Ilustrasi jatuhnya pertumbuhan ekonomi global |
Transisi Ekonomi Politik
Era 2008 hingga 2012 ini, adalah era krisis negara-negara yang terglobalisasi. Bermula di amerika, dan lanjut ke Eropa, kemudian ke arab, terus ke timur, tentunya akan menyentuh asia. Bila dalam empat tahun, krisis sudah melewati amerika, Eropa dan arab, maka empat tahun ke depan, logis bila kita menyimpulkan bahwa berikutnya adalah asia.
Pemain ekonomi besar di asia, india, china dan jepang, serta negara-negara di asia tenggara, mereka menunggu dengan sabar, dan cemas tentunya.
Krisis ekonomi, tidak bisa dielak apalagi dibendung. Krisis ekonomi akan berdampak pada masyarakat, menimbulkan krisis politik. Semakin tajam krisis ekonomi, semakin parah krisis politik.
Setiap partai politik, organisasi massa, dan akhirnya masyarakat luas di perkotaan, akan berebut kekuasaan. Kelompok yang berkuasa berjuang mempertahankan kekuasaannya, dan kelompok yang merasa tertindas, akan berusaha menggulingkan kelompok yang berkuasa. Perebutan kekuasaan.
Ada juga yang diam saja di rumah, yang tidak terlalu terganggu oleh adanya perubahan atau tidak. Mereka adalah rakyat kecil yang tidak hidup dari persaingan. Mungkin ibu rumah tangga, anak kecil, lansia, dan orang-orang desa, mereka yang tidak merasa bermain dalam permainan politik atau tidak terkena gegap gempitanya permainan politik sebagaimana di kota-kota.
Di tahun 2012 ini, itu belum terjadi di Indonesia. Tapi sedang menuju ke Indonesia. Dalam empat tahun ini, kemungkinan besar terjadi. Ini masa transisi, dari kedamaian ke kekacauan. Dalam masa transisi ini, mereka yang sadar akan datangnya bahaya, mulai bersiap-siap.
Tulisan ini (atau apapun namanya) adalah upaya untuk menyikapi masa-masa transisi ini.
Borjuis, Borjuis kecil sayap kiri, borjuis kecil sayap kanan, borjuis apatis, buruh pelopor, buruh partisan dan buruh apatis
Kelompok pengusaha, pemilik pabrik barang (pakaian, bank, dll), pemilik pabrik jasa (Bank, asuransi, kredit, dll) atau secara keseluruhan disebut borjuis, yang ingin menyelamatkan aset dan investasinya, mulai mencari kaki-tangan dari kalangan militer. Kenapa militer? Sebab kelompok pengusaha sedikit jumlahnya, tapi memiliki hubungan bisnis dan koneksi yang bagus dengan militer selama ini. Jadi, ke situlah mereka meminta pertolongan.
Elite militer, baik yang aktif maupun sudah non aktif, bersama-sama dengan tuan tanah , petani besar, pengusaha tambang, pengusaha sawit, pengusaha di bidang perkebunan dan pertambangan lainnya, adalah termasuk dalam borjuis kecil sayap kanan. Mereka disebut borjuis kecil, karena membela kepentingan diri mereka sendiri, kepentingan borjuis kecil, bukan borjuis besar. Mereka juga mau hidup dari usaha/perusahaan yang mereka kelola dan dirikan, bukan dari jabatan militeristik mereka. Mereka ingin jadi bos pengusaha, bukan pejabat suruhan. Keinginan-keinginan ini sedikit banyak tak bisa terwujud bila borjuis terlalu kuat, yang bisa mematikan atau menghambat usaha mereka. Modal borjuis besar lebih besar daripada yang mereka miliki. Borjuis besar memiliki banyak perusahaan, dan terus bertambah besar. Sementara elite militer, hanya memiliki sedikit perusahaan, dan terus mengecil. Oleh karena itu elite militer, dalam hal ini, bertentangan dengan borjuis.
Oleh karena itu, elite militer, dalam program-program politiknya, tetap pro rakyat miskin. Ini terkandung jelas dalam program SBY, pro growth, pro poor, pro job n pro health environment. Maksudnya, pro pertumbuhan ekonomi, pro rakyat miskin, pro lapangan pekerjaan dan lingkungan yang sehat.
Mereka dikatakan sayap kanan, karena mereka anti sosialisme. Mereka anti terhadap ide-ide yang anti kepemilikan individu. Mereka ingin jadi pengusaha, jadi mereka anti terhadap mereka yang anti terhadap perusahaan. Tapi dalam menghadapi borjuis, mereka tidak punya pilihan lain. Mereka membutuhkan buruh, yang memegang peranan penting dalam hidup mati borjuis. Sebab buruh lah yang mengoperasikan perusahaan-perusahaan borjuis.
Namun, elite militer dan kelas yang diwakilinya, tidak memiliki koneksi yang baik dengan kaum buruh. Di masa-masa awal pertumbuhan elite militer, mereka menjajah kaum buruh, membantai dan menculik aktivis yang membela hak-hak buruh. Ini menjadi kendala besar. Oleh karena itu, elite militer membutuhkan penghubung, antara mereka dengan buruh. Siapakah penghubung itu? Yaitu sayap kiri borjuis kecil, alias buruh aristokrat.
Kelompok buruh, yang banyak berjibun di perkotaan, terbagi-terbagi. Ada yang sudah terorganisasi dengan baik, sadar kelas istilahnya, akan mengorganisasi diri mereka dan berusaha merebut kekuasaan dengan kekuatan mereka sendiri. Tapi kelompok ini di Indonesia, atau di manapun juga di negara-negara berkembang, adalah kelompok terkecil di antara buruh. Ini disebut buruh militan atau pelopor.
Bagian buruh lainnya adalah yang belum terorganisir dan belum sadar kelas, sehingga mereka tidak turut dalam perjuangan merebut kekuasaan, baik dengan buruh militan atau buruh aristokrat. Mereka cenderung pasif dan apatis terhadap politik. Ini disebut buruh apatis. Ini cukup banyak di Indonesia. Mereka berserikat, tapi tidak berpolitik. Mereka menuntut kenaikan upah, anti outsourcing, dan lain-lain—secara setengah hati. Ikut-ikut saja.
Adapun bagian terbesar dari buruh saat ini adalah mereka yang terorganisir tapi tidak begitu baik, hingga sadar kelas tapi tidak mampu mengorganisir diri mereka sendiri. Mereka menuntut hak-hak mereka dengan antusias. Mereka memenuhi jalan dengan inisiatif tinggi. Mereka ingin meneruskan perjuangan mereka yang tersebar di jalan-jalan, menjadi terkonsentrasi di partai politik. Tapi mereka tidak mampu. Ketidak mampuan ini bisa karena waktu dan tenaga mereka yang sudah terkuras habis di pabrik-pabrik, atau bisa pula karena serikat-serikat kerja mereka sering berkhianat sehingga tidak mewakili mereka secara kolektif. Mereka tentu tidak dapat berjuang secara individu, perorangan. Oleh karena itu mereka berharap pada kelompok yang paling terorganisir, yaitu borjuis kecil sayap kiri. Mereka ini, buruh yang bergantung pada borjuis kecil sayap kiri, disebut buruh partisan.
Di Indonesia, borjuis kecil sayap kiri adalah pekerja intelektual, dari kalangan mahasiswa, LSM, pekerja kantoran, dan pekerja pada partai-partai politik. Mereka, biasanya dimasukkan dalam kelompok sayap kiri borjuis kecil. Mereka adalah borjuis kecil, tapi pro buruh.
Disebut borjuis kecil, karena keinginan mereka adalah ingin perusahaan atau negara tempat mereka bekerja tidak tutup atau bangkrut yang bisa membuat mereka kehilangan pekerjaan dan kehidupan yang layak. Disebut sayap kiri, karena mereka sebagai pekerja, menuntut hak-hak pekerja, terutama pekerja profesional, agar diberikan secara layak. Sebagai intelektual mereka meminta penghargaan tinggi, dan sebagai pekerja, mereka minta gaji tinggi. Gaji yang bisa membawa mereka jalan-jalan ke luar negeri, membeli mobil, rumah, menikah di gedung yang ramai, mengkuliahkan anak, dan lain sebagainya. Pekerja yang menuntut gaji setinggi gaji bos.
Dibandingkan jumlah buruh, borjuis kecil sayap kiri ini sedikit. Mereka berharap pada buruh, untuk menuntut hal yang sama, yakni kenaikan upah atau gaji. Mereka menggunakan buruh hanya sejauh itu, yakni menuntut kenaikan gaji. Mereka juga tahu, bahwa kenaikan gaji, hanya mungkin apabila ekonomi tumbuh dengan baik. Negara harus menjamin tumbuhnya ekonomi. Oleh karena itu, terutama tuntutan mereka adalah, nasionalisasi perusahaan asing, air, hasil bumi dan kekayaan alam harus dikuasai negara dan dipergunakan untuk kepentingan rakyat. Mereka ingin negara jadi perusahaan, yang mempekerjakan mereka dengan jaminan akan dibayar tinggi.
Tapi semua tuntutan itu non sense, apabila kekuasaan politik masih di tangan si borjuis. Pemerintah yang menjadi komprador borjuis, terutama borjuis asing, harus digulingkan. Diganti dengan pemerintah yang sekaligus borjuis. Ini mirip kapitalisme negara.
Sayap kiri borjuis kecil ini, cukup banyak di perkotaan Indonesia, lebih banyak dari borjuis kecil sayap kanan. Tapi lebih sedikit daripada borjuis kecil apatis, yakni mereka yang apatis terhadap politik dan pasifis, tidak suka revolusi-revolusian. Borjuis kecil apatis ini lah yang terbanyak di antara borjuis kecil.
Borjuis kecil apatis, terdiri dari pekerja profesional, pekerja kantoran berkelas, manajer, pengusaha kecil mapan, eksekutif muda istilahnya, artis atau aktor film, pekerja-pekerja yang mendapat modal dari warisan orang tuanya, dan semua mereka yang merasa bekerja secara profesional dan merasa mapan.
Borjuis kecil apatis ini dimasukkan dalam golongan borjuis kecil, karena memang mereka bukan borjuis yang memiliki pabrik dan pekerja. Mereka disebut apatis, karena mereka memang tidak perduli dengan kehidupan politik. Mau ada revolusi atau tidak, mereka tidak terkena dampaknya secara langsung. Mereka merasa bekerja untuk diri mereka sendiri, tanpa menindas siapapun dan mereka merasa puas dengan pekerjaan mereka, merasa mapan.
Sedikit tambahan, Robert T. Kyosaki menggolongkan mereka ini sebagai self employee, pekerja untuk diri mereka sendiri. Walau begitu, karena terpaksa (mungkin dipaksa oleh ketua RT setempat) sebagian dari mereka tetap ikut pemilu. Suara mereka, sudah tentu berpihak pada yang popular, sering tampil di televisi dan dicitrakan sebagai tokoh yang baik hati. Politik pencitraan memang ditujukan terutama pada kelas borjuis kecil apatis ini.
Sedikit tambahan, Robert T. Kyosaki menggolongkan mereka ini sebagai self employee, pekerja untuk diri mereka sendiri. Walau begitu, karena terpaksa (mungkin dipaksa oleh ketua RT setempat) sebagian dari mereka tetap ikut pemilu. Suara mereka, sudah tentu berpihak pada yang popular, sering tampil di televisi dan dicitrakan sebagai tokoh yang baik hati. Politik pencitraan memang ditujukan terutama pada kelas borjuis kecil apatis ini.
Siapa yang disebut kelas menengah, ya terutama borjuis kecil apatis ini. Mereka dijadikan konsumen utama oleh borjuis, borjuis kecil sayap kanan. Borjuis kecil sayap kanan dan borjuis bertentangan dalam berebut konsumen, berebutan borjuis kecil apatis ini.
Dalam kasus pilkada jakarta tahun 2012, maka jumlah borjuis kecil apatis adalah kurang lebih 30-40 persen dari jumlah penduduk, dihitung berdasarkan jumlah warga jakarta yang tidak memilih alias Golput.
Dalam kasus pilkada jakarta tahun 2012, maka jumlah borjuis kecil apatis adalah kurang lebih 30-40 persen dari jumlah penduduk, dihitung berdasarkan jumlah warga jakarta yang tidak memilih alias Golput.
