1] Disadur dari pidato soekarno berjudul “PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA II”, yang disampaikan dalam Kursus Presiden Soekarno Tentang Pancasila di Istana Negara, Tanggal 16 Juni 1958. Sumber pidato: Soekarno Foundation.

No comments: