Hari ini, tanggal 5 Bulan
Oktober tahun 2012, adalah hari ulang tahun Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia (ABRI). Upacara akan diselenggarakan di lapangan terbuka di Tideng
Pale. Beberapa hari ini tampak lah sebagian pegawai negeri sipil di Kabupaten
Tana Tidung sibuk membantu para prajurit mempersiapkan Lapangan Upacara dan
sebagian lainnya membenahi halaman kantor masing-masing. Pejabat tinggi pun
ikut turun tangan, sebab terdengar kabar bahwa empat atau lima orang jenderal
akan hadir saat upacara tersebut. Suasana ramai dimana-mana, loreng
dimana-mana.
Empat Jenderal, tentulah menjadi
penting. Tapi puluhan prajurit berbaju loreng itu, apalah artinya?
Mereka hanyalah pekerja biasa, sama seperti buruh. Hanya saja, mereka tidak punya serikat prajurit dan tidak ada demokrasi. Mereka punya orang tua, adik dan kekasih sebagai sandaran hati mereka. Tapi hidup mereka sudah dikontrak oleh negara. Negara tetap nomor pertama. Tugas yang diperintahkan kepada mereka harus diutamakan.
Dirgahayu Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
!
Mereka hanyalah pekerja biasa, sama seperti buruh. Hanya saja, mereka tidak punya serikat prajurit dan tidak ada demokrasi. Mereka punya orang tua, adik dan kekasih sebagai sandaran hati mereka. Tapi hidup mereka sudah dikontrak oleh negara. Negara tetap nomor pertama. Tugas yang diperintahkan kepada mereka harus diutamakan.
Masa muda akan mereka habiskan di
medan tempur. Masa paruh baya mereka habiskan di desa-desa. Masa tua mereka
terlunta-lunta. Tapi apabila mereka berasal dari Pendidikan Tinggi, atau pandai
mencari “sampingan” dan pandai “mendekat” pada atasan, maka mereka bisa
mengalami peningkatan pangkat dan kedudukan yang berbeda. Jalan cerita hidup
mereka bisa berubah: Muda lebih sering di kantor ber-AC, paruh baya tugas di
kota-kota, dan masa tua kaya-raya. Tapi mayoritas akan bernasib pertama tadi.
Sungguh, ceritanya seperti itu. Nasib
prajurit kecil seperti itu. Bahkan bisa lebih parah lagi.
Penulis adalah anak dari seorang
prajurit berpangkat rendah dan tinggal di asrama tentara. Penulis sangat tahu
kehidupan di Asrama itu bagaimana. Di masa muda, para prajurit itu diterjunkan
di medan tempur, setelah itu ditugaskan di pedalaman-pedalaman yang dipenuhi
nyamuk malaria dan ular berbisa. Istri dan anak mereka mau tidak mau
ditinggalkan, agar anaknya bisa sekolah secara normal sebab di pedalaman atau hutan
sekolah tidak memadai. Ini bukan sehari-dua hari, tapi sampai berbulan-bulan.
Gaji yang tidak seberapa, semuanya diserahkan kepada istri dan anaknya.
Prajurit tersebut mencari tambahan di tempat tugasnya. Ada yang menempuh cara
yang merugikan rakyat, ada yang menempuh cara yang normal. Ayah saya tak jarang
merangkap menjadi guru di sekolah-sekolah di desa pedalaman, menjadi pembina
pramuka, atau menemani warga mencari gaharu di hutan, atau ikut mendaki
gunung-gunung mencari sarang walet. Jauh dari keluarga, mereka masak sendiri
seperti bujang. Sakit pun sendiri. Begitu juga istrinya, apabila hamil, maka
hamil pun ia sendiri. Penulis lahir, ketika ayah penulis sedang tugas di
pedalaman sehingga tidak dapat hadir ketika ibu penulis melewati proses sakral melahirkan.
Itu di masa mudanya. Di kala
mereka sudah paruh baya, saat tenaga sudah tidak memadai untuk mencari
sampingan baik yang halal maupun haram, maka beban menjadi bertambah berat bagi
mereka. Hampir semua keluarga prajurit mengalami permasalahan yang sama, yakni
masalah ekonomi. Amplop gaji kosong, sudah menjadi cerita basi. Biaya hidup dan
biaya pendidikan yang mahal, memaksa mereka menempuh berbagai jalan yang lebih pintas
agar keluarganya bisa hidup dan anak-anaknya bisa mendapatkan pendidikan yang
layak bagi masa depannya. Di samping itu, mereka tetap ditugaskan di
pedalaman-pedalaman, tidak istirahat. Mereka masih latihan menembak, masih
kerja bakti, masih masuk desa, masih korpee, masih ditugaskan yang berat-berat.
Istri dan anak masih ditinggal. Mereka selalu bujangan, dan istri mereka selalu
kesepian. Anak mereka selalu mengalami masalah yang sama seperti anak-anak yang
orang tuanya bercerai. Dan memang begitu. Orang tuanya tidak bercerai secara
hukum, tapi secara kenyataan, itu nyata bercerai.
Sekarang ayah penulis sudah akan
pensiun. Dalam beberapa bulan, kami harus keluar dari asrama. Ayah sudah
membeli sebuah gubuk kecil di pinggir sungai di sebuah perkampungan nelayan.
Itu tidak tunai, tapi pakai uang hutang. Gajinya dipotong beberapa tahun
lamanya sehingga kebutuhan hidup keluarga dipenuhi dengan cara gali lubang
tutup lubang.
Itupun, pemerintah akan menggusur
si gubuk kecil sebab ada penyiringan. Entahlah, bagaimana penyelesaiannya nanti.
Sialnya, bukan kami saja yang
seperti itu, tapi hampir seluruh prajurit di asrama itu bernasib sama bahkan
lebih parah. Terlunta-lunta masa tuanya akibat masalah ekonomi, biaya hidup
naik pesat dan gaji naik lambat. Itu menyebabkan banyak di masa tua mereka ini,
rumah tangga prajurit malah hancur, istri selingkuh dan anak mereka tidak jelas
masa depannya. Itu sudah rahasia umum di asrama-asrama tentara. Celakanya,
tidak ada yang perduli. Baik LSM, lembaga advokasi, atau pemerintah sendiri.
Tidak ada transparansi dalam tentara, tidak ada reformasi, tidak ada demokrasi.
Sorak-sorak bergembira belaka !
Memiriskan hati lah kisah hidup
para prajurit itu.
Dalam tulisan ini, penulis hanya ingin menunjukkan, bahwa di
Hari Ulang Tahun yang entah ke berapa ini, di kala seluruh tempat di Indonesia
merayakannya dengan megah-meriah, di kala jenderal-jenderal itu bersuka ria, di
kala Indonesia memberi penghargaan sebesar-besarnya pada ABRI dan merayakan
hari ulang tahunnya… di kala itu pula sesungguhnya para prajurit rendah itu
masih menangis, meratap, menjerit jiwa dan raganya, demi istri dan anaknya,
demi masa depan mereka ! Sebab kesejahteraan tidak kunjung datang pada mereka.
Melainkan pada Dandim-dandim, Pangdam-Pangdam, Panglima-Panglima,
Jenderal-Jenderal dan Politikus-Politikus belaka !
Marilah kita mengheningkan cipta di hari ini. Semoga apa
yang berlalu, menjadi pelajaran bagi prajurit di masa depan. Semoga pelajaran
itu membuat kehidupan mereka lebih baik. Sehingga tidak hanya kewajiban mereka
yang dituntut, tapi hak mereka juga dipenuhi. Sebab Prajurit juga manusia.
No comments:
Post a Comment