Friday, July 27, 2012

Renungan tentang Uang, Pajak, Negara dan Buruh


NEXUS UANG





Marx menjelaskan peran evolusioener dari uang. Ia mengawali dengan diskusi tentang barter antara dua komoditas (Commodity), C dan C’. Pertukaran itu terjadi sebagai berikut:



C-C’



Ketika uang (Money), M , diperkenalkan, hubungannya berubah menjadi:



C-M-C’



Di sini uang merepresentasikan medium pertukaran antara dua komoditas. Normalnya, dalam proses produksi dari bahan baku menjadi produk akhir, uang dipertukarkan beberapa kali. Fokus dari sistem kapitalis adalah pada produksi barang dan jasa yang bermanfaat, dan uang hanya berfungsi sebagai medium pertukaran—cara untuk mencapai tujuan.



Akan tetapi Marx menunjukkan bahwa sangat mudah bagi kapitalis uang untuk memulai memandang dunia secara berbeda dan lebih sempit, hanya dari sudut pandang “mencari uang” ketimbang “memanfaatkan barang dan jasa”. Marx merepresentasikan cara berpikir bisnis baru ini sebagai berikut:



M-C-M’




Dengan kata lain, Kapitalis menggunakan uang (Kapital) M untuk menghasilkan komoditas C, yang pada gilirannya dijual untuk mendapatkan lebih banyak uang M’. Dengan memfokuskan pada uang sebagai awal dan akhir aktivitas mereka, maka sangat mudah untuk kehilangan tujuan dasar dari aktivitas ekonomi- menghasilkan dan mempertukarkan barang. Tujuannya bukan lagi C, tetapi M.



Terakhir, sistem pasar maju selangkah lebih jauh untuk menunjukkan dimana komoditas (barang dan jasa) tidak ada sama sekali. Proses pertukarannya menjadi:



M-M’



Tahap akhir ini mencerminkan pasar capital atau finansial, seperti pasar uang dan sekuritas (saham dan obligasi). Kini, mudah bagi kapitalisme komoditas untuk menjadi kapitalisme finansial murni, yang tercerabut dari akar produksi komoditas. Dalam lingkungan ini, orang-orang bisnis sering kali melupakan tujuan sistem ekonomi---memproduksi barang dan jasa---dan berkonsentrasi hanya pada “mendapatkan uang”, entah itu melalui judi, teknik perdagangan jangka pendek (spekulasi), atau sekedar mendapatkan uang dari bunga bank atau T-bills. Tujuan dari pencarian uang paling baik dicapai dengan menyediakan barang dan jasa yang berguna, tetapi ini adalah pelajaran yang harus dipelajari berkali-kali dalam dunia komersil.



Jadi, kita bisa melihat bagaimana kultur kapitalistik dapat menghilangkan tujuan dasar ekonomi dan rasa kebersamaan (sense of community). Tendensi untuk menjauh dari aktivitas ekonomi merupakan tantangan bagi bagi para Kapitalis, investor dan warga negara untuk kembali ke tujuan dasarnya.



Demikianlah penjelasan tentang teori uang - marx dalam Teori-Teori Ekonomi Modern, oleh Mark Skousen.  Penjelasan tersebut cukup menerangkan teori marx. Tapi kesimpulan skousen tentang teori itu salah arah.



Teori uang-marx di atas seharusnya bermuara pada pertanyaan “Dari mana uang bisa memiliki nilainya (M’), jika pada awalnya yang ada hanyalah nilai pakai-nilai pakai (M,C,C’)?” dan marx menemukan jawabannya, “uang memiliki nilainya dari Pekerja-Pekerja yang tereksploitasi jam kerjanya. Waktu adalah uang”.



Sedangkan skousen menyimpulkan di atas secara berbeda, yakni secara morilnya, sebagaimana ia katakan di atas, “Jadi, kita bisa melihat bagaimana kultur kapitalistik dapat menghilangkan tujuan dasar ekonomi dan rasa kebersamaan (sense of community). “ skousen menganggap itu masalah moral bagi kultur kapitalistik, “menghilangkan kebersamaan”.



Bah ! malah skousen menganggap itu, “merupakan tantangan bagi para Kapitalis, investor dan warga negara untuk kembali ke tujuan dasarnya (maksudnya pertukaran barang dan jasa)”.



Bila hanya pertukaran barang dan jasa yang dibutuhkan dalam perekonomian, maka nilai uang akan sama dengan nilai tukarnya dan eksploitasi terhadap masyarakat tidak akan ada lagi, dan kapitalisme juga berarti tidak ada lagi. Padahal skousen pro kapitalisme. Tampaknya ia tak mengerti apa yang ia bicarakan sendiri. 





PAJAK





Selain teori nexus uang, marx juga sebenarnya menjelaskan nexus pajak, yakni tentang asal usul nilai pajak. Di bawah ini adalah penjelasan ringkasnya.



Siapa yang sebenarnya membayar pajak? Mari kita telusuri. Negara mendapatkan Sebagian besar APBN dari Pajak. Pajak pendapatan dan Pajak Penghasilan.



1. Pajak penghasilan (Pph) diperoleh dari pemotongan terhadap gaji pegawai pemerintah (PP) dan penghasilan pekerja swasta (PS).



2. Pajak pendapatan (PPN) diperoleh dari pemotongan terhadap keuntungan per unit sebuah perusahaan (P).



Sekarang mari kita pertanyakan lebih lanjut:



1. Dari manakah gaji pegawai negeri sipil berasal?



2. Dari manakah pendapatan perusahaan berasal?



Kita jawab:



1. Gaji pegawai berasal dari pemerintah alias Negara.



Berarti pajak yang didapat negara dari gaji pegawai, sebenarnya adalah uang negara juga yang digunakan untuk menggaji pegawai, betul?. Lalu darimana uang ini berasal?  Dari pajak terhadap pekerja swasta (karyawan/Pekerja) dan pendapatan perusahaan.



2. Pendapatan perusahaan berasal dari  keuntungan perusahaan. Darimana keuntungan perusahaan berasal? Dari hasil penjualan produk yang dibuat oleh pekerjanya alias pekerja swasta. Berarti pajak terhadap pendapatan perusahaan sebenarnya pajak terhadap pekerja swasta.



Jika pajak yang dibayar pegawai berasal dari APBN, dan jika APBN berasal dari pajak pendapatan perusahaan, dan jika pendapatan perusahaan berasal dari produk yang dibuat oleh pekerja swasta, maka siapakah yang sebenarnya membayar pajak?



ya. Jawabnya adalah, pekerja swasta. Pekerja swasta lah yang membayar pajak pendapatan nasional, pajak pegawai negeri, dan pajak penghasilannya sendiri. Sebagian besar APBN berasal dari keringat pekerja swasta.



Negara, Pegawai negeri sipil, bos perusahaan, ketiga-tiganya hidup dari jam kerja pekerja swasta, keringat pekerja swasta, atau dengan kata lain, keringat buruh.



Flow Chartnya dapat anda lihat di bawah. Demikianlah tentang Nexus Pajak.



flow chart pembayar pajak




Zero-Sum Game





Mungkin kawan-kawan sering mendengar istilah ini dalam ilmu ekonomi. Zero-Sum Game, artinya permainan jumlah kosong. Maksudnya, bertambahnya jumlah kekayaan di satu pihak dalam permainan ini, akan mengakibatkan berkurangnya kekayaan di pihak lain. Jadi tidak ada pertambahan kekayaan pada total kekayaan kedua pihak, melainkan perpindahan kekayaan saja.



Mari kita lihat contoh sederhana di bawah ini.



1. Ada tiga orang pelaku ekonomi industri. Si Pekerja. Si KONSUMEN. Si Kapitalis.



2. Hanya Ada Uang sejumlah 10 $.



3. Si KONSUMEN punya semua uang sejumlah 10 $ itu.



4. Si Kapitalis tidak punya uang



5. Si pekerja tidak punya uang



Hari  senin.



Si Kapitalis meminjam uang pada Si KONSUMEN, sebesar 2 $ untuk membuat produk. Berarti Kapitalis kini punya 2 $. Tapi pinjaman. Suatu saat harus ia kembalikan. Adapun Si pekerja, tetap tidak punya apa-apa selain tenaganya. Sementara itu, Si KONSUMEN kini hanya memiliki 8 $.



Si pekerja bekerja pada Kapitalis itu, dan dibayar 1 $ perhari kerja. Tinggal 1 $ di tangan si Kapitalis. Di hari senin ini, pekerja bisa membuat 3 buah produk. Satu buah produk berharga 1 $. Produk ini habis, dikonsumsi oleh si KONSUMEN, si Kapitalis dan si pekerja. Masing-masing 1 buah.



Maka dalam satu kali penjualan itu,



Si pekerja tidak memiliki apa-apa, karena upahnya yang 1 $ digunakan untuk membeli satu buah produk seharga 1 $ juga. Berarti Tidak ada sisa bagi si pekerja. 0 $ (NOL DOLAR) di tangannya.



Si KONSUMEN kehilangan 1 $, untuk membeli 1 buah produk. Berarti sisa uangnya tinggal 7 $ di tangan.



Penjualan 3 buah produk itu akhirnya menghasilkan 3 $ buat Kapitalis. Dari 3 $ ini, digunakan 1 $ untuk modal esok hari. Berarti untung bersih 2 $.



Di  hari ketiga, yakni hari rabu.



Dalam satu hari, Kapitalis untung bersih 2 $. Berarti di hari ke tiga, keuntungan itu menjadi 6 $. Jadi di hari ketiga, ia bisa bayar hutangnya pada si KONSUMEN dan surplus 4 $. Ia kini bisa fokus pada mengumpulkan keuntungan. Adapun Si pekerja tetap tidak punya apa-apa. Tetap hampa.



Bagaimana dengan si KONSUMEN?



Dalam satu hari, si KONSUMEN kehilangan 1 $. Berarti di hari ketiga, ia kehilangan tiga kali lipatnya, yakni 3 $. Tapi karena si Kapitalis telah membayar utangnya yang 2 $. Maka uang si KONSUMEN hanya berkurang 1 $ sehingga kini jadi 6 $ di tangan.



6  hari kemudian, yakni selasa minggu ke-dua.



Di hari ini uang si KONSUMEN yang 6 $ itu habis (ingat si KONSUMEN tiap hari mengeluarkan 1 $). Ia bangkrut. 0 $ di tangan.



Si pekerja tidak berubah nasibnya, ia tetap hampa. 0 $ di tangan.

Itu berarti si Kapitalis menguasai semua uang 10 $ itu.



Jadi, si KONSUMEN sudah tidak bisa membeli apa-apa lagi. Si Kapitalis pun kehilangan pembelinya. Itu berarti si Kapitalis berhenti berbisnis dan si pekerja terpaksa menjadi penganggur karena di-PHK.



Permainan  berakhir. Demikianlah konsep Zero-Sum.







INVESTOR DAN NEGARA DALAM PERMAINAN
ZERO-SUM GAME





Bagaiman dengan peran investor dan negara dalam permainan zero-sum game? bukankah mereka berbeda?



Mari kita lihat.



Di sini Konsumen adalah sekelompok masyarakat yang tidak turut menghasilkan komoditi, Kapitalis adalah kelompok masyarakat yang memiliki komoditi dan menjualnya dan pekerja adalah yang membuat komoditi.



Sebagian dari kelas konsumen bisa saja menginvestasikan pendapatan mereka dalam proses produksi, sehingga mereka sekaligus termasuk dalam kelas Kapitalis. Tapi semakin besar bunga yang mereka tetapkan, semakin tinggi harga produk. Sebab, keuntungan produksi selalu menyertakan komponen bunga yang harus ia kembalikan. Dengan demikian, konsumen yang berinvestasi itu dan konsumen yang tidak berinvestasi, pendek kata, semua konsumen tersebut, tetap harus membayar sejumlah yang sama dengan jumlah investasi ditambah bunga mereka.



Ini seperti si KONSUMEN yang menerapkan pajak 10% pada produk si Kapitalis pada permainan zero-sum di atas. Si Kapitalis akan menaikkan harga barang menjadi 1 $ + 0.1 $ = 1.01 $.  Bila si KONSUMEN menerapkan pajak 100 %, si Kapitalis menaikkan 100 % pula. Sehingga keuntungan si Kapitalis tetap 1 $ dan kerugian si KONSUMEN tetap 1 $ pula.



Kelas Kapitalis bisa sekaligus menjadi konsumen. Tapi itu tidak mengurangi total keuntungan Kapitalis tersebut, sehingga kelas Kapitalis tetap berstatus Kapitalis. Seperti si Kapitalis yang membeli barangnya sendiri pada permainan zero –sum di atas.



Sebagian dari kelas pekerja juga bisa sekaligus menjadi konsumen, namun ini tidak berarti mensifatkan mereka sebagai konsumen. Sebab, kemampuan konsumsi mereka merupakan ketidakmampuan konsumsi sebagian lainnya. Sebab, upah mereka yang lebih tinggi adalah upah teman mereka yang tidak dibayar sebagaimana mestinya. Keuntungan produksi yang didapat perusahaan tempat mereka bekerja, sebenarnya adalah kerugian produksi dari tempat teman mereka bekerja.  Secara keseluruhan, total upah seluruh pekerja, sama dengan total biaya konsumsi mereka. Ini seperti si hampa dalam permainan zero-sum diatas yang mendapatkan bonus kerja setiap hari 10 % dari upahnya, tapi harga produknya ditambah 10% juga, atau jam kerjanya yang ditambah 10%.



Sebagian kelas pekerja yang sekaligus menjadi Kapitalis, itu hampir mustahil. Dan kalau pun ada, maka efeknya lebih parah lagi, bukan zero-sum, tapi minus-sum. Sebab, total pendapatan Kapitalis akan menurun karena munculnya sejumlah produk tambahan sementara pendapatan konsumen tetap. Total upah seluruh pekerja akan berada di bawah biaya konsumsi mereka. Ini akan membuat kualitas kesehatan pekerja akan terus memburuk.



Ini seperti si pekerja yang nekad, mengorbankan sisa waktu luangnya, membuat produk bernilai 1 $ juga disamping bekerja pada Kapitalis. Sehingga ada 8 produk satu harinya. Yang dibutuhkan cuma 3. Si  pekerja pakai 1, si konsumen pakai 1, dan si Kapitalis pakai 1. Maka harga produk akan turun. Keuntungan si Kapitalis juga turun. Akibatnya, upah si pekerja pun turun. Proses perpindahan kekayaan pun semakin lambat. Bila ini diteruskan, maka kualitas kesehatan si pekerja akan memburuk, sehingga kualitas produk pun memburuk. Akhirnya, tidak ada lagi produk, atau tidak ada lagi yang mau mengkonsumsi produk bahkan si Kapitalis itu sendiri…atau semua mati keracunan produk. 



Jadi kesimpulannya, Semua pelaku industri itu memainkan peran mereka sebagaimana mestinya. Terutama pekerja dan Kapitalis. Kapitalis tidak akan menjadi pekerja, bila masih memiliki produknya. Pekerja tidak akan jadi Kapitalis bila masih mengorbankan waktu luangnya. Kapitalis tidak akan jadi konsumen sejati bila masih menetapkan harga. Pekerja tidak akan menjadi konsumen sejati bila masih mengorbankan upahnya. Konsumen tidak akan jadi Kapitalis atau pekerja sejati bila masih mencetak uang.



Investor



Investor, adalah konsumen yang menginvestasikan uangnya dalam proses produksi. Dalam contoh zero-sum game di atas, kita menyebutnya konsumen yang menjadi Kapitalis. Oleh karena itu kita sudah tahu apa kedudukannya dalam permainan tersebut. Yakni,  investor akan tetap menjadi konsumen, dan bunga yang mereka dapatkan dari investasi akan dibebankan pada mereka kembali melalui mekanisme kenaikan harga produk yang ditetapkan oleh Kapitalis. Ini tidak merubah konsep permainan, hanya menambah jumlah pemain.



Negara



Negara, sejatinya  masuk dalam kumpulan konsumen. Kenapa? Sebab merekalah yang mencetak uang dan menggunakan uang itu untuk membeli. Mereka tidak masuk dalam proses produksi. Bila mereka memaksa masuk dalam proses produksi, maka itu hanya akan membuat mereka rugi. Sebab, mereka hanya membuang waktu untuk membuat dan membeli produk mereka sendiri. Maka dari itu perusahaan-perusahaan milik negara cenderung merugi. Sebab biaya produksi dan uang untuk membeli, berasal dari kantung yang sama. Walaupun produk itu terbeli semua, mereka sejatinya tidak mendapat untung apa-apa dan bila sampai tidak terbeli semua, mereka sudah pasti rugi.



Maka dari itu negara musti keluar dari proses produksi atau mencari modal yang tidak berasal dari kantungnya sendiri. Bila pilihan kedua yang dipakai, maka kita namakan itu privatisasi.