Bangkitnya Fasisme
Di kala borjuis--dalam kasus Indonesia--borjuis asing, tidak mengalami krisis di negerinya sana, maka hubungannya dengan elite militer dan borjuis kecil sayap kanan secara keseluruhan berjalan baik. Sebab pertentangan mereka bisa didamaikan. Borjuis kecil sayap kanan menjadi rekanan kerja (sub kontraktor) bagi borjuis asing atau berbagi pasar konsumen.
Tapi di kala borjuis asing mengalami krisis, maka tentu, untuk mengurangi biaya produksi, borjuis asing akan memecat rekanannya tersebut dan berusaha menguasai seluruh pasar yang ada.
Tentu ini akan mempertajam pertentangan antara mereka. Di sinilah, borjuis asing mendapat saingannya sesungguhnya.
Elite militer, mewakili kelas borjuis sayap kanan, akan berusaha menyepak borjuis asing dan semua yang memihaknya, dengan cara bersatu dengan borjuis kecil sayap kiri. Sebab borjuis kecil sayap kiri lumayan banyak dan memiliki sekutu yang banyak, yakni kaum buruh partisan.
Isu-isu yang diangkat oleh sayap kanan borjuis kecil ini adalah nasionalisme kekiri-kirian, alias Nasionalisme Sosialisme. Dimana nasionalisme lebih diutamakan daripada Sosialisme-nya. Ini tumbuh di awal abad 20, dikala kapitalisme kuno telah mencapai puncaknya dan sedang terjun menuju ke kehancurannya.
Lenin menyebutnya Nasionalisme berbaju Sosialisme. Sosialisme-nya, disebut Marx sebagai sosialisme reaksioner. Perpecahan di Internasional Kedua, disebabkan oleh sosialisme macam ini. Ini melahirkan kubu revisionisme dan berbagai variannya di bawah panji sosialisme demokrat atau Sosdem, yang laris di Eropa. Dan lalu berubah menjadi Fasisme di Itali, prancis, dan di jerman. Perang Eropa ke Dua (atau biasa disebut perang dunia kedua) adalah puncaknya.
Lenin menyebutnya Nasionalisme berbaju Sosialisme. Sosialisme-nya, disebut Marx sebagai sosialisme reaksioner. Perpecahan di Internasional Kedua, disebabkan oleh sosialisme macam ini. Ini melahirkan kubu revisionisme dan berbagai variannya di bawah panji sosialisme demokrat atau Sosdem, yang laris di Eropa. Dan lalu berubah menjadi Fasisme di Itali, prancis, dan di jerman. Perang Eropa ke Dua (atau biasa disebut perang dunia kedua) adalah puncaknya.
Pada tahun 2012 ini, tanda-tanda persatuan elite militer atau sayap kanan borjuis kecil dengan sayap kirinya secara politik telah terlihat. Yakni bersatunya Gerindra dengan aktivis-aktivis Partai Rakyat Demokratik, yang penulis anggap sebagai sayap kiri borjuis kecil.
Isu-isu mereka pun adalah isu nasionalisme-sosialisme, yang populer disebut PRD sebagai sosialisme ala Indonesia atau soekarnoisme. Tuntutan ekonomi mereka adalah Pasal 33 UUD Indonesia, yakni perihal penguasaan negara atas perekonomian nasional. Hanya sampai di situlah, persatuan itu bisa bertemu.
Tuntutan sosialisme atas kolektivisasi alat produksi, pencabutan persenjataan militer, pemberian senjata pada buruh dan petani, dan pembentukan perwakilan-perwakilan buruh dalam komite-komite, tidak akan pernah disinggung apalagi diwujudkan dalam persatuan itu.
Baik PRD dan Gerindra tidak menginginkan itu dan tidak bisa berbuat sejauh itu. Mereka menginginkan hal-hal yang abstrak, seperti kata-kata Keadilan Sosial yang akhir-akhir ini populer kembali dan hanya bisa berbuat sejauh itu, yakni mengatakan kata-kata tersebut.
Tapi, persekutuan Gerindra dengan PRD tersebut, tidak akan seimbang. PRD dengan semangat ke-kiri-kiriannya, tidak akan bisa bertindak ke-kiri-kirian (perjuangan kelas) karena tak ada modal. Gerindra dengan semangat ke-kanan-kanannya, akan lebih bisa bertindak kekanan-kananan (perjuangan nasional melawan asing) karena didukung modal. Oleh karena itu, PRD rentan terbawa oleh Gerindra dan memang PRD terbawa oleh Gerindra (bukan Gerindra yang masuk ke PRD, tapi PRD yang terhisap ke Gerindra).
PRD tentu bermaksud baik, yakni menggunakan taktik “Menghancurkan musuh dari luar terlebih dahulu baru kemudian mengalahkan musuh di dalam”. Mao di china dalam melawan jepang, tapi membuahkan pembantaian besar-besaran terhadap anggota kaum kiri china. Juga sudah dicoba oleh Soekarno di Indonesia, dan berakhir sama dengan kaum kiri china. Itu juga sudah dicoba oleh Sosial demokrat Jerman yang bersikap pasif terhadap NAZI, sehingga memuluskan jalan fasisme.
Pendek kata, persekutuan nasionalisme dengan sosialisme dalam menghadapi borjuis asing, hanyalah berbuah malapetaka bagi kaum kiri.
Tapi memang PRD tidak punya pilihan lain. Sebab, kaum buruh, yang merupakan mayoritas kaum kiri, di indonesia, belumlah mapan organisasinya ataupun ekonominya untuk bisa menopang perjuangan politik PRD. Apalagi angka electoral treshold semakin tinggi mengancam eksistensi partai-partai kecil seperti PRD. PRD, agar tetap eksis, mau tidak mau bersatu (bukan menyatu) dengan Gerindra. Paling tidak dalam hal menuntut kepentingan politik yang sama. Misalnya dalam hal tuntutan kembali pada UUD 45 dan menolak semua amandemennya, dalam hal tuntutan anti imperialisme asing atau neo kolonialisme, dan dalam hal menjaga serta memperkuat NKRI.
Walaupun tuntutan itu diperjuangkan bersama. Tapi sebenarnya maksud masing-masing bisa berbeda.
Kembali pada UUD 45 bisa bermakna ganda, yakni bisa berujung penguatan ekonomi kerakyatan dan bisa pula penguatan sistem politik otoriter. Demikian pula semangat anti-imperialisme asing bisa bermaksud tidak anti penjajah bangsa sendiri. Menjaga NKRI bisa berarti anti otonomi daerah yang sejati. Oleh karena itu, tuntutan politik seharusnya diperinci, bukan diterima begitu saja.
Sudahlah, mari kita simpulkan.
Walaupun tuntutan itu diperjuangkan bersama. Tapi sebenarnya maksud masing-masing bisa berbeda.
Kembali pada UUD 45 bisa bermakna ganda, yakni bisa berujung penguatan ekonomi kerakyatan dan bisa pula penguatan sistem politik otoriter. Demikian pula semangat anti-imperialisme asing bisa bermaksud tidak anti penjajah bangsa sendiri. Menjaga NKRI bisa berarti anti otonomi daerah yang sejati. Oleh karena itu, tuntutan politik seharusnya diperinci, bukan diterima begitu saja.
Sudahlah, mari kita simpulkan.
Fasisme sedang tumbuh pesat di Indonesia di tahun 2012 ini. Seiring mendekatnya krisis ke Indonesia, Gerindra akan semakin diminati. Suatu kepemimpinan yang tegas dan kejam terhadap borjuis asing, akan diminati. Suatu kepemimpinan yang tegas dan kejam terhadap mereka yang anti borjuis dan borjuis kecil secara keseluruhan, akan diminati juga.
PRD berkoalisi dengan Gerindera dan PDIP. PRD berharap, dengan modal Gerindra (atau PDIP), ia bisa maju terus, semakin besar dan kuat. Tapi berdasarkan pengalaman sejarah kaum kiri di seluruh dunia, di saat Krisis ekonomi itu datang di indonesia, PRD selanjutnya akan dibenturkan pada dua pilihan: Keluar dari persekutuan itu lalu dibantai oleh Gerindra, atau Tetap di persekutuan itu lalu membantai kaum kiri.
Dus, ini namanya menemukan kembali nasib revolusi kita. Nasib buruk.
No comments:
Post a Comment