(Ketuhanan dikaji
dari sudut pandang marxisme)[1]
Oleh
: Ir. Soekarno
Salah satu
karaktertrek bangsa kita, corak, jiwa kita baik di zaman saf keempat, maupun
saf ketiga, saf kedua, saf kesatu, bahwa bangsa Indonesia selalu hidup di dalam
alam pemujaan daripada sesuatu hal yang kepada hal itu ia menaruhkan segenap
harapannya, kepercayaannya. Bangsa Indonesia pada umumnya, saya ulang-ulangi
pada umumnya, sebab sila-sila ini adalah grootste
gemene deler dan kleinste gemene veelvoud. Jadi jangan kira tiap-tiap
manusia Indonesia itu merasa ber-Ketuhanan, bahwa tiap-tiap orang Indonesia
berkobar-kobar rasa kebangsaannya, bahwa tiap-tiap orang Indonesia
menyala-nyala kalbunya dengan rasa kemanusiaan, tiap orang Indonesia
berkedaulatan rakyat, berkeadilan soaial. Tidak! Tetapi sebagai keseluruhan,
grootste gemene deler, kleinste gemene veelvoud, saya menemukan lima corak
ini. Ambillah kleinste gemene veelvoud, grootste gemene deler itulah. Het kan
niet anders daripada itu, kalau kita secara sosiologis sekarang ini meningkat
ke taraf masyarakat Indonesia di dalam pertumbuhan.
Saya dengan tegas
mengatakan, ini kupasan sosiologis yang akan saya berikan. Nanti saya akan
tambahkan bukan hal-hal yang sosiologis, tetapi kenyataan. Sosiologisnya
bagaimana? Het kan niet anders, tidak bisa lain. Daripada bangsa Indonesia ini
hidup di dalam alam Ketuhanan. Di sana ada tempat permohonannnya, tempat
kepercayaan.
Mari lebih dahulu
saya kupas secara sosiologis pertumbuh-an masyarakat manusia dari zaman dulu
sampai zaman sekarang.
Manusia zaman dulu
tidak sama dengan manusia zaman sekarang. Sekarang ada lampu listrik, ada
sarung batik, ada kursi, ada selop, ada kacamata, ada kapal udara. Dulu tidak.
Dulu manusia hidup di hutan-hutan, di gua-gua. Saya namakan itu fase pertama
dari kehidupan manusia di dunia ini. Fase daripada kehidupan manusia sebagai
manusia. Sebab, dan ini tidak saya bicarakan lebih lanjut, apakah manusia itu
berada di dunia itu sudah menjadi manusia, apakah manusia itu hasil daripada
evolusi.
Saya cuma menceriterakan
saja bahwa ada satu cabang ilmu pengetahuan bahwa manusia itu adalah hasil
daripada evolusi. Bahwa tidak manusia itu begitu dilahirkan sudah satu manusia
bernama Adam dan satu manusia bernama Eva, kemudian dari dua ini tumbuh manusiamanusia
lain, tetapi manusia itu adalah hasil daripada pertumbuhan. Mungkin juga dulu
berupa een cellige wezens, sel yang satu. Kemudian evolusi, menjadi
ongewervelde dieren. Evolusi, menjadi semacam ikan-ikan. Evolusi lagi, binatang
yang merayap tetapi mempunyai kaki. Evolusi lagi, menjadi binatang yang memanjat
di atas pohon. Lama-lama timbul yang dinamakan sayap. Lama-lama menjadi
binatang yang bisa lari yang meloncat seperti kera. Kera yang merangkak dengan
empat kaki menjadi berdiri di atas dua kaki. Evolusi lagi, menjadi manusia yang
seperti kita kenal sekarang ini. Mula-muia hidup di dalam hutan dan gua.
Evolusi-evolusi, menjadi manusia sekarang. Proses ini makan waktu beratus-ratus
ribu tahun. Di tanah air kita sendiri pada satu ketika terdapat salah satu
bukti daripada teori ini. Yaitu di dekat kota Ngawi di desa Trinil terdapat
tulang-tulang daripada makhluk yang demikian ini. Nyata makhluk manusia, tetapi
bentuk masih setengah gorila, tetapi ia sudah berjalan dengan dua kaki.
Setengah monyet tetapi sudah berrjalan dengan dua kaki. Maka karena itu
dinamakan pithecanthropus erectus. Pithecus itu artinya monyet, anthropus
artinya manusia. Tetapi ia berjalan dengan dua kaki, erectus. Pithecanthropus
erectus yang ditaksir menurut ilmu biologi, batu yang membungkus tulang-tulang
itu, - sebab tulang itu pada suatu hari mungkin terbenam, entah kena lahar,
entah kena banjir, entah kena apa -, katakanlah dalam lumpur. Lumpur ini makin
lama makin keras, makin membatu, sehingga akhirnya tulang ini terbungkus di
dalam batu. Nah, ilmu biologi, ilmu batu, menentukan umur batu ini 550 ribu
tahun. Jadi lebih daripada setengah j uta tahun. Dus tulang yang di dalam batu
ini asal dari zaman paling sedikit setengah juta tahun yang lalu.
Saya tinggalkan
pertikaian dalam hal ini, dan saya mulai dengan cerita bahwa pada satu zaman
manusia itu sudah sampai kepada tingkat berupa manusia. Bukan lagi
pithecanthropus, tetapi sudah anthropus yang penuh. Cuma hidupnya dalam gua.
Itu fase pertama hidup dalam gua, mencari penghidupan dengan memburu dan
mencari ikan. Memburunya bukan dengan senj ata Mauser atau Lee & Field.
Tidak! Tetapi zaman dahulu dengan batu dan sepotong kayu. Cara hidupnya ini
adalah penting sekali. Alam pikiran manusia di segala zaman itu dipengaruhi
oleh cara hidupnya, oleh cara ia mencari makan dan minum. Pegang ini, dan
jangan lupa akan stelling ini: cara manusia mencari makan dan minum, mencari
hidup, mem-pertahankan hidup, memelihara hidupnya, ini adalah penting sekali. Ia
mem-pengaruhi alam pikirannya. Tingkat yang pertama ini adalah tingkat
demikian. Hidup dalam gua-gua, di bawah pohon-pohon, mencari makan dengan
memburu dan mencari ikan.
Evolusi,
pertumbuhan. Datanglah lambat laun tingkat yang kedua. Jangan kira, tingkat
yang kedua ini datangnya sekonyongkonyong. Tidak. Ini adalah satu pertumbuhan
yang evolusioner. Tingkat yang kedua ialah bahwa si manusia yang tadinya hidup
dari pemburuan dan mencari ikan, mulai mengerti bahwa ternak bisa dipelihara.
Tadinya ia memburu, memburu kijang, sapi hutan, kambing hutan dan lain
sebagainya. Lambat laun timbul pengetahuan bahwa binatang-binatang itu bisa
ditangkap, diikat, dikurung, anaknya dipelihara, bisa ber-kembang biak.
Tingkat yang kedua ialah tingkat cara hidup manusia dengan terutama sekali, -
garis besarnya saja: grootste gemene deler dan kleinste gemene veelvoud -,
hidup dari peternakan, memelihara binatang.
Lambat laun, dengan
pemeliharaan binatang ini, setelah ia meninggalkan adat kebiasaannya memburu
dan kemudian menjadi peternak, ia agak lebih terikat kepada tempat, kepada
ternaknya. Ia harus memberi makan kepada ternak itu. Bukan saja memberi makan
kepada diri sendiri yang berupa daging, tapi ia juga harus memberi makan kepada
ternaknya.
Lama-lama ia tahu
bahwa makanan vang ia perlukan sendiri dan yang ia berikan kepada binatang
itu, bisa pula dicocoktanamkan, bisa ditanam. Dulu, kalau ia perlu
buah-buahan, ia pergi ambil di hutan. Ketemu jagung di hutan, ambil jagung.
Baginya biasa, tanaman begini ini buahnya bisa dimakan. Berjumpa padi di
rawa-rawa, tapi padi liar. Ia mengetahui, biasa baginya, bahwa buahnya dapat
dimakan dan dapat pula diberikan kepada ternaknya. tetapi lambat-laun ia
berpengalaman bahwa tanaman-pun bisa ditanam. Tumbuh-tumbuhan yang berupa
jagung, padi, gandum, buah-buahan bisa ditanam.
Dan terutama sekali,
saudara-saudara, ini adalah tingkat yang ketiga, cara hidup dari pertanian
terutama sekali. Di sini kita pantas memberi saluut kepada wanita. Wanitalah
makhluk pertama yang mengusahakan tanaman ini. Bukan karena menganggurnya,
tetapi merasa harus. Ia melihat bahwa biji jagung yang tidak termakan, tumbuh,
dan ia melihat kalau biji jagung ini ditanam lebih dalam, dan tanahnya
dikorek-korek menjadi lebih subur dan bisa berbuah. Demikian biji padi dan juga
tanam-tanaman yang lain. Salah satu jasa daripada wanita ialah: dialah yang
pertama kali memperoleh ilmu pertanian. Sebagaimana juga sebenarnya wanita yang
pertama kali mendapatkan ilmu menjahit, membikin pakaian. Wanita yang di
rumah, melihat anaknya kedinginan, ditutup badan anaknya itu dengan kulit
binatang. Lama-lama ia berpikir: kalau kulit binatang yang satu ini disambung
dengan kulit binatang yang lain, barangkali dengan tulang ikan yang tajam dan
serat atau akar, dan begitulah timbul ilmu menjahit oleh wanita. Susu ternak,
darah, - zaman dahulu itu orang masih makan darah, - harus dikumpulkan.
Wanitalah yang pertama-tama menemukan tempat untuk susu atau darah itu, dari
buah labu yang tua dikorek-korek. Atau untuk tempat biji-biji yang dikumpulkan
dari hutan-hutan. Wanitalah yang pertama kali mempunyai begrip wadah. Bahkan,
karena barangkali tidak ada buah labu, wanita yang menggali tanah liat,
dibentuknya dengan cara yang amat premitif, akhirnya menjadi semacam periuk.
Wanita vang pertama
kali membuat apa yang kita namakan rumah. Belurn rumah seperti sekarang,
meskipun rumah desapun. Sangat sederhana. Wanita yang ditinggalkan suaminya ke
hutan atau menggembala, tinggal dengan anaknya. Hujan. Kemudian timbul pikiran
menyusun daun-daun pisang atau lainnya untuk bernaung di bawahnya. Begrip
pertama daripada atap. Jadi wanita adalah makhluk yang pertama yang
mendapat-kan apa yang dinamakan civilization, peradaban.
Wanita yang membuat
periuk, wanita yang menjahit kulit, wanita yang menganyam serat menjadi tenunan
kasar. Wanita yang bercocok tanam mula-mula.
Ini tingkat yang
ketiga, cocok tanam. Si laki lama-lama melihat bahwa jagung, padi bisa
ditanam. Lama-lama si laki pun meninggalkan cara hidup beternak, cape selalu
mencari tempat penggembalaan. Lantas ia menetap juga. Perkataan menetap. Dulu
tatkala ia masih hidup memburu, tidak menetap, selalu berpindahpindah, nomade.
Tatkala ia beternakpun, tingkat yang kedua, tidak menetap, berpindah-pindah,
mencari makanan untuk ternaknya. Nomade. Tetapi ketika pertanian diterima oleh
wanita dan juga oleh lelaki, dus manusia cara hidupnya terutama sekali dari pertanian,
manusia lantas meninggalkan cara hidup nomadisch menjadi orang-orang yang
menetap. Tingkat keempat, juga saudara harus membayangkan evolusi. Pertanian,
lama-lama timbul pikiran: tanah ini kalau dicokel-cokel dengan suatu alat,
lebih subur. Lama-lama timbul pikiran akan semacam bajak. Timbul pikiran untuk
memotong. Timbul pikiran untuk membuat alat. Lama-lama timbul satu kelas: aku
tidak ikut bercocok tanam; aku membuat alat, aku membuat bajak, aku membuat
cangkul, aku membuat semacam linggis dari kayu. Timbul juga satu pikiran, bahwa
untuk mengangkut barang dari satu ke lain tempat harus ada alat yang bisa
mengelinding. Lama-lama menjadi begrip gerobak. Gerobak yang sederhana. Wanita
yang bikin periuk, timbul pikiran: bikin periuk saja, sehari-hari bikin periuk.
Wanita yang bikin tenunan, timbul pikiran mengumpul-kan
serat-serat untuk menenun. Lantas timbul satu kelas yang sehari-hari
mengumpulkan serat-serat untuk menenun. Kelas penenun. Demikianlah seterusnya
timbul golongan-golongan manusia yang cara hidupnya membuat alat yang kemudian
ditukarkan kepada orang yang bercocok tanam. Aku membuat periuk, aku perlu
makan; ambillah periukku dan berilah aku jagungmu atau gandummu, atau padimu.
Begrip ruilhandel, tukar-menukar timbul.
Di dalam tingkat
keempat ini, akhirnya tumbuh kelas yang terutama sekali hidup daripada apa yang
dinamakan nijverheid, kerajinan. Membuat alat, membuat gerobak, membuat pacul,
membuat bajak, membuat pedang dan lain-lain. Hidup hanya membuat alat, yang
hasilnya ditukarkan dengan hasil pertanian. Ruilhandel.
Evolusi lagi.
Akhirnya meningkat menjadi zaman yang sekarang ini, yang dididik di dalam alam
yang dinamakan alam industrialisme. Pertumbuhan daripada nijverheid ini,
membuat produksi, lantas timbul cara mendidik orang lain dengan perburuhan,
dengan terdapatnya mesin uap dan lain-lain. Industrial-isme. Itu adalah sifat
yang kita hidup sekarang ini atau kita mengalami, melihat sekarang ini terutama
sekali terjadi di dunia barat, di Amerika dan di Eropa. Saya ulangi, dus
manusia ini pertumbuhannya melalui lima tingkat, sesudah ia berbentuk dan
berupa manusia. Saya tidak bicarakan hal pithecanthropus. Memburu dan mencari
ikan, satu. Berternak, dua. Cocok tanam, tiga. Kerajinan, empat.
Industrialisme, lima. Sekali lagi saya ulangi, ini adalah de grootste gemene
deler dan de kleinste gemene veelvoud, corak umum daripada masyarakat manusia.
Tadi saya
menandaskan kepada saudara-saudara, cara hidup manusia mempengaruhi alam
pikirannya. Juga mempengaruhi alam persembahannya, kalau boleh saya pakai perkataan
ini. Tatkala ia masih hidup di dalam hutan, di dalam gua gua, apa yang ia
sembah? Pada waktu malam gelap gulita di dalam hutan, ia hidup di dalam alam
yang gelap, penuh dengan ketakutan. Ia melihat bulan dan bintang-bintang. Ia
sembah bulan dan bintang-bintang itu. Pada waktu hujan lebat, ia takut kepada
petir, laksana petir itu menyambarnya. Ia menyembah pada petir. Ia menyembah
kepada sungai, yang memberi ikan kepadanyaa la menyembah kepada pohon yang
rindang yang ia bisa bernaung di bawahnya. Ia menyembah kepada awan yang
berarak. Ia menyembah kepada matahari yang memberi cahaya cemerlang pada siang
hari. Ia menyembah kepada barang-barang yang demikian itu. Itulah Tuhannya pada
waktu itu. Berupa gunung yang mengeluarkan api, berupa bulan, berupa bintang,
berupa matahari. Ia punya Tuhan. Saya tidak mengatakan itu Tuhan yang tepat,
tetapi ia punya Tuhan pada waktu itu. Dan ini zaman tidak sebentar, lama
sekali. Tuhannya yang berupa guntur dan petir, ia materialisir, ia materikan.
Ia mendengar guntur yang menggeludug. Apa itu? O, itu Thor, yang turun dari
satu mega ke lain mega. Tiap-tiap kaki mengenai satu mega, keluar suara. Kalau
ia mendengar guntur menggeledek itu: Thor sedang berjalan. Thor sedang naik
kuda, yang berlompat dari satu awan ke lain awan. la menyembah sungai yang memberi makan
kepadanya. Sebagai di alam India yang dahulu, orang masih mengagungkan sungai.
Sungai Gangga misalnya.
Sungai Gangga
misalnya, bengawan Silugangga kata orang Jawa. Sungai Gangga itu asalnya dari
zaman baheula.
Yang menyembah
sungai, menyembah petir, menyembah batu yang di dalam Bagawad Gita
diceriterakan, pada hakekat-nya yang harus kita kenal dan kita hormati bukan
batunya itu, tetapi dia punya jiwa yang menyembah. Di dalam Bagawad Gita Kresna
berkata kepada Arjuna: Kau kenal aku. Aku is Ik. Aku adalah hidup, aku adalah
angin. Aku tiada mula tiada akhir, aku adalah di dalam geloranya air samudra
yang membanting di pantai. Itu juga disembah.
Sang manusia zaman
dulu, fase pertama itu, kalau samudra sedang menggelora, membanting di pantai,
menekukkan lutut-nya menyembah sebagaimana orang Jawa pantai selatan dulu,
kalau mendengarkan Iautan kidul sedang menggelora, berkata: lampor, lampor.
Manusia Jawa zaman dahulu, menyembah Iautan Selatan.
Saya kembali kepada
Bagawad Gita, Bagawad Gita berkata: aku adalah di dalam geloranya air laut yang
membanting di pantai, aku adalah di dalam sepoinya angin yang sedang meniup.
Aku adalah di dalam batu yang engkau sembah. Aku ada di dalam awan yang
berarak. Aku ada di dalam api, aku di dalam panasnya api. Aku ada di dalam
bulan, aku ada di dalam sinarnya bulan. Aku di dalam senyumnya sang gadis yang
cantik. Aku yang tiada mula tiada akhir. Bagawad Gita menegaskan bahwa jiwa
manusia sejak dari zaman dulu itu ada yang disembah. Tapi yang disembah itulah
yang berubah-ubah. Zat yang ia sembah, yang ia tidak kenal, di dalam zaman fase
pertama berupa pohon, berupa petir, berupa air laut, berupa sungai sampai
dimaterialisir, Thor, dewa daripada donder. Notabene, saudara-saudara, kita
punya perkataan guntur. Nama Guntur itu universil, saudara-saudara. Di daerah
Skandinavia dewa langit dinamakan Thor, Geluduk, guruh, petir itu, orang
Skandinavia zaman dulu mengatakan Kung Thor, King Thor, raja Thor. Perkataan
Kung Thor itu sama dengan kita punya perkataan guntur. Ini adalah oleh karena
pada hakekatnya manusia di dunia itu adalah satu, mandkind is one. Manusia itu
satu sebetulnya. Yang berbeda-beda itu warna kulitnya. The same under the skin
kata orang Amerika. Di bawah kulit sama saja. Kalimat itu pernah diucapkan
pula, disitir oleh Presiden Eisenhouwer.
Fase pertama itu,
Tuhan manusia. Saya ulangi, bukan Tuhan yang sebenarnya, yang tepat. Dia punya
begrip itu manusia mengira Tuhan guntur, Tuhan air sungai, Tuhan angin. Contoh
dari restan-restan kepercayaan ini tadi saya sebutkan. Di India orang masih
menyembah sungai Gangga. Di Jawa lampor. Zaman dulu orang Yogyakarta kalau ada
angin dari selatan meniup: lampor, lampor, lampor. Bahkan di kota Yogyakarta
orang pasang lentera di luar rumah.
Fase kedua, manusia
hidup dari peternakan. Pindah bentuknya ia punya Tuhan, terutama sekali berupa
binatang. Oleh karena binatanglah yang memberi susu, daging, kulit kepadanya,
oleh karena hidupnya sebagian besar tergantung kepada binatang. Ia punya Tuhan
lantas dirupakan binatang. Ia malahan mengatakan kepada orang yang masih
menyembah batu: masak batu disembah, pohon disembah, sungai disembah. Ini Tuhan
yang betul, berupa binatang. Bangsa Mesir zaman dulu menyembah binatang, sapi
yang bernama Apis, atau burung yang bernama Osiris. Bahkan di India sampai
sekarang masih ada restan penyembahan binatang. Di daerah yang masih memegang
adat kuno, jika saudara mengganggu seekor sapi, saudara dibunuh. Sapi adalah
binatang keramat. Begitu keramatnya sampai tahi sapi dikeramatkan. Bukan saja
sapi boleh masuk toko, masuk di mana-mana. Orang India yang masih kolot, sakit
misalnya, minta tahi sapi yang masih hangat dicampur air, dan airnya
dipercikkan kepada orang yang sakit. Wanita India yang masih kolot, tiap pagi
sebelum membuat api untuk membuat roti bakar, sekeliling dapurnya disiram
dengan air tahi sapi. Yah, oleh karena dia anggap ini
keramat. Pagar menolak segala bahaya. Ini adalah restan dari zaman manusia
yang masih hidup terutama sekali di alam peternakan.
Tingkat ketiga, manusia hidup dari pertanian. Pindah, saudara-saudara, dia
punya begrip daripada Tuhan itu, kepada sesuatu zat yang menguasai pertanian.
Timbul Dewi Laksmi, timbul Dewi Sri, timbul Saripohaci di tanah Pasundan.
Dewi-dewi yang memberkati pertanian. Sebab pertanian adalah satu onzekere
factor, tergantung dari iklim, tergantung kepada kering atau hujan, tergantung
dari banyak hal. Kalau orang tani sudah menanam tanamannya, tidak lain ia
lantas memohon. Ini adalah salah satu corak dari tiap bangsa agraris. Tentu ia
hidup di dalam alam kata kanlah keagamaan, ketuhanan, religieus, tiap-tiap
bangsa agraris, oleh karena segala sesuatu tergantung kepada onzekere factoren,
yang mengenai iklim. Sesudah ditanam padinya, kalau untung, bisa memiliki
hasilnya. Kalau kebanyakan hujan, mati tanamannya. Oleh karena itu ia memohon.
Nah, Tuhannya itu lantas dibentukkan sesuatu yang berhubungan dengan pertanian,
Dewi Sri, Dewi Laksmi, Saripohaci, godinnen van de landbouw. Malahan
dibentukkan manusia. Tetapi di dalam alam pertama, tidak selalu dibentuk-kan
manusia, pohon ya pohon, kayu ya kayu yang disembah. Sungai ya sungai yang
disembah, belum dibentukkan manusia. Di dalam alam kedua, peternakan juga belum
dibentukkan manusia. Sapi ya sapi. Buaya ya buaya. Buaya disembah di alam
Mesir yang dulu. Coba lihat lukisan-lukisan Mesir dulu.
Pelanduk ya pelanduk, ular ya ular. Tetapi di dalam alam ketiga, bentuk
"Tuhan", yang manusia sembah, dibentukkan manusia. Dalam ilmu
pengetahuan dinamakan anthropromorph. Anthropus adalah manusia, morph adalah
bentuk. Berbentuk manusia. Berbentuk Dewi Laksmi, manis. Coba lihat patung Sri,
Dewi Laksmi, manis. Di dalam pikiran, dewi-dewi ini, manis. Anthropromorph.
Demikianlah perpindahan begrip manusia daripada Tuhannya. Batu pindah kepada
sapi, sapi pindah kepada anthropus, dewi.
Di dalam alam keempat, yang orang buat alat, siapa yang menjadi penentu
daripada alam pembuatan alam itu. Penentunya ialah terutama sekali akal. Akal,
akallah yang melahirkan sabit, bajak, jarum. Uitvindingen yang waktu itu masih
sangat primitif, tapi toh uitvinding daripada akal.
Tuhan manusia di dalam taraf keempat ini, adalah terutama bcrsarang di
sini, di akal. Yang tadinya berupa batu pindah berupa sapi, berupa dewi, di
dalam alam keempat itu menjadi gaib. Gaib artinya tidak bisa dilihat, tidak
bisa diraba. Tadinya masih bisa diraba, batu bisa diraba, sungai bisa, sapi
bisa. Dewi bisa diraba. Malahan di zaman Yunani, diadakan kontes, tiap tahun,
siapa yang dijadikan dewi. Dan si manusia itu yang disembah. Seorang gadis
cantik didewikan, diadakan satu pemilihan di kalangan alimulama zaman itu, ini
dewi. Salah satu contoh yang sampai sekarang masih ada yaitu patung Aphrodite
buatan Praxiteles. Praxiteles seorang pembuat patung yang pandai sekali,
membuat patung wanita Aphrodite, Dewi Asmara yang sampai sekarang kalau orang
melihat patungnya itu, bukan main. Tetapi ia membuat patung itu dari apa,
modelnya apa, apakah ciptaan? Tidak. Betul-betulan. Pada satu hari di
tempatnya itu ada pemilihan dewi Asmara, seorang wanita yang cantik,
dikeramatkan menjadi dewi Asmara. Dan ahli seniman ini membuat patung,
modelnya, dus, benar-benar wanita itu, materi, zuiver mens, dan ia namakan
patung ini Aphrodite.
Alam keempat gaib. Tuhan dimasukkan di dalam alam gaib. Tuhan di mana?
Tidak kelihatan tidak bisa mata melihatnya. Tidak bisa diraba, tidak bisa
dilihat, gaib. Oleh karena akallah menjadi penentu daripada hidup manusia.
Fase yang terakhir, industrialisme. Di situ malahan lebih daripada
digaibkan. Karena di situ manusia merasa dirinya atau sebagian daripada manusia
merasa dirinya Tuhan. Di dalam alam industrialisme itu apa yang tidak bisa
dibikin oleh manusia. Mau petir, aku bisa bikin petir. Aku, aku, aku bisa bikin
petir. Menara yang tinggi, aku isi electrisiteit sekian milyun volt, aku buka
dia punya stroom, petir. Aku bisa membuat
petir.
Mau apa? Mau suara dikirim ke Amerika? Aku bisa mem-buatnya. Mau hujan? Sekarang ada pesawat-pesawat pembikin
hujan. Mau outer space, keluar daripada alam ini? Aku bisa, aku akan menguasai
bulan. Aku bisa, aku kuasa! Tuhan, persetan, tidak ada Tuhan itu. Lucunya di
situ! Sebagian daripada manusia berkata: Tuhan, tidak ada. Saudara-saudara bisa
mengikuti analisa ini? Batu atau pohon, pindah binatang, pindah dewi atau dewa,
pindah ada Tuhan tetapi tidak bisa dilihat, gaib.
Nomor lima, sebagian daripada manusia, de heersers van de industrie, de
geleerden, banyak yang berkata: tidak ada Tuhan. Hilang sama sekali begrip itu.
Nah, ini bagaimana? Saya menyelami masyarakat Indonesia, dan pada garis
besarnya, grootste gemene deler dan kleinste gemene veelvoud, saya melihat,
bahwa bangsa Indonesia percaya pada adanya satu zat yang baik, yaitu Tuhan. Ada
juga orang yang tidak percaya kepada Tuhan tetapi sebagai grootste gemene
deler, kleinste gemene veelvoud, bangsa Indonesia percaya kepada Tuhan. Dan
tadi saya berkata het kan niet anders, oleh karena masyarakat Indonesia pada
dewasa ini sampai kepada penggalianpenggalian ke dalam, terutama sekali masih
hidup di dalam alam perpindahan keempat, tiga keempat, dan empat kelima,
sebagian besar masih agraris, dan tiap-tiap bangsa yang agraris, mempunyai
kepercayaan. Sebagian hidup di dalam alam kerajinan. Tadipun saya terangkan,
rakyat yang hidup di dalam alam nijverheid, pada garis besarnya percaya kepada
Tuhan, bahkan Tuhan yang gaib. Sebagian kecil yang telah hidup di dalam alam
industrialisme itu. Tetapi itu bukan lagi corak daripada keseluruhan tingkat
masyarakat kita. Tingkat masyarakat kita pada saat sekarang ini, terutama
sekali ialah sebagian agraris, sebagian nijverheid, dan baru kita melangkah
sedikit ke alam industrialisme.
Mengingat ini semua, het kan niet anders of kita ini harus satu rakyat yang
mempunyai kepercayaan. Dus, kalau aku memakai Ketuhanan
sebagai satu pengikat keseluruhan, tentu bisa diterima. Sebaliknya kalau saya
tidak memakai Ketuhanan ini sebagai satu alat pengikat salah satu elemen,
daripada meja statis dan Leitstar dinamis itu, maka saya akan menghilangkan
atau membuang satu elemen yang bindend, bahkan masuk betul-betul di dalam
jiwanya bangsa Indonesia. Kalau saudara tanya kepada saya persoonlijk, apakah
Bung Karno percaya kepada Tuhan. Ya, saya ini percaya dan tadi saya sudah
berkata saya ini orang Islam. Bahkan saya betul-betul percaya kepada agama
Islam. Saya percaya dengan adanya Tuhan. Lho la kok manusia itu dulu menyembah
patung, sapi, dewa atau dewi, kemudian gaib. Apa Tuhan itu berubahubah? Tidak!
Bukan Tuhannya yang berubah-ubah. Zat ini tidak berubah-ubah, tetapi yang
berubah-ubah ialah begrip manusia. Begrip manusia itu yang berubah-ubah,
tergantung kepada fase hidupnya, cara hidupnya. Tuhannya tetap ada, cuma dikira
oleh manusia zaman itu, Tuhan itu beledek, atau air laut yang bergelora. Atau suara burung di dalam malam gelap gelita, itu
dikira suara Tuhan. Demikian pula orang di dalam alam peternakan mengira bahwa
Tuhan berupa sapi. Atau orang di dalam alam pertanian mengira Tuhan berupa Dewi
Sri. Di dalam alam nijverheid, orang memberikan mahligai kepada akal, ya Tuhan
ada, tetapi tidak bisa bilang, di mana. Dan orang yang sudah bisa memecahkan
atom, ada yang berkata: nonsens Tuhan, aku bisa membuat atom, aku bisa
menguasai langit. Pengiraan manusia yang berubah, Tuhannya tetap.
Aku pernah memberi satu gambaran seekor gajah di dalam kuliah saya di
Candradimuka. Ada lima orang, kelima-limanya buta dan
belum pernah melihat gajah, karena butanya. Mereka datang pada seseorang yang
mempunyai gajah. He, kami lima orang kepingin tahu gajah. Boleh. Gajahnya
besar, dikeluarkan dari kandangnya. Nah ini gajah yang berdiri di muka saudarasaudara.
Coba saudara A, kalau mau tahu gajah, peganglah gajah itu. Si A maju ke muka,
dipegangnya dan mendapat belalai gajah. Ditanya oleh yang punya gajah: Bung,
bagaimana bentuk gajah? Jawabnya, gajah itu seperti ular. Padahal dia hanya
mendapat belalai. B maju ke muka dan ia meraba-raba mendapat kaki gajah. Gajah
itu kok begini, empuk, tetapi seperti pohon kelapa. C maju ke muka, orangnya
tinggi, pegang-pegang, dapat telinga gajah. Ya, gajah itu seperti daun keladi,
pak. Keempat, seorang agak kerdil, pegang-pegang, dapat ekor gajah. Seperti
pecut, cemeti. Nomor lima yang paling kerdil, maju ke muka, di bawahnya gajah.
Tidak dapat pegang apa-apa. Mana gajahnya? Itu gajahnya, di atas Bung itu
gajah. O, gajah itu seperti hawa.
Begrip manusia kepada Tuhan juga demikian. Tadi seorang mengira gajah
seperti belalai, satu mengira tidak ada. Tetapi gajah, ada. Cuma begrip manusia
yang berbeda-beda.
Nah, saudara-saudara, demikian pula kalau saudara tanya kepada saya, Tuhan
bagi saya ada. Malahan bagi saya Tuhan adalah suatu reeel iets. Di dalam
tiap-tiap saya sembahyang, saya bicara kepada Tuhan, dan saya sering minta
apa-apa kepada Tuhan dan Tuhan kasih kepada saya. Dan itu memperkuat
kepercayaan saya, bahwa Tuhan itu ada. Ini cerita persoonlijk: saya sering
mendapat peringatan dari Tuhan berupa impian. Kalau saya mimpi, dan mimpi itu
saya rasa, ini mimpi-mimpi betul, biasanya keesokan harinya terjadi. Bagi lain
orang, lain, barangkali terjadinya itu lain bulan dan sebagainya. Bagi saya,
praktik saya, kalau saya sudah mimpi dan saya merasa betul ini bukan
impi-impian, kontan keesokan harinya terjadi. Hal-hal yang semacam itu memberi
keyakinan kepada saya bahwa Tuhan ada.
Bagaimana seluruh rakyat Indonesia pada garis besarnya? Kalau pada garis
besarnya, telah saya gogo, saya selami, sudah saya lihat secara historis, sudah
saya lihat dari sejarah keagamaan, pada garis besarnya rakyat Indonesia ini
percaya kepada Tuhan. Bahkan Tuhan yang sebagai yang kita kenal di dalam agama,
agama kita. Dan formulering Tuhan Yang Maha Esa bisa diterima oleh semua
golongan agama di Indonesia ini. Kalau kita mengecualikan elemen agama ini,
kita membuang salah satu elemen yang bisa mempersatukan batin bangsa Indonesia
dengan cara yang semesra-mesranya. Kalau kita tidak memasukkan sila ini, kita
kehilangan salah satu Leitstar yang utama, sebab kepercayaan kita kepada Tuhan
ini bahkan itulah yang menjadi Leitstar kita yang utama, untuk menjadi satu
bangsa yang mengejar kebajikan, satu bangsa yang mengejar kebaikan. Bukan saja meja statis, tetapi juga Leitstar dinamis menuntut kepada kita
supaya elemen Ketuhanan ini dimasuk-kan. Dan itulah sebabnya maka di dalam
Pancasila elemen Ketuhanan ini dimasukkan dengan nyata dan tegas.
[1]
Disadur dari
pidato soekarno berjudul “PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA II”, yang disampaikan dalam
Kursus Presiden Soekarno Tentang Pancasila di Istana Negara, Tanggal 16 Juni
1958. Sumber pidato: Soekarno Foundation.
No comments:
Post a Comment