Sebagian modal perusahaan ditanggung investor dari Kapitalis. Sehingga biaya produksi tidak sepenuhnya ditanggung oleh negara. Namun jarang Kapitalis yang mau, sebab ia sudah terbiasa memiliki produk dan menetapkan harga tanpa campur tangan calon konsumennya. Walaupun ia mau, tentu ia meminta agar bisa membeli sebagian besar saham, sehingga bisa mempengaruhi proses penetapan harga secara lebih dominan. Kapitalis tidak mau rugi. Kapitalis selalu berharap bunga atau bagi hasilnya (atau apapun namanya) dengan negara tidak dibebankan pada keuntungannya, tapi pada konsumen alias negara itu sendiri. Tapi apakah itu merubah konsep zero-sum game?



Jelas tidak. Sebab bukankah ini sama saja dengan kasus pada bab Investor di atas? Sebagian dari total uang negara dibungakan (atau apapun namanya) melalui proses produksi.



Demikianlah posisi Investor dan Negara dalam permainan Zero-sum game. Investor yang berasal dari kekayaan Kapitalis, jelas disebut Kapitalis. Investor yang berasal dari pejabat negara, disebut konsumen. Investor yang kekayaannya berasal dari upahnya dalam proses produksi, tetap disebut Pekerja.



HUKUM UPAH BESI RICARDO





Dalam catatan sebelumnya, yakni Zero-Sum Game, telah dijelaskan bagaimana mekanisme umum dari sistem ekonomi kapitalisme. Di mana seorang Kapitalis mengupahi seorang pekerja untuk membuat sejumlah produk yang dijual kepada konsumen. Dalam catatan tersebut, telah jelas bagi kita bahwa upah pekerja itu tidak akan jauh dari biaya hidupnya sehingga sejatinya ia hanya seperti budak, dikasih makan untuk bekerja demi tuannya.



Nah, di catatan ini, kita lihat kenapa pekerja selalu dapat upah yang tidak bisa lebih besar daripada kebutuhan hidupnya. Apakah karena semata-mata Kapitalis itu pelit, ataukah karena sistemnya sudah begitu? Mari kita lihat.



Persoalan upah pekerja yang rendah ini sebenarnya sudah dibahas 300 tahun yang lalu oleh David Ricardo, seorang ekonom terkenal yang berasal dari  London, Inggris. Begini penjelasannya.



Pertama, Jika upah pekerja naik, pekerja akan punya lebih banyak anak, yang pada gilirannya akan menaikkan pasokan (supply) tenaga kerja. Sesuai hukum penawaran (supply), semakin banyak tenaga kerja yang tersedia di dalam masyarakat (pasar tenaga kerja) maka semakin murahlah (menurun) harga (upah) tenaga kerja tersebut.



Kedua, profit (keuntungan) hanya dapat meningkat dengan cara menurunkan upah pekerja. Sebenarnya profit dapat dinaikkan dengan menurunkan kualitas produk atau meninggikan harga. Tapi produk yang berkualitas buruk akan mengurangi minat konsumen untuk membeli. Demikian juga harga yang tinggi dapat membuat konsumen melirik pada produk lain. Jadi menurunkan upah adalah alasan yang terbaik.



Cara menurunkan upah ini bisa dengan mengurangi upah secara langsung, atau secara tidak langsung mengurangi pekerja dan menggantinya dengan mesin. Cara lain adalah dengan pembagian kerja --- upah disesuaikan dengan keterampilan alias pendidikan, sehingga semakin rendah pendidikan seseorang, ia mau tidak mau menerima upah yang sesuai klasifikasinya. Cara lainnya lagi adalah dengan mempengaruhi pemerintah untuk menetapkan upah minimum regional serendah mungkin. Ada banyak jalan menuju roma.



Jadi alasan pertama adalah jumlah calon tenaga kerja (pengangguran) mempengaruhi upah tenaga kerja. Alasan kedua adalah uang konsumen lebih utama daripada upah pekerja. Kedua alasan ini dikenal dengan Hukum Besi Upah Ricardo.



Jadi, rendahnya upah mereka bukan karena semata-mata Kapitalisnya pelit alias serakah, tapi karena memang tujuan perusahaan adalah membuat produk dengan kualitas sebaik mungkin dan harga semurah mungkin agar konsumen membeli dan terus membeli. Tujuan perusahaan bukan mensejahterakan pekerjanya, tapi menarik konsumen sebanyak mungkin. Oleh karena itu, di antara berbagai biaya produksi, maka biaya tenaga kerja lah yang akan dikorbankan ---- upah harus seminimum mungkin.



Demikianlah nasib para pekerja dalam permainan zero sum game alias Sistem kapitalisme dewasa ini.





KENAPA ADA HUTANG NEGARA



Setelah di catatan sebelumnya kita secara khusus meninjau nasib Pekerja dalam permainan zero sum game (kapitalisme), sekarang kita meninjau nasib konsumen dalam permainan tersebut. Karena jenis konsumen ada dua, yaitu pegawai pemerintah dan pegawai swasta, maka di sini kita khususkan konsumen dari jenis pertama, yaitu pemerintah sebab pegawai swasta konsumen barang yang dibuatnya sendiri, sedangkan pemerintah adalah konsumen atas surplus barang yang dibuat pekerja swasta tersebut.



Dalam tulisan ini kita akan bahas, kenapa pendapatan pemerintah bisa berkurang. Bagaimana harga-harga produk barang dan jasa bisa mengeruk pendapatan pemerintah. Di sini juga kita akan mengenali apa itu harga, nilai pakai dan pendapatan negara, serta hubungan di antara ketiganya sehingga menyebabkan hutang negara.



Mari kita mulai.





Nilai Produk (sell-price, Harga Jual)



Harga sebuah produk baru, ditentukan oleh Kapitalisnya dengan mempertimbangkan biaya produksi dan keuntungan yang ingin diperoleh. Harga sebuah produk lama, ditentukan oleh pasar alias persaingan Kapitalis dalam memperebutkan konsumen.



Oleh karena itu, apabila produk lama sudah mencapai harga pasar-nya sehingga menghasilkan sedikit saja keuntungan bagi Kapitalisnya, maka produk lama ditarik atau dihentikan produksinya dan produk baru dibuat dengan harga baru pula.



Mari kita mulai dari produk baru. Bagaimana menentukan harga produk baru?



Secara umum, harga jual produk adalah selisih keuntungan yang ingin diraih dengan biaya produksinya.



Tapi ini bila kita asumsikan produk tersebut memiliki nilai pakai segitu.



Bila ternyata produk tersebut tidak memiliki nilai pakai, maka serendah apapun harga yang kita tetapkan atasnya tentu tidak akan terjual. Jadi, tingkat harga bergantung pada nilai pakainya.



Nilai Pakai (use-value)



Apa itu nilai pakai? Yaitu nilai yang sesuai kebutuhan konsumen. Makanan, itu bernilai pakai tinggi, sebab konsumen butuh makan untuk keberlangsungan hidupnya. Topi bernilai pakai lebih rendah daripada makanan. Jadi orang lebih banyak menghabiskan uangnya untuk membeli makanan daripada membeli topi.



Nilai pakai bisa berubah sesuai perubahan kebutuhan. Bila seorang konsumen sudah terpenuhi kebutuhannya akan makanan, maka ia akan memenuhi kebutuhan berikutnya. Menurut Psikolog Abraham Maslow, kebutuhan manusia dapat diklasifikasikan dalam lima kelompok yaitu secara sederhana: kebutuhan survive, kebutuhan rasa aman, kebutuhan berkomunitas, kebutuhan akan prestasi dan kebutuhan aktualisasi –bertualang.



Jadi bila kebutuhan akan makan dan minum (survive) telah terpenuhi, maka konsumen akan berusaha memenuhi kebutuhannya akan rumah tempat ia tidur dan bernaung tanpa gangguan (rasa aman), lalu kebutuhan untuk bersosialisasi dengan orang lain untuk membuang rasa terasing (komunitas), lalu kebutuhan untuk bisa dianggap eksis di komunitas tersebut (prestasi) dan terakhir adalah kebutuhan untuk mencoba kehidupan yang baru, komunitas baru dan capaian-capaian baru (bertualang).



Pendapatan    (Income)



Tapi sejatinya kebutuhan juga bergantung pada pendapatan. Bila pendapatan seseorang hanya cukup untuk survive, maka seorang konsumen hanya akan membeli makanan, bukan rumah. Ia hanya akan membutuhkan makanan, bukan rumah. Semakin tinggi pendapatan seseorang, semakin beragamlah kebutuhannya.



Oleh karena itu, bisa juga dikatakan, nilai pakai suatu produk ditentukan oleh tingkat pendapatan konsumen tersebut. Sebab semakin beragam kebutuhan konsumen, semakin besar peluang terbelinya produk tersebut.



Misal contoh di kabupaten tana tidung, tempat saya berada.



Karena harga tenaga kerja rendahan adalah 1.500.000 perbulan, maka nilai pakai makanan adalah segitu juga. Misal sehari tiga kali makan, maka dalam sebulan 90 kali makan. 1.500.000/90  = 16.6666,-. Dan memang di sini di kabupaten tana tidung, nasi lalap seharga itu. Jadi untuk bisa makan layak, uang 10 ribu tidak lagi cukup. Ini membuktikan bahwa Gaji pekerja hanya cukup untuk kebutuhan makannya.



Jika rata-rata penghasilan PNS dan pekerja berdasi lainnya adalah 3.000.000 per bulan, berarti ada tabungan sebesar 1.500.000 selain untuk makan.  Selama setahun, berarti 1.500.000 x 12 = 18.000.000. Berarti kontrakan rumah untuk tiga orang 18.000.000 pertahun. Kos-kosan perbulan di kabupaten tana tidung untuk satu orang, 1500000/3 = 500.000.



Itu lah  harga produk yang ditentukan oleh  nilai pakainya. Nilai pakai ditentukan oleh tingkat kebutuhan. Tingkat kebutuhan ditentukan oleh tingkat pendapatan----- harga ditentukan oleh tingkat pendapatan.



Dan oleh karena itu, benarlah bahwa harga produk yang dihasilkan oleh kaum Kapitalis/Kapitalis mencapai nilai tukar stabilnya/harga pasarnya setelah nilainya sebanding dengan nilai gaji atau upah pekerja.



Dengan demikian, produk Kapitalis secara keseluruhan yang biasa kita sebut PDB sejatinya adalah penggerus pendapatan negara.





Habisnya Pendapatan Negara



Andai kita tahu berapa banyak pendapatan (APBN + APBD) dan nilai produk terjual masyarakat (PDB) setiap tahun, maka kita bisa lihat laju tergerusnya pendapatan itu. Sehingga kita bisa menentukan, kapan kebangkrutan negara dan krisis ekonomi terjadi.



Misal, tahun 2010 APBN + APBD  = 1400 trilyun (kenaikan 1% dari tahun 2009), dan PDB = Rp.6.422,9 triliun (6 % dari tahun 2009).



Berarti, laju gerusnya  6 % pertahun dan pendapatan cuma mengalami kenaikan (1%) pertahun, berarti pemerintah aslinya minus 5 % pertahun ----- alias bangkrut total.



Lalu darimana Negara menutupi kebangkrutannya? Jawabnya adalah, dari hutang.



Hutang



Dan memang pemerintah sudah bangkrut sejak jaman soeharto, karena sekarang hutang negara masih ada 1000 trilyunan (kurang lebih sebesar pendapatannya).



Uang yang masuk kantung Kapitalis yang mana tercermin dari PDB di atas, hanyalah jumlah hutang dan jumlah uang hasil cetakan pemerintah yang berputar selama puluhan tahun setelah indonesia merdeka sampai sekarang (khususnya mulai jaman soeharto).



Tapi sejak 2006, pemerintah sudah tidak boleh mencetak uang. Hak mencetak uang diserahkan pada Bank Indonesia, yang mana gubernur Bank-nya dipilih oleh DPR RI dan DPR RI sendiri sejatinya diperjuangkan oleh para Kapitalis, dan itu berarti Bank Indonesia berada di pihak Kapitalis.



Dengan berpindahnya kuasa pencetakan uang dari negara ke Kapitalis, maka pemerintah tidak bisa lagi seenak udelnya mencetak uang untuk melayani nafsu konsumsinya. Maka satu-satunya sumber uang pemerintah adalah BUMN, Pajak dan Hutang.



Karena BUMN ditakdirkan selalu merugi dalam permainan zero sum ini (sebagaimana yang kita analisis pada catatan sebelumnya), maka pendapatan pemerintah yang paling signifikan adalah Pajak dan Hutang.


Selesai. 

No comments: