Wednesday, July 08, 2015

HUBUNGAN ANTARA WAKTU PERLU DENGAN WAKTU STANDAR




Tulisan ini dibuat untuk mencari hubungan antara Waktu Perlu dengan Waktu Standar. Waktu Standar adalah waktu yang biasa digunakan dalam perhitungan Rencana Anggaran Biaya (RAB) suatu pekerjaan konstruksi. 

Sementara di dalam bukunya yang terkenal, Das Kapital Buku pertama: Proses Produksi Kapital, Karl Marx membahas nilai tambah (N) dan komponennya, nilai lebih (N1) dan nilai perlu (N2). Nilai tambah[1], merupakan jumlah dari nilai perlu dan nilai lebih.

N = N1 + N2 = Output - Input

Nilai tambah juga dapat dinyatakan sebagai nilai yang dihasilkan oleh sejumlah tenaga kerja (J) selama waktu kerjanya (W) menurut upah per waktu.

N=W x Hs x J

Nilai perlu (N1) adalah nilai yang ditambahkan ke dalam produk oleh sejumlah tenaga kerja selama waktu perlu (W1) menurut upah per waktu (Hs). Besar (Magnitude) nilai ini sama dengan upah (U) yang diterima oleh tenaga kerja selama waktu kerja secara keseluruhan (W).

N1 = J x W1 x Hs = U

Sedangkan nilai lebih (N2) adalah nilai yang ditambahkan ke dalam produk oleh sejumlah tenaga kerja selama waktu lebih (W2). Besar (magnitude) nilai lebih adalah selisih nilai tambah dengan nilai perlu.

N2 = J x W2 x Hs = N - N1

Kemudian, jika persamaan upah disubsitusikan ke dalam persamaan nilai perlu, maka waktu perlu dapat ditentukan.

W1 = U/(J x Hs)

Upah (U) juga dapat ditentukan berdasarkan waktu perlu.

U = J x Hs x W1

Di sisi lain, jumlah waktu perlu (W1) dan waktu lebih (W2) adalah waktu keseluruhan (W).

W = W1 + W2

sehingga waktu lebih (W2) adalah:

W2 = W-W1

Tingkat eksploitasi[2] (T), dirumuskan Karl Marx sebagai perbandingan antara waktu lebih (W1) dengan waktu perlu (W2). Perbandingan yang sama juga dapat dari nilai lebih dan nilai perlu.

T = W2/W1 = Nilai lebih/Nilai Perlu

Dua permisalan dapat dibuat untuk memberi contoh perhitungan tingkat eksploitasi ini. Permisalan yang pertama adalah kasus yang terjadi di dalam Industri Pengolahan (manufaktur biasa). Sedangkan Permisalan yang kedua, adalah kasus yang terjadi di dalam Industri Jasa Konstruksi (manufaktur organik[3]). Tapi di dalam tulisan ini, hanya permisalan yang kedua yang akan dibahas.

Menurut Analisa Harga Satuan Pekerjaan yang ditetapkan oleh Pemerintah, Harga Satuan Pekerjaan (HSP) ditentukan oleh Biaya langsung (BL) dan biaya tidak langsung (BT) yang dibutuhkan untuk membuat satu satuan pekerjaan tertentu.

HSP = BL + BT

Biaya langsung terdiri dari biaya bahan (Bb) dan biaya tenaga kerja (Bp), sedangkan biaya tidak langsung terdiri dari biaya umum (Over head) dan keuntungan (profit) yang wajar. Total Biaya tidak langsung ditetapkan maksimal sebesar 15% dari total biaya langsung.

HSP = BL + BT

HSP = Bb + Bp + 15% x (Bb+ Bp) =1.15 (Bb+Bp)

Untuk menentukan tingkat eksploitasi, hanya komponen biaya tenaga kerja (Bp) yang akan dibahas di sini. Biaya tenaga kerja dihitung berdasarkan jumlah pekerjaan (V) dan harga per potong (Hu).

Bp = Hu x V

Harga per potong (Hu) ditentukan berdasarkan koefisien tenaga kerja (K) dan Hs.

Hu = K x Hs

Bp = K x Hs x V

Apabila Upah yang diterima (U) di dalam AHSP sama dengan Biaya tenaga kerja (Bp), maka hubungan antara Waktu perlu (W1) dengan Koefisien tenaga kerja dapat dirumuskan.

Bp = U

(K x Hs x V) = (Hs x J x W1)

K = J x W1/V

W1 = V/J x K

Selanjutnya menurut AHSP, koefisien tenaga kerja (K) ditetapkan melalui suatu penelitian empiris berdasarkan metode time and motion study.

Di dalam metode ini, koefisien tenaga kerja merupakan nilai yang didapatkan dari penelitian terhadap produktivitas tenaga kerja (P) dalam suatu waktu tertentu (W) dan jumlah pekerjaan tertentu pula (V).

P = V/W

Selain produktivitas tenaga kerja, pemerintah juga meneliti waktu standar (Ws). Waktu standar adalah waktu yang benar-benar dibutuhkan untuk menghasilkan sejumlah pekerjaan[4]. Dengan demikian, waktu standar berbeda dengan waktu kerja (W). Perbandingan antara waktu standar dengan waktu kerja, disebut dengan Time Factor (TF).

Waktu standar (Ws) adalah waktu sebenarnya yang diperlukan untuk menghasilkan volume pekerjaan yang dibayar (V). Di sini lah indikasi eksploitasi terjadi. Sebab, waktu kerja (W) dapat bernilai lebih besar dari waktu standar tersebut. Oleh karena itu, time Factor tampil sebagai tingkat eksploitasi yang dimaksudkan Karl Marx. Hubungannya dengan waktu perlu (W1) perlu kemudian dapat ditentukan.

TF = Ws/W

Sementara itu, koefisien tenaga kerja (K) dirumuskan menurut produktivitas dan Time Factor itu.

K = J/(P x TF)

K = (J x W) / (V x TF)

Substitusi persamaan ini ke persamaan sebelumnya untuk mendapatkan persamaan yang menunjukkan hubungan antara waktu perlu dengan time factor.

W1 = V/J x K

W1 = V/J x (J x W) / (V x TF)

W1 = W /TF

W1/W = TF

W1/W = Ws/W

W1=Ws

W2 = W-Ws

Persamaan yang terakhir ini menunjukkan bahwa Waktu Standar, yang dimaksudkan oleh Pemerintah di dalam AHSP adalah waktu perlu yang dimaksudkan oleh Karl Marx. Semakin kecil nilai Ws, maka semakin kecil pula Waktu perlu sehingga semakin besarlah Nilai lebih yang diperoleh Pengusaha.

Sebagai penutup. Tingkat eksploitasi, oleh karena itu, dapat diperoleh dari rumus berikut ini.

Tingkat Eksploitasi = W2/Ws = W-Ws/Ws = W/Ws -1 = 1/TF - 1






[1] Sebagai perbandingan, Pemerintah (Badan Pusat Statistik Indonesia) mendefinisikan nilai tambah sebagai output dikurangi input. Input atau biaya antara adalah biaya yang dikeluarkan dalam proses produksi yang terdiri dari biaya Bahan Baku, Bahan bakar, tenaga listrik dan gas, Sewa gedung, mesin dan alat-alat dan Jasa non industri (Jasa yang tidak berkaitan dengan proses produksi). Output adalah nilai keluaran yang dihasilkan dari proses kegiatan industri yang terdiri dari Barang –barang yang dihasilkan dari proses produksi, Tenaga listrik yang dijual, Jasa industri yang diterima dari pihak lain, Selisih nilai stok barang setengah jadi akhir tahun dikurangi dengan stok awal tahun. Penerimaan lain dari jasa non industri. Definisi ini lebih umum (dan lebih bingung) daripada definisi yang digunakan oleh Karl Marx, yang membatasi dirinya pada output berupa barang –barang yang dihasilkan dari proses produksi. Apa perlunya membahas nilai tambah dari jasa penjualan tenaga listrik yang merupakan sampingan pengusaha, jika kita ingin mengetahui nilai tambah dalam sebuah barang yang diproduksi oleh pengusaha yang sama? coba lihat: http://www.bps.go.id/Subjek/view/id/9.

[2] Di samping menjelaskan perihal komponen dasar nilai tambah (nilai perlu, nilai lebih, waktu perlu, waktu lebih) dari sisi ekonomi, Karl Marx juga menjelaskan sisi sosialnya. Berdasarkan persamaan-persamaan di atas (dan praktik real-nya), pengusaha hanya membayar si pekerja berdasarkan nilai perlunya. Sementara nilai selebihnya (nilai lebih), dikantongi sendiri oleh pengusaha. Dengan kata lain, pengusaha "memakan keringat" tenaga kerjanya. Apabila sistem "makan keringat" ini dipraktekkan secara luas di masyarakat, maka terdapat banyak sekali tenaga kerja yang dirugikan alias dieksploitasi.

[3] Karl Marx mendefinisikan manufaktur organik, sebagai pekerjaan-pekerjaan yang berbeda dan dikerjakan oleh pekerja-pekerja yang berbeda pula, untuk menghasilkan sejumlah produk yang sama dalam waktu yang sama. Lih. Das Kapital, Buku I :Proses Produksi. 

[4] Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 11/PRT/M/2013 tentang Pedoman Analisis Harga Satuan Pekerjaan Bidang Pekerjaan Umum. Lampiran I Hal. 366.

No comments: