Tuesday, August 14, 2012

Ibnu Sina dan Ibnu Khaldun Mendukung Teori Evolusi



Ilustrasi Evolusi Manusia: Dari kera ke manusia

Di depan gerbang ilmu pengetahuan, kesombongan dan prasangka harus ditanggalkan. 

Demikian seorang penulis ternama pernah berkata dan itu betul.

Sebagian dari Kaum Muslimin, khususnya di Indonesia, ada yang menganggap teori evolusi Darwin berasal dari worldview barat yang materialistis, bukan dari worldview islam sehingga teori evolusi harus ditolak. Ini adalah prasangka buruk terhadap bangsa barat, seakan-akan semua yang datang dari barat adalah keburukan. Ini adalah kesombongan, merasa bahwa hanya kaum Muslimin saja yang bisa berteori. Padahal, belum juga tentu, apakah teori itu dari barat atau dari timur, dari non islam atau dari islam.

Pada tulisan kali ini, penulis mencoba menolak anggapan bahwa teori evolusi Darwin berasal dari barat. Penulis akan menyuguhkan kepada pembaca tentang pendapat dua ilmuwan islam klasik, yakni ibnu khaldun dan ibnu sina tentang teori evolusi. Penulis berharap, dengan mengkritik anggapan ini, kaum Muslimin bisa menyikapi pengetahuan dengan lebih adil. 

Kita tahu, teori evolusi dipopulerkan oleh Charles Darwin pada abad 19. Konon, Charles Darwin tidak hanya mempopulerkannya, tapi juga menemukan teori tersebut. Padahal, jauh sebelum Charles Darwin mengeluarkan teori evolusi, ilmuwan islam sudah menyinggungnya dalam buku-buku mereka.

Dalam bukunya, yang populer dengan judul “mukaddimah”, ibnu khaldun ada menyinggung teori evolusi. 
Ibnu khladun mengutarakan pendapatnya tentang dunia penciptaan sebagaimana berikut:

“Ketahuilah, semoga Allah memberikan petunjuk kepada kita semua, sesungguhnya alam ini dan makhluk-makhluk yang berada di dalamnya berada dalam sistem yang rapi, tepat, hubungan sebab dengan akibat (kausalitas), dunia yang satu dengan dunia yang lain, perubahan sebagian wujud menjadi wujud lain yang tiada pernah berhenti keajaiban-keajaibannya dan tidak pernah tercapai batas-batas akhirnya.


Sekarang saya akan memulai dari dunia yang berjasad dan dapat diindera. Pertama kali, alam adalah unsur-unsur yang dapat disaksikan. Bagaimana unsur-unsur ini naik dari bumi ke air, kemudian ke udara, dan api yang sebagiannya berhubungan dengan sebagian yang lain. Masing-masing darinya siap untuk berubah menjadi yang menyandinginya secara naik turun. Perubahan ini terjadi dalam sebagian waktu.

Bagian atas lebih lembut daripada bawahnya hingga dunia astronomi. Dunia astronomi ini pun memiliki tingkatan-tingkatan yang saling berhubungan dalam tatanan yang indera kita tidak mengetahuinya kecuali hanya gerakan-gerakannya. Dengan gerakan-gerakan ini sebagian manusia memperoleh petunjuk tentang ukuran dan kondisi-kondisinya serta materi-materi lainnya yang ditunjukkan oleh perkara-perkara dapat dirasakan manusia.

Kemudian lihatlah dunia penciptaan. Bagaimana ia dimulai dari bahan-bahan mineral, tumbuh-tumbuhan, dan hewan dalam tahapan-tahapan pembentukan yang sangat indah. Akhir dunia bahan-bahan mineral bertemu dengan awal dunia tumbuh-tumbuhan, seperti rerumputan dan tumbuh-tumbuhan yang tidak mempunyai biji. Akhir dunia tumbuh-tumbuhan seperti pohon kurma dan anggur bertemu dengan hewan seperti siput dan kerang. Kedua hewan ini tidak mempunyai kekuatan kecuali kekuatan meraba.

Makna “bertemu” atau “bersambung” dalam makhluk-makhluk tersebut merupakan akhir dunia dari jenis makhluk yang memiliki kesiapan yang aneh untuk menjadi awal dari jenis makhluk lain setelahnya.

Dunia hewan itu luas dan bermacam-macam jenisnya dan secara bertahap berakhir dengan manusia yang memiliki pikiran. Sebelum manusia adalah hewan yang memiliki kemampuan indera dan pemahaman, tapi tidak sampai sempurna seperti manusia. Kondisi seperti itu merupakan awal dunia manusia. Inilah akhir dari sesuatu yang kita saksikan. “ (Ibnu Khaldun. Mukaddimah. Bab 1. Pasal 1)

Dalam buku muqaddimah versi terjemahan bahasa inggris pada bab VI pasal 5, ibnu khaldun juga mengungkapkan bahwa manusia berasal dari dunia primata. Begini dikatakan olehnya:

Revelation has already been discussed by us at the beginning of the book, in the chapter dealing with people who possess supernatural perception. We explained there that the whole of existence in (all) its simple and composite worlds is arranged in a natural order of ascent and descent, so that everything constitutes an uninterrupted continuum. The essences at the end of each particular stage of the worlds are by nature prepared to be transformed into the essence adjacent to them, either above or below them. This is the case with the simple material elements; it is the case with palms and vines, (which constitute) the last stage of plants, in their relation to snails and shellfish, (which constitute) the (lowest) stage of animals. It is also the case with monkeys, creatures combining in themselves cleverness and perception, in their relation to man, the being who has the ability to think and to reflect. The preparedness (for transformation) that exists on either side, at each stage of the worlds, is meant when (we speak about) their connection. (Sumber: Klik sini)

Sayangnya bagian ini tidak terdapat dalam buku muqaddimah versi terjemahan bahasa indonesia. Mungkin penerjemah lupa atau bisa jadi menyembunyikan bagian ini dari pembaca sekalian. Hal ini bisa terjadi apabila penerjemah tidak suka dengan isi bagian ini, yang jelas-jelas menyatakan bahwa manusia berasal dari dunia primata, melalui suatu proses alam yang kita sebut evolusi.  Suatu konfirmasi akan hal ini terhadap penerjemah tentu sangat diperlukan. 

Kembali pada pembahasan kita. 

Pada bab lain, di versi terjemahan bahas indonesia, dimana ibnu khaldun menyinggung pendapat ibnu sina, dituliskan sebagaimana berikut:

“Ibnu sina berpendapat bahwa suatu spesies dapat terputus atau punah eksistensinya dan dunia makhluk menjadi hancur. Lalu ia akan terbentuk kembali untuk kedua kalinya karena tuntutan-tuntutan astrologis dan posisi-posisi perbintangan yang aneh selama beberapa periode menurut asumsinya. Hal ini menyebabkan terjadinya proses kimia pada tanah yang cocok suhunya dengan panas tertentu sehingga terbentuklah manusia.” (Mukaddimah. Bab V. Pasal 28). 

Ibnu khaldun memberitahukan bahwa pendapat ibnu sina ini dijelaskan oleh ibnu sina secara panjang lebar di dalam kitabnya yang berjudul Risalah hay bin Yaqzhan.

Untuk dapat mengetahui sejauh mana pendapat ibnu sina tentang teori evolusi ini, tampaknya kitab tersebut harus dibaca secara keseluruhan. Apabila penulis berhasil menemukan kitab itu, penulis akan membagikan isinya kepada pembaca sekalian.

Besar kemungkinan hasil pemikiran ibnu sina ini dibawa ke Eropa ketika islam berjaya di Andalusia. Memang pada waktu itu, Andalusia menjadi pusat pendidikan di Eropa. Bahkan ibnu sina amatlah familiar dalam dunia pendidikan Eropa pada waktu itu. Ibnu sina dikenal dengan nama Avicenna. Itu terjadi pada abad 12, yakni sekitar 600 tahun sebelum Charles Darwin dikenal sebagai pencetus teori evolusi.

Juga besar kemungkinan, dalam rentang 600 tahun itu, pendapat Avicenna tentang evolusi ini tenggelam dalam abad kegelapan Eropa, dimana terjadi penindasan besar-besaran terhadap ilmuwan dan pengetahuan.

Walaupun begitu, kita tidak menutup kemungkinan lain, bahwa Charles darwin mungkin saja juga menemukan teori tersebut, tapi jelas ia bukan yang pertama mengungkapkannya. Ibnu sina dan ibnu khaldun telah mendahuluinya. Tapi tulisan ini bukan soal “siapa yang dahulu menemukan”. Ini soal “teori atau ilmu bisa datang darimana saja, baik barat maupun timur, baik islam maupun non islam”.

Dengan demikian, bagi muslim yang memahami ini, tentulah ia tidak menolak teori evolusi semata-mata karena datang dari masyarakat barat yang berbeda agama dan bangsanya. 

Penolakan kaum Muslimin terhadap teori evolusi seharusnya lebih dititik-beratkan pada kontradiksi antara teori evolusi dengan alquran dan hadits. Walaupun kemudian, dapat juga dipertanyakan, apakah ibnu sina dan ibnu khaldun tidak tahu akan adanya kontradiksi tersebut? Tentulah suatu kajian yang serius terhadap teori evolusi menurut kedua ilmuwan islam ini dan ilmuwan islam lainnya apabila ada, perlu dibuat. 

Dalam hal ilmu pengetahuan, agama dan kebangsaan dapat mempengaruhi cara pandang dan cara berfikir ilmuwan, tapi cara pandang dan cara berfikir ilmuwan bukanlah agama dan kebangsaan.

Hanya itulah yang penulis ingin sampaikan. 

No comments: